Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2011Renegosiasikan Kepemilikan

Renegosiasikan Kepemilikan

Kompas, 4 Juni 2011

Jakarta, Kompas – Renegosiasi kontrak karya di sektor pertambangan umum dan minyak bumi hendaknya dipersiapkan secara matang agar tidak merugikan bangsa Indonesia. Pemerintah juga semestinya memprioritaskan peran nasional dalam penguasaan sektor pertambangan melalui divestasi atau pengalihan hak partisipasi.

Pandangan ini dikemukakan sejumlah pengamat pertambangan dan energi di Jakarta, Jumat (3/6), menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 3/6). Presiden menegaskan, pemerintah mengambil kebijakan akan merenegosiasi semua kontrak karya dengan perusahaan dan mitra dari negara lain yang dirasa tidak adil atau merugikan Indonesia.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan, pemerintah masih melakukan pemetaan dan penilaian terhadap kontrak karya asing dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sejauh ini belum ada laporan yang cukup kepada Presiden tentang keseluruhan kontrak yang berlangsung, khususnya yang berjangka panjang.

Newmont jadi model

Menurut pengamat energi Kurtubi, dalam kontrak karya untuk pertambangan umum ada dua hal yang perlu diperbaiki. Pertama, besaran royalti perlu dikoreksi karena royalti saat ini sangat rendah lantaran merupakan peninggalan zaman kolonial. Selain itu, pemegang kontrak karya juga diwajibkan mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pemerintah (pusat dan daerah), seperti model kontrak karya PT Newmont Nusa Tenggara di Nusa Tenggara Barat.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu, menjelaskan, pihaknya akan berada di garda terdepan dalam setiap negosiasi kontrak tambang pada masa mendatang dengan model yang digunakan terhadap tambang emas Newmont. Keikutsertaan pemerintah dalam manajemen untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari dividen, pajak, dan royalti.

Renegosiasi, menurut Agus, diharapkan akan menyebabkan kepemilikan nasional tetap dominan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun swasta nasional. Ini dilakukan atas kepemilikan di tambang Newmont, yakni mempertahankan kepemilikan nasional 51 persen, di mana pemerintah pusat memiliki 7 persen saham, pemerintah daerah dan swasta nasional 24 persen, serta 20 persen pihak swasta nasional murni.

Sistem konsesi

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto mengemukakan, untuk pertambangan umum, renegosiasi memang sangat perlu dilakukan. Tidak hanya untuk renegosiasi besaran royalti yang saat ini sangat rendah, yaitu hanya 1 persen hingga 3,5 persen dari nilai penjualan bersih, katanya.

Renegosiasi itu juga menyangkut sistem konsesi kontrak karya yang digunakan dan cenderung longgar dalam pengawasan. Royalti seharusnya lebih berkeadilan, yakni semestinya dikenakan 20-30 persen dari nilai penjualan kotor, bukan nilai penjualan yang sudah dikurangi biaya-biaya, ujarnya.

Komisaris Utama Medco Energi International Hilmi Panigoro sebelumnya mengatakan, dengan kondisi penguasaan modal dan teknologi yang masih terbatas, perlu dikombinasikan kekuatan perusahaan nasional dengan multinasional dalam sektor migas.Hilmi menjelaskan, pemerintah bisa mendorong kemajuan perusahaan migas nasional, antara lain mengubah desain kontrak kerja sama migas agar lebih fleksibel. Lapangan produksi dan eksplorasi yang ditemukan pada akhir kontrak bisa diperpanjang, tetapi untuk wilayah yang lain harus dikembalikan kepada pemerintah dengan cara dilelang.

Pemerintah juga bisa memprioritaskan lapangan migas yang tak membutuhkan biaya dan teknologi tinggi untuk dikelola perusahaan migas nasional melalui mekanisme bisnis jelas, bukan nasionalisasi.

Cara ini dipraktikan di Meksiko. Lapangan-lapangan milik perusahaan multinasional dibeli sedikit demi sedikit sampai akhirnya dikuasai. Dengan cara ini perusahaan multinasional yang keluar dari Meksiko pun tetap diperlakukan adil dan iklim investasi aman, ujar Hilmi.

Di sektor migas, menurut Kurtubi, isi kontrak yang harus diubah adalah kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) harus diubah dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi selaku wakil pemerintah menjadi badan usaha milik negara, yakni PT Pertamina.

Hal ini bertujuan agar negara tidak dirugikan, antara lain dalam kontrak PSC yang sudah selesai, BUMN bisa 100 persen mengambil alih sehingga peluang untuk dijadikan sumber oleh pihak tertentu bisa dihilangkan, katanya. Dengan demikian, pada akhirnya Indonesia akan dapat mengoperasikan mayoritas lapangan migas di Indonesia.

Pri Agung menyatakan, sistem PSC sebenarnya sudah cukup bagus bagi negara, tetapi dalam implementasi perlu lebih dioptimalkan. Renegosiasi tidak diperlukan secara menyeluruh seperti halnya di tambang umum, hanya pada kasus-kasus tertentu saja, seperti Blok Tangguh dan East Natuna, ujarnya.

Berdasarkan data BP Migas, ada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang akan berakhir masa kontraknya kurang dari 10 tahun. Masa kontrak Total E & P Indonesie yang mengelola Blok Mahakam, misalnya, akan berakhir pada 2017. Beberapa KKKS akan berakhir kurang dari 10 tahun, kata Deputi Keuangan BP Migas Wibowo S Wirjawan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments