Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
KORAN SINDO – 24 Oktober 2012
Sejumlah anggota DPR dan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) menolak rencana pembukaan pasar distribusi BBM Bersubsidi di Jawa Bali mulai 2013. Sebelumnya, pemberitaan menyebutkan kuota BBM bersubsidi yang akan diserahkan kepada asing untuk tahun 2013 sekitar 1,1 juta kiloliter atau meningkat sebesar 590 % dari kuota tahun 2012 sebesar 160 ribu kiloliter. Banyak pihak menyebut itu sebagai bentuk liberalisasi.
Berdasarkan regulasi yang ada, keputusan pemerintah tersebut dapat dikatakan tidak keliru. Ketentuan UU Migas No.22/2001 beserta aturan pelaksananya (Perpres No.71/2005 dan Permen ESDM No.7/2005), memberikan ruang untuk itu. Akan tetapi, jika merujuk pada beberapa ketentuan UU No.22/2001 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), relevansi penggunaan UU tersebut sebagai dasar masuknya asing, kiranya perlu ditinjau kembali. Terlebih saat ini juga terdapat 2 (dua) permohonan judicial review atas UU tersebut. Selain itu, proses revisi atas UU tersebut juga sedang bergulir di DPR.
Pertimbangan Strategis
Jika hanya mengacu pada regulasi yang ada, melibatkan asing dalam tata niaga BBM bersubsidi memang tidak keliru. Akan tetapi, dalam kerangka yang lebih luas kebijakan tersebut perlu dikaji ulang. Dalam pembangunan nasional, melibatkan asing memang tidak keliru. Akan tetapi, itu dilakukan manakala kemampuan nasional belum cukup memadai. Artinya, pelibatan tersebut hanya dimaksudkan sebagai pelengkap. Tujuannya, mengerjakan hal-hal yang belum dapat dikerjakan oleh nasional. Sementara, dalam distribusi BBM bersubsidi, kemampuan nasional atau PT Pertamina selama ini terbukti telah mampu menanganinya tanpa adanya keterlibatan asing di dalamnya. Sehingga, menjadi relatif sulit dipahami sesungguhnya apa manfaat atau objective melibatkan asing dalam hal itu.
Jika tidak hati-hati, keterlibatan asing dalam distribusi BBM bersubsidi dapat mengancam stabilitas pasokan BBM dan keuangan negara di masa mendatang. Tidak adanya kewajiban membangun kilang sebagai prasyarat masuknya asing dalam distribusi BBM, cukup mengkhawatirkan. Itu mengingat kapan saja, mereka dapat meninggalkan Indonesia jika margin usaha yang diharapkan tidak terpenuhi. Terlebih, dengan tidak dimilikinya aset kilang di dalam negeri, mereka juga tidak memiliki kepentingan untuk tetap bertahan di Indonesia. Jika itu terjadi ketika porsi asing sudah besar, pasokan BBM nasional dapat terancam. Belajar pada kasus kedelai, kemudian pilihannya hanya ada dua, membeli pada harga yang mahal atau terjadi kelangkaan.
Jika pelaksana distribusi BBM bersubsidi adalah BUMN, pemerintah dapat melakukan sharing the pain atau membagi beban. Pemerintah dapat meminta BUMN mengurangi margin usahanya, agar beban subsidi dan/atau harga BBM bersubsidi tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, jika pelaksana distribusi BBM bersubsidi adalah asing, margin usaha tentunya sudah harus pasti dan tidak dapat dinegosiasikan. Itu tidak keliru, mengingat orientasi mereka memang mencari keuntungan. Terlebih, mereka juga memang tidak memiliki kewajiban mengabdi kepada negara dan melayani masyarakat seperti halnya BUMN. Akibatnya, ketika harga minyak meningkat, pilihannya juga hanya ada dua, menaikkan harga atau menambah anggaran subsidi BBM.
Berdasarkan konsep ekonomi, unsur utama dalam pelaksanaan tender adalah kompetisi dan transparansi. Terkait itu, harga pasar (keekonomian) menjadi prasyarat utama dalam pelaksanaan tender. Sehingga, dapat dikatakan kurang tepat jika tender diimplemetasikan untuk BBM bersubsidi. Dalam hal ini, pelaksanaan tender dapat dipahami jika diterapkan untuk BBM non subsidi. Untuk itu-pun, Malaysia dan Singapura mewajibkan SPBU asing membangun kilang dan depo, jika ingin berjualan BBM di negara mereka. Padahal, dalam prakteknya izin membangun kilang dan depo di kedua negara tersebut juga tidak mudah. Itu dilakukan karena mereka memposisikan BBM sebagai komoditas strategis yang pengaturannya harus dengan cermat dan hati-hati.
Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, kiranya pemerintah perlu mengevaluasi kembali biaya dan manfaat keterlibatan asing dalam tender distribusi BBM bersubsidi. Akan tetapi, semua keputusan yang akan diambil akan berpulang kepada pemerintah. Publik hanya dapat berharap agar pemerintah dapat memposisikan BBM sebagai komoditas strategis, bukan komoditas yang biasa-biasa. Harapan publik adalah bahwa pengaturan BBM juga dilakukan dengan cara pandang dan pemikiran yang strategis, bukan cara pandang yang biasa-biasa. Karena itu, pengaturan BBM bersubsidi membutuhkan pengambil kebijakan dengan kualitas yang tidak biasa-biasa.