Saturday, November 23, 2024
HomeStudiProyeksi Kebutuhan BBM dan Peran Teknologi Informasi

Proyeksi Kebutuhan BBM dan Peran Teknologi Informasi

Studi ReforMiner menemukan bahwa faktor pendorong utama bertambahnya kebutuhan BBM diantaranya adalah peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya jumlah kendaraan (mobil dan sepeda motor), dan pertumbuhan ekonomi (PDB). Secara kuantifikasi, peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan telah diakomodasi atau terefleksikan dalam besaran produk domestik bruto (PDB). Semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah kendaraan, potensi penambahan PDB juga akan semakin besar. Terkait hal tersebut, untuk memproyeksikan berapa kebutuhan BBM (termasuk BBM subsidi) diyakini bahwa besaran PDB telah cukup untuk dijadikan dasar perhitungan.

Mengacu pada formulasi tersebut, dalam menetapkan besaran kuota BBM bersubsidi di APBN, pertumbuhan ekonomi (PDB) seringkali (lazim) digunakan sebagai dasar perhitungan. Menurut pandangan ReforMiner, penggunaan PDB tersebut tidak keliru. Akan tetapi, jika hanya menggunakan pertumbuhan ekonomi (PDB) atau besaran total PDB sebagai dasar perhitungan, sesungguhnya tidak cukup. Terlebih asumsi PDB yang digunakan sebagai asumsi makro APBN adalah PDB harga berlaku. Dalam konteks anggaran, penggunaan PDB harga berlaku memang relevan mengingat hal tersebut sebagai basis perhitungan penerimaan perpajakan (tax ratio) yang mengacu pada harga belaku di tahun anggaran tertentu. Namun jika PDB berlaku digunakan sebagai basis menghitung atau memproyeksikan kebutuhan BBM, berpotensi terjadi deviasi. Hal itu dikarenakan peningkatan PDB berlaku tidak hanya disebabkan oleh peningkatan output (produksi barang dan jasa), namun juga dapat disebabkan oleh besarnya laju inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Untuk menghilangkan afek deviasi akibat inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah, PDB harga konstan lebih tepat untuk digunakan dalam memproyeksikan kebutuhan BBM. Penggunaan PDB harga konstan dengan tahun dasar tertentu, merupakan PDB yang dihitung pada tingkat harga yang sama. Karena itu, peningkatan nilai PDB yang terjadi semata-mata disebabkan karena meningkatnya produksi barang dan jasa. Dalam hal ini, peningkatan produksi barang dan jasa tentunya jauh lebih relevan terhadap meningkatnya kebutuhan BBM dibandingkan dengan peningkatan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Studi ReforMiner menemukan bahwa perkembangan PDB konstan dan konsumsi BBM menunjukkan pola yang relatif sama. Ketika nilai PDB harga konstan meningkat, konsumsi BBM juga meningkat. Secara teoritis hal tersebut relevan. Dalam hal ini, peningkatan produksi barang dan jasa memang membutuhkan daya dukung energi (termasuk BBM) dalam jumlah yang lebih besar lagi. Akan tetapi dari sejumlah observasi yang dilakukan belum menjawab (menunjukkan) dengan tegas bahwa pergeseran struktur ekonomi yang berbasis industri dan jasa membutuhkan daya dukung energi yang lebih besar. Belum konsistennya data sesuai logika dan teori, lebih dikarenakan data tersebut belum memperhitungkan porsi BBM dalam bauran energi final nasional. Produktivitas konsumsi BBM yang lebih besar menjadi tidak relevan jika porsi BBM dalam bauran energi final nasional adalah rendah.

Untuk mengetahui apakah kuota BBM subsidi telah sesuai dengan kebutuhan, dilakukan proyeksi kebutuhan BBM subsidi dengan beberapa skenario. Asumsi dan skenario yang digunakan dalam melakukan proyeksi kebutuhan BBM subsidi meliputi: PDB konstan 2013 sebesar Rp 2.796.172,66 milyar, porsi premium subsidi 100 % total konsumsi premium nasional, porsi solar subsidi 45 % total konsumsi solar nasional, dan porsi BBM terhadap bauran konsumsi energi final nasional masing-masing diskenariokan 49 %, 50 %, 51 %, dan 52 %.

