KOMPAS: Senin, 15 Oktober 2018
Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan tentang struktur pembentuk harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga dianggap perlu untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
JAKARTA, KOMPAS — Publik selaku konsumen bahan bakar minyak perlu diedukasi tentang struktur pembentuk harga bahan bakar. Pasalnya, Indonesia bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak lantaran produksi di dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Dengan demikian, setiap kenaikan harga jual bahan bakar minyak dapat dipahami alasannya.
Pengajar pada Fakultas Teknologi dan energy Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto berbendapat, edukasi tentang harga bahan bakar minyak (BBM) diperlukan semua pihak naik turunnya harga BBM sesuai faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah hal yang wajar. Pemerintah juga pernah menurunkan harga BBM saat harga minyak mentah rendah dan posisi rupiah terhadap dollar AS stabil di kisaran Rp 13.000 per dollar AS.
“Jadi dengan naiknya harga minyak mentah dunia dan posisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS penyesuaian harga BBM adalah hal yang wajar,†kata Pri Agung saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/10/2018).
Menurut Pri Agung, sudah saatnya tidak mengaitkan pergerakan harga BBM dengan urusan politik praktis.
Pada Rabu (10/10) sore, di Denpasar Bali, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkan kenaikkan harga premium dari Rp 6.450 per liter jadi Rp 7.000 per liter di Jawa dan Bali serta Rp 6.900 per liter di luar Jawa dan Bali. Kenaikan itu sedianya mulai berlaku pukul 18.00 pada hari yang sama. Namun, rencana dibatalkan dengan alasan menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).
Sementara harga jenis Pertamax naik dari Rp 9.500 per liter jadi Rp 10.400 per liter di Jawa dan Bali. Menurut Pertamina, kenaikan itu dipengaruhi harga minyak dunia yang mencapai 80 dollar AS per barel Serta posisi rupiah yang kian lemah.
Dikaitkan politik
Kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi sepakat bahwa publik perlu mendapat penjelasan tentang pembentuk struktur harga BBM, yaitu harga minyak mentah dan krus rupiah.
Namun, dibalik kebijakan itu, ia menyebut pemerintah sekarang tampak kurang percaya diri dengan terus menahan harga BBM, khususnya jenis premium dan solar bersubsidi. Pemerintah cenderung mengaitkan harga BBM dengan politik dimana tahun depan merupakan tahun penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
“Sebenarnya masyarakat sudah mulai paham soal naik turunnya harga BBM. Pemerintah saja yang kurang percaya diri dan dikait-kaitkan dengan politik†kata tulus.
Hal itu tampak juga dengan diubahnya kebijakan pembatasan penjualan premium di Jawa dan Bali beberapa waktu lalu. Tujuan pembatasan tersebut adalah mengajak konsumen beralih menggunakan BBM yang lebih bersih, yakani jenis Pertamax dengan RON 92. Belakangan, kebijakan itu di revisi dan mewajibkan Pertamina menyediakan premium di seluruh wilayah Indonesia tanpa kecuali.
Ketua Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Gus Irawan, bisa memahami Pertamina menaikkan harga Pertamax. Menurut dia, keputusan itu wajar atau sebuah aksi korporasi. Pertamina menaikkan harga Pertamax untuk menghindari kerugian yang lebih besar karena kenaikkan harga minyak dunia.
“Ini kompensasi dari ketetapan pemerintah yang tidak mau menaikkan harga BBM (premium dan solar bersubsidi) sampai 2019. Ini kompensasi Pertamina yang mendapat penugasan pemerintah terkait penyaluran premium tanpa pemberian subsidi,†kata Gus Irawan.
Pemerintah, dalam berbagai kesempatan, menegaskan tidak akan menaikkan harga premium dan solar bersubsidi sampai 2019. Alasannya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga premium dan solar bersubsidi tak berubah sejak April 2016, yakni Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter.