Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Opini – Investor Daily, Senin, 17 September 2012
Pada tahun anggaran 2013, hampir dapat dipastikan Pemerintah tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Itu tercermin dari Kuota BBM dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2013 yang mencapai sebesar 46 juta kilo liter (KL), tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebe!umnya. Maklum, menjelang hajatan politik 2014, baik pemerintah dan mitra koalisinya maupun partai politik oposisi akan menghindari risiko penaikan harga BBM. Dengan demikian, potensi APBN 2013 menjadi APBN politis juga sangat besar.
Dengan kuota BBM dalam RAPBN 2013 sebesar 46 juta KL, itu berarti besaran subsidi energi pada 2013 akan mencapai Rp 274,7 triliun, terdiri atas atas subsidi BBM dan elpiji 3 kg sebesar Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik Rp 80,9 triliun. Angka itu akan bertambah besar lagi jika rencana penyesuaian tarif dasar listrik (TDL) pada 2013 tidak mendapat persetujuan DPR.
Alokasi anggaran subsidi energi tersebut lebih besar dibandingkan anggaran pembangunan infrastruktur yang hanya direncanakan sebesar Rp 155,5 triliun.
Subsidi Energi 80%
Beban anggaran dipastikanmasih akan terus bertambah jika asumsi lifting migas, hargaminyak mentah Indonesia (ICP), nilai tukar rupiah, danbauran energi primer pembangkit listrik, tidak dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Liftingminyak, misalnya, saat ini tercatat hanya sebesar 900 ribu barel per hari, terendah dalam 30 tahun terakhir. Atas liftingminyak tersebut, bagian pemerintah hanya sekitar 540 ribu barel per hari, sementara kebutuhan BBM nasional sudah lebih dari 1,2 juta barel per hari. Dengan demikian sekitar 660 ribu barel per hari kekurangannya harus dipenuhi dari impor.
Impor minyak yang cukup besar itu tentu saja memberikan tekanan terhadap Neraca Pembayaran Indonesia dan nilai tukar rupiah.
Apalagi kapasitas kilang minyak di Indonesia sangat terbatas, yang menyebabkan sebagian besar impor dalam bentuk produk kilang yang harganya tentu jauh lebih mahal. Sampai dengan Juni 2012 (semester I), porsi impor produk kilang mencapai 70% total impor minyak nasional. Neraca minyak juga tercatat mengalami defisit sebesar USS 10 miliar atau setara Rp 9 triliun, dengan kurs Rp 9.000/dolar AS.
Dalam konteks anggaran, saat ini sekitar 80% penerimaan sektor migas dialokasikan untuk subsidi energi. Porsi tersebut berpotensi meningkat jika tidak terdapat penyesuaian harga BBM. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 6%, Reforminer Institute memproyeksikan kebutuhan anggaran subsidi BBM tahun 2025 tidak kurang dari Rp 450 triliun. Subsidi energi akan semakin besar, seiring meningkatnya konsumsi LPG dan listrik.
Karena itu, jika pola kebijakannya tetap sama, porsi anggaran negara yang lebih produktif terus berkurang. Kekayaan migas kita, yang mestinya bisa ikut mendorong kegiatan ekonomi produktif, malah habis untuk memenuhi kebutuhan subsidi.
Perlu Kebijakan Paralel
Penyelesaian masalah BBM subsidi yang sudah relatif kronis ini sesungguhnya tidak dapat diatasi dengan cara yang biasa-biasa, apaiagi hanya dengan program pembatasan yang dilakukan dengan keragu-raguan. Jika itu dipaksakan, hasilnya takkan sebanding dengan polemik dan masalah yang dihadapi dalam implementasinya. Dalam jangka panjang, penyelesaian masalah sektor hulu dan hilir migas mutlak diperlukan, agar subsidi BBM tidak lagi menjadi permasalahan klasik yang terus berulang setiap tahun.
Pada sektor hulu, minimnya penemuan cadangan minyak akibat porsi investasi eksplorasi hanya sekitar 5% dari total investasi migas, perlu segera dicarikan solusi. Tumpang tindih kebijakan, baik lintas sektor maupun lintas regional, termasuk campur tangan yang terlalu dalam dari instansi lain, harus diminimalkan bahkan ditiadakan. Selain itu, harus ada komitmen politik untuk memperbesar kapasitas BUMN migas yang ditugaskan untuk mengakomodasi kepentingan nasional. Itu tidak cukup hanya dengan lips service, tapi sangat diperlukan langkah-langkah konkret, seperti dilakukan oleh Malaysia, Vietnam, Arab Saudi, Kuwait, Tiongkok, Norwegia, Iran, dan beberapa negara yang lain.
Pada sektor hilir, penambahan kapasitas kilang domestik mendesak dilakukan. Itu karena sejak tahun 2000 sarnpai saat ini kebutuhan BBM telah melampaui kapasitas kilang domestik. Akibatnya, peningkatan impor produk BBM tidak terhindarkan. Dengan asumsi selisih harga minyak mentah dengan produk BBM sekitar USS 20 per barel, konversi impor BBM saat ini ke impor minyak mentah dapat menghemat sekitar USS 5 miliar atau sekitar Rp 45 triliun per tahun. Akan tetapi, itu dapat dilakukan jika kapasitas kilang dapat ditambah lagi setidaknya sebesar 750 ribu barei per hari. Sedangkan untuk itu dibutuhkan investasi paling tidak sekitar USS 25 miliar atau setara Rp 225 triliun.
Pembangunan kilang dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dianggarkan dari APBN yang pelaksanannya adalah BUMN (PT Pertamina) atau membuka kesempatan untuk sektor swasta, termasuk swasta asing. Tapi, tampaknya pemerintah belum tegas soal itu. Sampai sejauh ini, belum ada keputusan politik (regulasi) untuk menugaskan PT Pertamina memperbesar kapasitas kilang domestik. Bahkan, untuk pembayaran atas pendistribusian over kuota BBM subsidi 2011 sekitar 1,7 juta kl atau setara Rp 7 triliun yang dilakukan oleh PT Pertamina saja, sampai saat ini konon belum ada kejelasannya.
Sedangkan keterlibatan swasta dalam pembangunan kilang domestik juga masih terhambat oleh desain fiskal dan insentif investasi yang belum jelas. Akibatnya, rencana kerja sama pembangunan kilang’ dengan Kuwait Petroleum International (KPI), Saudi Aramco Asia (SAA), ORIDC (Iran), dan PETROFIEW (Malaysia) cenderung jalan di tempat, akibat belum adanya kejelasan paket insentif investasi.
Dalam jangka panjang, solusi masalah subsidi BBM dapat melalui perbaikan sektor hulu dan hilir migas, termasuk mendorong pengembangan dan penggunaan energi alternatif. Bahkan, pemerintah telah memiliki opsi kebijakan yang lebih banyak dari itu. Sayangnya, tak banyak pilihan untuk solusi jangka pendek.
Apapun opsi kebijakan yang kemudian diambil, solusi jangka panjang tetap harus dilaksanakan. Kita berharap, penyesuaian harga BBM hanya tinggal soal waktu saja. Lebih cepat tentu akan lebih baik.Jangan biarkan APBN terlalu lama menanggung beban subsidi BBM