Tempo, 10 Agustus 2009 | 15:11 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta – Pertamina seharusnya tidak terpaku untuk terus berorientasi melakukan ekspor terhadap gas alam cair (liquefied natural gas/LNG). Justru, hal tersebut akan menimbulkan tanda tanya bila perusahan minyak dan gas pelat merah ini masih tetap melakukannya.
“Ada apa sebenarnya dibalik deal-deal antara Pertamina-Medco-Mitsubishi dalam konsorsium ini,” kata Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi, kepada Tempo, Senin (10/8).
Ia menambahkan, Pertamina sebaiknya membuka diri apa yang terjadi di konsorsium. PT Pertamina (Persero) meminta dukungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melanjutkan proyek gas alam cair . Jika proyek tersebut tidak bisa dikembangkan, perusahaan minyak pemerintah itu meminta dibebaskan dan diberi ganti rugi dari segala kewajiban dari pemerintah dan mitranya.
Proyek gas Donggi-Senoro terancam batal setelah calon pembeli LNG, Kansai Electric Power, membatalkan perjanjian karena ketidakpastian dari pemerintah. Permintaan dukungan tersebut terungkap dalam surat Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan kepada Presiden tertanggal 14 Juli 2009. Surat itu jawaban atas surat Wakil Presiden pada 7 Juli 2009.
Pengembangan proyek Donggi-Senoro dianggap tidak ekonomis jika gasnya dijual ke Jawa dan Sumatera. Harga FOB (pada saat pengapalan) sekitar US$ 6 per mmBtu,” ucapnya. Pengembangan proyek gas di Sulawesi Tengah itu menggunakan kombinasi ekspor dan domestik. “Akan menghasilkan pendapatan paling maksimal bagi pemerintah,” katanya. Proyek Donggi-Senoro akan menghasilkan penerimaan negara sekitar US$ 6,4 miliar pada tingkat harga minyak US$ 70 per barel.
Pri Agung melanjutkan, tidak dalam posisi yang tepat untuk mengirimkan surat permintaan tersebut. Kebutuhan gas dalam negeri tetap merupakan hal yang paling utama untuk didahulukan. Sebaiknya bila harga gas yang dipasok ke dalam negeri tidak mencapai harga keekonomian, Pertamina duduk bareng untuk menyelesaikan persoalan ini. “Sepertinya konsorisum ini sangat tergantung pada Mitsubishi,” ucap Pri Agung, yang juga Direktur Reforminer Instititue.
“Kalau gas ini (proyek Donggi-Senoro) tidak jadi diekspor ke Jepang, konsorsium terancam bubar. Dan itu memang akan mengakibatkan kerugian bagi Pertamina dan Medco. Yang paling penting kepentingan dalam negeri harus diutamakan.” Padahal proyeksi keuntungan yang digaet negara ke depannya bukan jumlah yang spektakuler bila dikaitkan dengan formula harga sekarang.”
Harga yang sama juga bisa didapatkan dari pembeli dalam negeri. Itu bukan harga yang rendah dan bukan tinggi sekali,” ia menambahkan. Bila LNG Donggi-Senoro digelontorkan untuk kebutuhan dalam negeri, Pertamina tak perlu gundah kehilangan pembeli. “Yang jelas membutuhkan gas adalah PLN dan pabrik pupuk. Kalau dengan harga sekarang iya, mereka akan tertarik,” ungkapnya.