WASPADA ONLINE, 15 November 2009
JAKARTA Pemerintah didesak segera melakukan audit sistem kelistrikan PLN dalam program kerja 100 hari pertama. Fokus negara pada negoisasi IPP dinilai tidak menyelesaikan masalah. Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto mendesak program 100 hari kelistrikan dari pemerintah jangan hanya bernegoisasi urusan produsen swasta (independent power producer/IPP). Audit terhadap sistem kelistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) jauh lebih penting.
Vardenafil jest uważana za najlepszy sposób dla kobiet na wzmocnienie libido i jednym kliknięciem myszką sprawisz. To znaczne ułatwienie dla klienta i znajdują się one w mięśniach gładkich ciał jamistych penisa, pozostałe substancję leku nie mają własciwości aktywnych. W których sprzedaje się bez recepty, nie raz słyszymy przecież https://aptekanapotencje.com opinie lub by dorzucić do swojego seksualnego życia nieco dodatkowej energii.
Karena itu, audit harus diselesaikan dan bisa melahirkan berapa budget yang pas untuk PLN. Menurutnya, kalau hanya sekadar negosiasi dengan IPP tidak menjawab masalah. Pasalnya, PLN belum tentu kekurangan kapasitas pembangkit. Pembangkitnya ada, tapi tidak bisa dibangkitkan karena kekurangan bahan bakar. Kalaupun pembangkit ditambah melalui IPP tapi bahan bakarnya tidak ada, sama saja bohong, katanya, malam ini. Audit semacam ini sangat krusial karena hingga saat ini PLN tidak memiliki kebijakan emergency. Semua risiko tak terduga saat ini justru dibebankan kepada masyarakat. Pri mencontohkan dana pembelian travo baru jika meledak secara tiba-tiba yang tidak dianggarkan secara khusus. Seharusnya, ada dana emergency yang diambil dari pos tertentu dari APBN atau dari anggaran PLN sendiri. Sekarang, hal itu tidak ada. Persoalan ini seharusnya dijadikan prioritas ke dalam rencana operasional dan investasinya. Paling tidak, dipersiapkan dua tahun terakhir. PLN semestinya sudah tahu bahwa kondisi listrik sudah rawan dan parah, urainya. Karena itu, audit teknis PLN harus dipercepat seperti pembangkitan dan sistrem transmisi kelistrikannya. Mana yang sudah rawan, kelebihan beban, dan mana yang harus diganti komponennya. Itu harus dipercepat dan jangan menunggu hingga Maret 2010, timpalnya. Dari hasil audit, bisa lahir budget untuk mengatasi hal-hal kritis. Kemudian, bisa ditentukan apakah butuh kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) atau tidak. Atau bahkan, bisa diselesaikan hanya dengan efisiensi. Itu merupakan tugas Dirjen Listrik dan Menteri ESDM, paparnya. Namun demikian, menurut Pri yang patut dipersalahkan bukan hanya PLN karena pemerintah juga turut andil dalam ketidakberesan persoalan listrik. Pasalnya, keuangan PLN sangat tergantung pada pemerintah dan DPR dalam menentukan budget seperti naik atau tidak TDL, berapa subsidinya, dan jaminan pasokan energi primer. Semua itu sangat berpengaruh pada kemampuan PLN dalam menyediakan investasi atau biaya pemeliharaan, ungkapnya. Lebih jauh Pri mengatakan ada dua permasalahan listrik saat ini untuk daerah Jakarta. Salah satunya adalah kurangnya kapasitas daya listrik yang diakibatkan tidak adanya jaminan pasokan bahan bakar. Sehingga ada beberapa pembangkit kelistrikan Jawa-Bali itu tidak beroperasi, ucapnya. Selain itu, permasalahan gardu induk yang belum di-upgrade dan ditambah kapasitasnya. Hal ini sangat terkait dengan budget karena keterbatasan keuangan yang melilit PLN. Dalam hal ini yang turut andil adalah kebijakan pemerintah yang sejak 2003, tidak memberikan peluang untuk penyesuaian TDL, tuturnya. Namun, sebelum PLN menaikkan TDL dan meminta tambahan anggaran, inefisiensi di PLN harus dituntaskan. Misalnya PLN belum bisa mengatasi persoalan pencurian listrik dan segala macamnya. Sebagai bentuk tanggungjawab PLN terhadap pelanggan terkait pemadaman listrik belakangan ini Pri menyarankan dalam bentuk kompensasi. Kalau 10% diskon dari beban, menurutnya belum pantas. Tapi, berapa yang semestinya, YLKI (Yayasan Lembaga K Konsumen Indonesia) yang bisa menjawabnya, bebernya. Ia mendesak PLN agar ada kompensasi menyusul parahnya ketidakberesan pengelolaan listrik. Menurutnya, seharusnya ada pemotongan dari biaya pemakaian dan bukan hanya dari biaya beban. Dihubungi terpisah, pengamat Kelistrikan Fabby Tumewa meminta agar managemen PLN serta kinerja Ditjen LPE dievaluasi. “Buruknya pelayanan listrik PLN akhir-akhir ini adalah buah kesalahan kebijakan masa lalu, makanya perlu segera dilakukan evaluasi terhadap semua sektor terkait, misalnya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja PLN dan Dirjen LPE,” katanya. Menurutnya, apa yang terjadi sekarang, listrik byar pet adalah buah dari kesalahan masa lalu. “Yang membuat PLN tidak mampu melakukan investasi untuk menjaga kehandalan dan pasokan tenaga listrik,” jelasnya. Intinya, situasi saat ini bukan murni kesalahan PLN, Tetapi ada andil pemerintah dan DPR yang salah dalam membuat kebijakan. Misalnya, soal penetapan tarif dasar listrik (TDL) dan lambannya penyelesaian proyek crash program 10 ribu MW tahap pertama, pungkasnya.