Okezone,12 September 2009
JAKARTA – Pengetatan anggaran dana Cost Recovery seharusnya tidaklah dijadikan sebagai kambing hitam atas tidak lakunya Wilayah Kerja Minyak dan Gas (WK MIGAS) dalam penawaran tahap pertama yang diumukan Jumat 11 September kemarin.
Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Priagung Rakhmanto, ada tiga hal yang dinilai lebih rasional yang bisa dijadikan alasan atas ketidaklakuan 11 dari 16 blok WK yang ditawarkan tersebut.
Pertama, kemungkinan blok-blok yang ditawarkan adalah blok-blok yang memang tidak prospektif. Kedua, kemungkinan blok-blok tersebut juga adalah blok-blok lama yang dulu juga belum laku.
Serta ketiga, berkaitan dengan data-data atau informasi awal berkenaan dengan blok-blok tersebut mungkin juga masih sangat mentah, sehingga mengharuskan investor untuk provide extra costs untuk memperkaya informasi tersebut.
“Solusinya, pemerintah harus mau keluar modal untuk provide data-data yang lebih matang atau memberi insentif. Kalau masalah cost recovery, kok terlalu jauh menurut saya. Ini kan baru mau eksplorasi,” ungkapnya dalam pesan singkatnya di Jakarta, Jumat (11/9/2009) malam.
Seperti diberitakan sebelumnya, pengetatan anggaran cost recovery mengancam investasi di sektor minyak dan gas bumi. Ditengarai hal itulah yang menjadi penyebab para investor enggan melakukan eksplorasi migas di Indonesia.
Pasalnya, ketidakjelasan Peraturan Pemerintah tentang Cost Recovery menjadi pengganjal. Serta menciutnya anggaran cost recovery yang disetujui dalam RAPBN menjadi hanya USD12,005 miliar.
Hal itu sudah terlihat dari sepinya peminat pada lelang Wilayah Kerja (WK) Migas tahap kedua yang mana dari 16 blok hanya laku lima blok saja menjadi suatu indikasi yang terlihat jelas. (ade)