Pri Agung Rakhmanto
Koran Sindo, 15 November 2009
SERUANuntuk mengubah paradigma untuk beralih dari mengandalkan minyak sebagai penopang penerimaan negara dan sebagai sumber energi utama dalam pemanfaatan energi di Tanah Air sesungguhnya sudah digaungkan sejak lebih dari dua dekade lalu. Seruan itu pun sudah (selalu) dituangkan ke dalam dokumen-dokumen kebijakan energi nasional yang selama ini kita miliki.Namun karena hanya terhenti pada tataran (dokumen) kebijakan,sementara pada tataran eksekusi dan implementasinya minim, ketergantungan negeri ini terhadap minyak, baik dalam hal penerimaan negara maupun dalam hal pemanfaatan sumber energi masih tetap dominan hingga kini. Dalam hal penerimaan negara, selama lima tahun terakhir di mana harga minyak rata-rata mencapai USD64 per barel, kurang lebih 30% penerimaan negara di APBN masih bersumber dari minyak.
Dalam hal bauran energi, sejak awal 1990- an hingga saat ini,lebih dari 45% bauran energi primer dan 60% bauran energi final juga masih didominasi minyak. Kondisi seperti ini tentu bukanlah merupakan sesuatu yang layak dibanggakan atau patut dilanjutkan. Setidaknya ada dua alasan utama yang mendasarinya. Pertama, karena jumlah cadangan minyak kita yang terbatas. Posisi saat ini, cadangan minyak terbukti (proven oil reserves) hanya ada di kisaran 3,75 miliar barel (hanya 0,4% dari total cadangan terbukti minyak dunia). Dengan tingkat produksi saat ini yang mencapai kurang lebih 345 juta barel per tahun dan jika tanpa ada penemuan cadangancadangan minyak baru, maka ketersediaan cadangan terbukti minyak kita akan habis hanya dalam waktu kurang dari 11 tahun dari sekarang. Upaya-upaya eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan baru dari potensi minyak yang (dikatakan) mencapai 80 miliar barel lebih tentu harus diintensifkan dan ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kehabisan minyak tersebut.Namun harap diingat, hal tersebut tidaklah mudah. Selain membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi, eksplorasi tidaklah selalu berhasil. Artinya belum tentu dari 80 miliar barel lebih potensi minyak yang sering dikatakan ada,semuanya dapat menjadi cadangan terbukti yang dapat diproduksikan.
Bahwa produksi dan cadangan minyak kita selama sepuluh tahun terakhir berangsur-angsur terus menurun (produksi terus turun dari di atas 1,4 juta barel per hari di tahun 1999 menjadi hanya 948 ribu barel per hari saat ini dan pada periode yang sama cadangan terbukti turun dari 5,2 miliar barel menjadi hanya 3,75 miliar barel) adalah suatu indikasi yang sangat jelas bahwa ketersediaan minyak yang dapat diproduksikan di Tanah Air sudah semakin terbatas dan langka. Selama periode itu pula, target produksi (lifting)minyak pemerintah yang menjadi salah satu asumsi dasar APBN hampir selalu gagal terpenuhi.
Dengan kondisi seperti ini, jika kita masih terus memaksakan bergantung dan mengandalkan minyak sebagai andalan penerimaan negara, maka tidak hanya APBN sajalah yang dari tahun ke tahun harus mengalami tekanan fiskal (karena target produksi tak tercapai), tapi fenomena mengobral atau menjual murah pengelolaan sumber daya minyak kepada investorinvestorlah (utamanya asing) yang akan terjadi. Dalam konteks ini, hampir dapat dipastikan bahwa untuk memacu investasi demi mengejar peningkatan produksi yang belum tentu dapat dicapai, kebijakan pemberian aneka insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang tak jarang hingga mengorbankan kepentingan energi domestik akan (selalu) ditempuh.Dampak jangka panjangnya, bisa-bisa potensi minyak yang (dikatakan) mencapai 80 miliar barel tersebut benar-benar terbukti ditemukan dan dapat diproduksi, anak dan cucu kita di kemudian hari tetap tak dapat menikmatinya secara utuh karena sudah terlebih dahulu diijonkan kepada pihak asing. Maka, ke depan kiranya menjadi lebih baik untuk tak perlu (lagi) memaksakan diri terus- menerus menggenjot produksi minyak sehingga kita bisa memiliki posisi tawar yang lebih baik sehingga pada gilirannya justru dapat mendorong lahirnya pola pengusahaan dan pengelolaan minyak yang lebih menguntungkan bagi bangsa ini.
Prinsip tidak laku saat ini tidak menjadi masalah (karena dapat dimanfaatkan anak cucu di masa mendatang) hendaknya kita kedepankan dalam pengelolaan minyak nasional. Ini hanya bisa dilakukan jika kita secara sungguh-sungguh dan konsisten bertekad untuk tidak menggantungkan lagi penerimaan negara kita pada minyak. Kedua, karena kita memiliki sumber energi lain yang ketersediaannya lebih besar dibandingkan minyak. Gas alam dan batubara adalah dua sumber energi fosil lain yang kita miliki yang mestinya mendapatkan perhatian lebih serius untuk benarbenar ditempatkan sebagai sumber energi dan bahan baku industri domestik daripada hanya sekadar sebagai komoditas yang dapat diekspor untuk menghasilkan devisa. Dengan cadangan terbukti yang juga tergolong tak terlalu besar lagi (tapi terbilang masih cukup), sekitar 106 triliun kaki kubik, dan dengan defisit gas nasional yang terjadi saat ini, orientasi produksi gas semestinya bukan lagi untuk ekspor. Pembangunan infrastruktur gas seperti pipa transmisi dan distribusi, LNG receiving terminal, mestinya tak lagi sekadar diserahkan kepada mekanisme pasar (investor), tetapi butuh inisiasi dan intervensi langsung dari pemerintah untuk memulainya.
Demikian halnya dengan batubara. Dengan cadangan mencapai 4,3 miliar ton dan potensi mencapai 104 miliar ton, penggunaan batubara untuk energi domestik, khususnya untuk pembangkit listrik mestinya juga menjadi prioritas. Selain batubara dan gas, panas bumi adalah salah satu sumber energi lain yang terbarukan yang kita miliki yang semestinya juga kita manfaatkan untuk dapat mengurangi ketergantungan energi kita terhadap minyak. Dengan total potensi mencapai 27.000 MWe lebih, sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 1.000 MWe, jelas panas bumi merupakan sumber energi yang masih sangat potensial untuk dikembangkan. Selain itu,masih ada sumber energi surya, air, coal bed methane (CBM), dan bahan bakar nabati yang kesemuanya belum tergarap secara optimal. Maka, sudah sewajarnya kita tak lagi menggantungkan minyak sebagai sumber energi kita dan sudah sewajarnya pula bila segala sumber daya dan upaya kita kini tak lagi harus terlalu difokuskan kepada minyak. Dengan melakukan itu sesungguhnya kita bukanlah mengabaikan minyak yang memang tak dapat dibantah merupakan sumber energi paling strategis di dunia melainkan kita justru memeliharanya supaya lebih sustainable. Demi pengelolaannya yang lebih baik dan menguntungkan, tidak hanya bagi kita saat ini,tetapi juga bagi generasi yang akan datang.(*)