Berdasarkan hasil proyeksi, jika pola konsumsi dan elastisitas kebutuhan BBM subsidi 2013 relatif sama dengan tahun 2012, kuota BBM yang ditetapkan oleh pemerintah berpotensi untuk terlampaui (over kuota). Pada tahun 2013 pemerintah menetapkan kuota premium sebesar 29,20 juta KL. Sedangkan dengan skenario porsi BBM dalam bauran energi primer masing-masing sebesar 49 %, 50 %, 51 %, dan 52 %, konsumsi premium yang dibutuhkan masing-masing sebesar 30,11 juta KL, 30,72 juta KL, 31,34 juta KL, dan 31,95 juta KL.Untuk solar, pemerintah menetapkan kuota solar subsidi 2013 sebesar 15,11 juta KL. Sedangkan dengan skenario porsi BBM dalam bauran energi primer masing-masing sebesar 49 %, 50 %, 51 %, dan 52 %, konsumsi solar yang dibutuhkan masing-masing sebesar 17,69 juta KL, 18,05 juta KL, 18,41 juta KL, dan 18,77 juta KL.

Jika pola konsumsi dan elastisitas kebutuhan BBM subsidi 2013 relatif sama dengan rata-rata 6 tahun (2007 – 2012) terakhir, kuota premium yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut masih relatif aman. Potensi konsumsi premium mendekati kuota jika porsi BBM dalam bauran energi nasional mencapai 52 %. Dengan skenario tersebut, konsumsi premium pada 2013 diproyeksikan sebesar 28,21 juta KL. Sedangkan untuk kuota solar, baik dengan sekenario porsi BBM terhadap bauran energi nasional 49 %, 50 %, 51 %, atau 52 %, berpotensi terlampaui (over kuota). Mengingat, dengan skenario porsi BBM terhadap bauran energi nasional sebesar 49 % saja, solar yang dibutuhkan telah mencapai 15,69 juta KL, di atas kuota solar 2013 yang ditetapkan sebesar 15,11 juta KL. Akan tetapi, mengingat BBM jenis solar terdiri atas solar non subsidi (industri) dan solar subsidi, dasar penetapan kuoatnya dapat dimungkinkan berbeda dengan premium. Perhitungan kuota tersebut mengacu pada porsi solar subsidi terhadap total konsumsi solar nasional yang dalam 5 (lima) tahun terakhir rata-rata sebesar 45,44 %.

Penerapan teknologi informasi (IT) dalam proses distribusi BBM bersubsidi pada dasarnya lebih sebagai instrumen pencatatan dan upaya transparansi. Dengan penerapan IT dapat lebih mudah untuk mengetahui atau memetakan siapa saja pengguna BBM bersubsidi. Pemetaan pengguna BBM subsidi untuk sektor transportasi kemudian memungkinkan untuk dapat mengetahui berapa porsi konsumsi BBM subsidi yang dilakukan oleh mobil dinas, kendaraan pribadi, dan transportasi umum. Selain itu, penerapan IT juga dapat membantu untuk mengetahui pola konsumsi BBM subsidi berdasarkan wilayah.

ReforMiner menilai, penerapan IT tersebut sesungguhnya belum dapat digunakan untuk menghitung berapa penghematan BBM subsidi yang akan didapat.Sampai sejauh ini, pemerintah belum dapat mengetahui dan memproyeksikan dengan tepat berapa sesungguhnya kebutuhan BBM bersubsidi. Hal tersebut tercermin dari realisasi konsumsi BBM bersubsidi yang hampir selalu berbeda dengan target kuota yang telah ditetapkan di APBN. Jika kebutuhan BBM subsidi belum dapat dihitung (diproyeksikan) dengan pasti, tentunya potensi kebocoran juga belum/tidak dapat dihitung. Mengingat, kebocoran merupakan selisih antara kebutuhan yang sesungguhnya dengan realisasi distribusi/konsumsi BBM bersubsidi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments