Pri Agung Rakhmanto
Sinar Harapan, 20 Juli 2007
Wacana dan kontroversi seputar pembangunan PLTN kembali mengemuka. Tulisan ini pun merupakan bagian dari wacana dan kontroversi itu. Pemicunya tak lain adalah sikap pemerintah untuk melanjutkan kembali rencana pembangunan PLTN Muria, yang sempat mengendap sepuluh terakhir ini.
Oleh pemerintah, pembangunan PLTN Muria direncanakan akan dimulai tahun 2010 dan diharapkan dapat beroperasi tahun 2016/2017.
Terkait sikap dan rencana pemerintah ini, satu pertanyaan sederhana yang mungkin paling sering muncul adalah: apakah kita, bangsa Indonesia, pemerintah dan segenap masyarakatnya, memang sudah siap untuk membangun dan memiliki PLTN? Untuk dapat menjawabnya, setidaknya ada beberapa aspek berikut yang patut dicermati.
Dalam pengembangan PLTN, aspek penguasaan teknologi dapat dikatakan menjadi syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar. Secara sederhana, penguasaan teknologi PLTN ini mencakup desain dan perencanaan, konstruksi/pembangunan, pengoperasian, perawatan, penanganan limbah, dan penanganan keadaan darurat.
Dari cakupan tersebut, sudahkah kita sebagai bangsa benar-benar menguasainya? Mencermati perkembangan perjalanan program pembangunan PLTN di Indonesia hingga hari ini, tanpa mengecilkan arti dari kemampuan tenaga ahli kita sendiri di bidang nuklir, tampaknya kita harus jujur dan berlapang dada mengakui bahwa sebenarnya kita masih jauh dari siap dalam hal penguasaan teknologi PLTN.
Dari tahap studi kelayakan yang dilakukan pertama kali tahun 1978, kemudian 1985, 1989 dan 1991, kesemuanya tak lepas dilakukan (atau kata halusnya dibantu) oleh pihak asing. Mulai dari Italia (CESEN), Amerika Serikat (Bechtel International), Perancis (SOFRATOME), dan International Atomic Energy Agency (IAEA). Kemudian dalam tahap pemilihan dan evaluasi tapak PLTN (1991-1996), juga adibantua oleh perusahaan konsultan asing NEJWEJ Inc.
Dan kini, ketika rencana pembangunan PLTN kembali akan dilanjutkan, campur tangan pihak asing pun tampaknya kembali akan mendominasi. Dalam hal ini pemerintah hanya akan bertindak sebagai fasilitator untuk tender pembangunan PLTN yang rencananya akan dilakukan pada tahun 2008.
Budaya dan Sikap Mental Lalu, siapakah sebenarnya yang akan membangun PLTN itu? Lagi-lagi, kemungkinan besar adalah perusahaan-perusahaan dari negara-negara yang sudah berpengalaman dalam PLTN, seperti AS, Jepang, Korea, ataupun Prancis.
Apakah salah jika kita bekerja sama dengan pihak asing dalam pembangunan PLTN ini? Tentu tidak ada yang salah dengan bekerja sama dengan siapa pun. Tetapi, yang harus jeli dibedakan dalam hal ini adalah apakah bahwa hal itu benar-benar merupakan bentuk kerja sama yang sederajat atau lebih hanya merupakan bukti ketidakmampuan dan ketergantungan kita saja? Kita tentu sangat tak mengharapkan memiliki PLTN, tetapi dalam hal perawatan dan penggantian suku cadangnya tetap akan bergantung kepada pihak luar.
Tak ada signifikansi multi-plier effect dan nilai tambah yang dihasilkan dari adanya pola kerja sama (baca ketergantungan) seperti ini. Sampai kapanpun, jika pola amembeli teknologia selalu dipertahankan, bangsa Indonesia tetap akan menjadi bangsa kuli yang hanya sok gagah.
Dalam konteks ini, ketidakmandirian industri migas dan pertambangan kita kiranya dapat menjadi cermin yang sangat jelas. Ditilik dari dimensi politik-ekonomi energi, terlalu mahal biaya yang akan ditanggung bangsa ini suatu saat nanti jika dalam urusan PLTN ini pun kita hanya menempuh cara instan dengan amembelia teknologi.
Dari sekian banyak karakteristik budaya dan sikap mental bangsa Indonesia, setidaknya ada dua hal yang sangat relevan dengan rencana pembangunan PLTN ini, yaitu budaya disiplin dan budaya memburu rente ekonomi (secara lebih sederhana, budaya korup).
Tanpa berpretensi untuk skeptis dan merendahkan martabat bangsa sendiri, harus diakui, sampai saat ini disiplin masih merupakan suatu barang yang langka di negeri ini. Lebih Berhak Di sisi lain, perilaku korup dan memburu rente ekonomi dari proyek-proyek besar pemerintah, dapat dikatakan telah melekat dalam kehidupan sehari-hari bangsa ini.
Kasus lumpur Lapindo utamanya tentu terkait dengan kedua hal ini. Demi mengejar keuntungan materi semata, faktor keselamatan adalah yang kesekian. Pun setelah itu penyelesaiannya tak kunjung tuntas, abu-abu, dan tak sinkron antara kata dan perbuatan.
Tak terbayangkan betapa besar risiko yang harus ditanggung oleh bangsa ini jika kita memiliki PLTN, tetapi dibangun di atas fondasi disiplin yang rendah dan budaya yang korup.
Melihat jejak rekam (track record) proyek-proyek besar nasional selama ini, sangat mungkin bahwa pembangunan PLTN ini pun sebenarnya hanya menguntungkan segelintir elite saja, baik pengusaha maupun oknum birokrat pemerintah yang berwenang. Dan budaya ini adalah track record yang sudah terjadi berulang-ulang, menjadi kebiasaan, mengakar, sehingga menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Bisa berubah, tetapi tidak seketika. Indikasi bahwa hal itu juga muncul dalam kasus PLTN ini pun bukannya tak ada. Secara sederhana saja, dengan kondisi ketidaksiapan penguasaan teknologi dan masih tersedianya sumber energi alternatif lain (yang memang juga masih belum serius digarap), mengapa harus memaksakan membangun PLTN?
Untuk mengatasi krisis listrik dimasa depan? Rasanya terlalu naA?f, jelas masih banyak alternatif lain yang lebih jauh rasional dan lebih sedikit amudharatanya yang masih dapat ditempuh.
Jadi, sebenarnya, tak perlu memaksakan kehendak demi suatu proyek yang sangat bernuansa mercusuar, rawan perburuan rente, dan juga beresiko tinggi. Tak perlu malu untuk melangkah mundur demi sesuatu yang lebih baik. Apa yang baik bagi negara lain, belum tentu baik untuk negara ini.
Sangat bisa jadi, masyarakat banyak pun sebenarnya tak membutuhkan kehadiran PLTN ini. Penolakan masyarakat, khususnya di sekitar lokasi, jelas tak dapat dianggap sebagai riak kecil. Merekalah yang jauh lebih berhak menentukan apa yang terbaik untuk kehidupan mereka sendiri.
Oleh : Pri Agung Rakhmanto