Kompas; Selasa 3 Oktober 2017
JAKARTA, KOMPAS PT Pertamina (Persero) akan menanggung risiko tidak berubahnya harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi sampai akhir tahun ini. Dari catatan pemerintah, penjualan premium diperkirakan menim bulkan defisit Rp 6,5 triliun dan pada solar bersubsidi Rp 18 triliun sepanjang tahun ini.
Akhir pekan lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan harga premium tetap Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Dengan keputusan tersebut, praktis tidak ada perubahan harga untuk jenis premium dan solar bersubsidi sepanjang tahun ini. Di satu sisi, harga minyak mentah dunia terus naik di atas 50 dollar AS per barrel.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan, tidak ada jalan keluar lain atas keputusan pemerintah tidak mengubah harga bahan bakar jenis premium dan solar bersubsidi di tengah kenaikan harga minyak dunia. Mau tidak mau, Pertamina akan menanggung selisih lonjakan harga minyak mentah dengan harga jual bahan bakar minyak (BBM).
Penambahan subsidi juga tampaknya tidak memungkinkan karena ruang fiskal kita sangat terbatas, kata Satya, Senin (2/10), di Jakarta.
DPR sebetulnya sudah memberikan persetujuan kepada pemerintah untuk mengkaji harga BBM setiap tiga bulan, yaitu untuk jenis premium, solar bersubsidi, dan minyak tanah. Pertimbangan kajian harga tersebut, selain pergerakan harga minyak dunia, adalah kondisi sosial ekonomi dan daya beli masyarakat.
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, sepanjang harga BBM tak berubah dan besaran subsidi sudah ditentukan, Pertamina akan menanggung selisih harga jual dengan harga keekonomian.
Tidak hanya Pertamina yang akan kena getahnya, tetapi tata kelola energi nasional, khususnya dalam hal kebijakan harga BBM, akan mentah kembali, ujar Pri Agung.
Kebijakan pemerintah mengenai harga BBM yang dievaluasi setiap tiga bulan, ujar Pri Agung, sudah tepat. Meski demikian, persoalan subsidi BBM bisa menjadi lebih baik karena harga jual ke masyarakat mempertimbangkan pergerakan harga minyak dunia.
Fungsi penugasan
Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan, Pertamina tidak akan membicarakan untung dan rugi dalam penjualan BBM, khususnya BBM jenis penugasan (premium) dan BBM jenis tertentu (solar bersubsidi).
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Pertamina mendapat penugasan untuk menyediakan kedua jenis bahan bakar tersebut.
Pertamina memang sebuah badan usaha yang harus mendapat untung, tetapi kami juga mendapat tugas dalam pelayanan publik. Pertamina akan tetap mematuhi patokan harga bahan bakar yang sudah ditetapkan pemerintah, kata Adiatma.
Pertamina, kata Adiatma, akan terus menerapkan efisiensi di segala lini. Cara ini ditempuh sebagai jalan keluar apabila timbul defisit yang harus ditanggung Pertamina.
Sebelumnya, dalam paparan kinerja Pertamina triwulan I-2017, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, terdapat selisih harga dalam penjualan BBM oleh Pertamina. Jenis BBM itu adalah premium dan solar bersubsidi yang harga jualnya ditetapkan pemerintah.
Saat ini, harga premium adalah Rp 6.450 per liter, sedangkan solar bersubsidi dijual Rp 5.150 per liter.
Jadi, kalau melihat selisih harga formula (harga keekonomian) dengan apa yang ditetapkan pemerintah, premium sekitar Rp 400 per liter di bawah harga formula, sedangkan solar Rp 1.150 per liter di bawah formula, ujar Arief (Kompas, 26/5).
Dalam APBN Perubahan 2017, pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia sebesar 45 dollar AS per barrel. Sampai September 2017, harga jual minyak mentah Indonesia mencapai 48,36 dollar AS per barrel.