Studi ReforMiner mengidentifikasi bahwa terbitnya PP Cost Recovery salah satunya dipicu oleh tekanan publik kepada pemerintah untuk lebih meningkatkan pengawasan dalam masalah cost recovery migas. Pasca kebijakan penaikan harga BBM pada tahun 2005, permasalahan cost recovery mulai bergulir dan mendapatkan perhatian yang besar dari publik. Kecenderungan meningkatnya cost recovery, sementara produksi migas utamanya minyak terus menurun, menjadi fokus perhatian dari publik dan hal itu merupakan salah satu pemicunya.
Perhatian atau kritik publik terhadap kecenderungan ketidaksesuaian antara besaran cost recovery migas dan produksi minyak, kemudian medapat respon dari DPR. Itu kemudian diawali dengan adanya pembahasan antara pemerintah dan DPR mengenai Koreksi Cost Recovery PT. Pertamina-EP 2003 – 2007 terhadap Depresiasi Aset PT. Pertamina (Persero),pada 10 Maret 2008. Pembahasan tersebut terkait dengan Keputusan PANJA Asumsi Dasar, Defisit dan Pembiayaan DPR-RI tanggal 19 September 2007 tentang Cost Recovery yang timbul atas kontrak BP Migas dan PT. Pertamina EP. Pada tahapan selanjutnya, pada 26 Juni 2008 dilaksanakan Rapat Kerja (Raker) antara Komisi VII DPR-RI dengan Menteri Keuangan dan Konsultasi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Itu dimaksudkan untuk membahas cost recovery dan sebagai masukan PANJA BP/BPH Migas.
Kelemahan Kontrak PSC dan pelaksanaannya juga menjadi pembahasan dalam konsultasi dengan BPK RI. Saat itu pembahasan yang dilakukan meliputi: (1) Kelemahan Klausul-klausul Kontrak; (2) Permasalahan Penguasaan Barrel Minyak untuk Security of Supply Dalam Negeri; dan (3) Pengawasan Biaya KKKS Tahap Eksplorasi. Berkaitan dengan itu, BPK mengusulkan agar pemerintah menerima Barel Minyak sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan KKKS. Menurut pandangan BPK, hal itu tidak memberatkan mengingat di sisi lain hak KKKS telah dibayarkan dalam bentuk Barrel Minyak. Berdasarkan catatan ReforMiner, poin-poin yang disampaikan oleh BPK tersebut berkontribusi signifikan terhadap substansi Pasal 4 UU No.41/2008 yang mengamanatkan kepada pemerintah agar membentuk PP Cost Recovery. Kerena itu, sebagian dari masukan (catatan) BPK tersebut kemudian dituangkan dalam ketentuan PP No.79/2010.
Studi ReforMiner mengidentifikasi bahwa pemangku kepentingan, dalam hal ini legislatif berada pada satu sikap dan kesimpulan yang sama bahwa pemerintah perlu menerbitkan peraturan yang mengatur tentang cost recovery. Sedangkan dari unsur pemerintah (eksekutif) juga dapat dikatakan dari keseluruhan pihak/instansi yang berkontribusi dalam hal itu, juga relatif telah satu suara. Berdasarkan sikap dan posisi para pihak tersebut, terbitnya PP Cost Recovery sesungguhnya dapat dikatakan merupakan kesepakatan politik bersama. Seluruh Fraksi-Fraksi di DPR, baik yang tergabung dalam mitra koalisi maupun oposisi, terbukti berada pada sikap yang sama (kesepakatan) bahwa pemerintah perlu menerbitkan PP Cost Recovery. Sedangkan, baik untuk melaksanakan amanat dari DPR atau hanya untuk mengakomodasi kepentingan sektornya masing-masing, beberapa instansi pemerintah juga menyambut positif dan bahkan menjadi inisiator atas terbitnya PP Cost Recovery.
Berdasarkan review terhadap substansi ketentuan yang tertuang di dalam PP No.79/2010, ReforMiner berkesimpulan bahwa adalah terlalu dini dan menjadi kurang berdasar apabila dikatakan PP Cost Recovery ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih pasti dalam hal pengembalian biaya operasi dan masalah perpajakan. Selain itu, jika dikatakan dengan PP Cost Recovery ini iklim investasi hulu migas akan membaik dan lebih kondusif, hal ini tampaknya akan jauh dari harapan. Apalagi jika dikatakan bahwa PP Cost Recovery ini adalah jawaban atas segala permasalahan dan hiruk pikuk cost recovery selama ini, jawaban itu bukanlah jawaban yang tepat.
Pada tanggal 16 Juni 2011,Indonesian Petroleum Association (IPA) mengajukan judicial review atas PP 79/2010 atau PP Cost Recovery ke Mahkamah Agung. Pengajuan tersebut dikarenakan PP Cost Recovery dinilai meresahkan dan memiliki implikasi yang besar terhadap produksi migas. Berdasarkan ketentuan yang ada, pengajuan judicial review diberikan batas waktu selama 180 hari atau 6 (enam) bulan sejak regulasi diterbitkan. Tekait itu, IPA tetap mengajukan judicial review meskipun pada saat yang sama sedang dan terus membangun dialog yang positif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan. Dalam perkembangannya, pada tanggal 18 Oktober 2011 atau 3,5 bulan setelah IPA menyampaikan judicial review, Mahkamah Agung menyampaikan penolakan atas permohonan tersebut. Namun demikian, dasar penolakan atas itu belum dapat diketahui secara pasti oleh IPA, karena rincian dari hasil keputusan tersebut belum diterima oleh IPA. Berdasarkan review IPA, keputusan Mahkamah Agung yang keluar dalam waktu 3,5 bulan tersebut merupakan satu hal yang luar biasa. Pada umumnya, jika penolakan berisi substansi dari judicial review itu sendiri membutuhkan waktu sekitar 2 (dua) tahun. Berdasarkan pantauan ReforMiner, sampai saat ini rincian hasil keputusan dan dasar penolakan atas judicial review IPA belum disampaikan, paling tidak belum disampaikan (diketahui) oleh media dan publik.
Berdasarkan konstelasi aktor-aktor pengambil kebijakan, konsideran dan subtansi PP No.79/2010, dan tahapan yang telah dilalui, menunggu hasil argumentasi penolakan atas judicial review yang dilakukan IPA tampaknya kurang produktif. Itu karena hampir dapat dipastikan pemerintah sebagai termohon, dalam hal ini yang akan menang atau dimenangkana. Beberapa argumentasi yang memperkuat itu diantaranya: (1) Pasal 9 PERMA No.1/2004 menyatakan bahwa putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali – artinya penolakan Mahkamah Agung atas judicial review tersebut bersifat mutlak; (2) berdasarkan ketentuan dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, posisi pemerintah dalam hal ini relatif kuat. PP No.79/2010 secara tegas disebutkan sebagai aturan pelaksana atas UU No.36/2008, sehingga jika tidak bertentangan dengan itu tidak dapat digugat; dan (3) berdasarkan konstelasi aktor (stakeholder) dapat dikatakan bahwa IPA relatif berdiri sendiri – Kementerian ESDM dan BP Migas yang semestinya relatif dapat diharapkan untuk mengakomodasi kepentingan tersebut justru telah menjadi bagian dari aktor yang ikut mempertahankan PP Cost Recovery