Detik.com, 20 Agustus 2018
Jakarta – Akuisisi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh BUMN PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada yang beranggapan bahwa pemerintah bisa mendapatkan mayoritas sahamnya secara gratis dengan menunggu kontrak karya (KK) PTFI berakhir pada 2021.
Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro menjelaskan masalah-masalah yang membuat langkah tersebut sulit terjadi.
“Itu adalah pendapat yang sesat. Menurut KK, perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), yang memiliki PTFI, dan pemerintah Indonesia adalah dua pihak yang berkontrak dan kedudukannya sejajar. Jadi masalahnya tidak semudah yang dibayangkan. Ibaratnya, tidak seperti kos-kosan yang masa huninya habis lalu pemilik kos bisa langsung mengusir si penghuni,” ujar Komaidi dalam keterangan tertulis, (20/8/2018).
Ia menjelaskan kontrak karya Freeport tidak sama dengan yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina.
Dalam peralihan sektor minyak dan gas pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah.
Ia melanjutkan, kontrak karya PTFI memang akan berakhir pada 2021 mendatang. Namun, Komaidi menjelaskan terdapat perbedaan antara pemerintah dan Freeport di dalam menafsirkan substansi KK tersebut.
Freeport menafsirkan mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara “tidak wajar”.
Berdasarkan pengertian dari FCX tersebut, Komaidi menilai, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai 2041 maka hal itu bisa dijadikan landasakan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Sementara peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase itu tak terjamin 100%.
“Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited, diestimasi sekitar US$ 6 miliar. Pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun,” ujarnya.
Selain itu proses panjang arbitrase akan menyebabkan ketidakpastian operasi, membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi khususnya ke Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua yang cukup besar. Ia menggambarkan, 90% kegiatan ekonomi 300,000 penduduk di Mimika bergantung pada operasional PTFI. Akibat proses arbitrase, PTFI bisa saja mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatannya.
“Akan ada dampak sosio-politik akibat dari berhentinya operasi PTFI akan sangat besar terhadap Papua, dimana 45% GDP provinsi dan 90% GDP Kabupaten Mimika bersumber dari operasional PTFI,” ungkap dia.
Dia menambahkan, jika Indonesia dan FCX menempuh arbitrase dikhawatirkan PTFI akan berhenti melakukan penambangan bawah tanah, atau block caving yang dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen. Jika hal itu terjadi, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk pemulihan operasional tambang. Menurut Komaidi, metode block caving yang sedang dioperasikan saat ini di Grasberg adalah yang terumit dan tersulit di dunia sehingga memerlukan biaya mahal untuk pemulihannya.
Hal senada juga diungkap Geolog dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Iwan Munajat. Ia mengatakan jika peralihan Freeport ke Indonesia tidak baik, bisa mengakibatkan tambang berhenti dan runtuh. Hal iu bisa mengakibatkan kerugiannya besar mencapai US$ 20 hingga 25 miliar untuk membuat kanal-kanal baru.
“Begitu tambang berhenti semua rugi, Indonesia rugi, Freeport rugi, dan saudara-saudara kita di Papua juga rugi,” kata Iwan.
Ia melanjutkan, kepastian investasi perlu dilakukan segera karena transisi dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah yang saat ini dilakukan oleh PTFI membutuhkan investasi besar sekitar US$ 5 miliar hingga 2022. Investasi ini berpotensi terhambat 5-10 tahun apabila terjadi proses arbitrase atau jika tanpa adanya kepastian perpanjangan izin operasi PTFI saat ini, termasuk terganggunya rencana pembangunan smelter yang harus sudah selesai di 2023.
Soal harga divestasi yang dianggap kemalahan, nilai US$ 3,85 miliar dinilai wajar jika dibandingkan dengan valuasi yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Geolog Indonesia (IAGI) pada akhir tahun 2017. Harga yang diperkirakan oleh IAGI adalah US$ 4,5 miliar. Kekayaan tambang Grasberg bernilai US$ 150 miliar, dan laba bersih PTFI diperkirakan akan mencapai lebih dari US$ 2,2 miliar setelah 2022.