Katadata.co.id; 15 April 2023
Penulis:
Pri Agung Rakhmanto
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti
Founder dan Advisor ReforMiner Institute
Transisi energi terus bergulir dan saat ini telah menjadi tema utama pengelolaan energi nasional. Berbagai proyeksi energi nasional ke depan di dalamnya selalu memasukkan elemen dan skenario transisi energi. Dalam berbagai kesempatan, selalu disampaikan peran sumber energi baru dan energi terbarukan (EBET) dalam bauran energi nasional diproyeksikan dan ditargetkan akan terus meningkat ke depannya.
Pada 2025 porsi EBET ditargetkan sebesar 23%, meningkat menjadi setidaknya 31% pada 2030, hingga kemudian pada 2060 Indonesia ditargetkan akan dapat mencapai net zero emission.
Di ranah publik, transisi energi saat ini memang cenderung lebih diidentikkan dengan bergesernya pendayagunaan energi dari berbasis fosil ke non-fosil, dan khususnya ke peningkatan peran dan porsi EBET dalam bauran dan pengelolaan energi nasional. Hal itu tentu tidak keliru, tetapi pada dasarnya tidak cukup proporsional di dalam memotret keseluruhan kondisi yang ada dan aspek yang terkait dengannya.
Porsi EBET dalam bauran energi nasional yang tercatat memang mengalami peningkatan cukup signifikan, dari sekitar 6,3% pada 2016 menjadi sekitar 13% pada 2022. Namun, porsi energi fosil sejauh ini juga terbukti masih signifikan, jika tidak bisa dikatakan sebagai tetap sangat signifikan.
Porsi batubara, misalnya, merujuk pada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2022, pada 2021 tercatat masih mencapai 37,6% dalam bauran energi primer. Porsi minyak dan gas (migas), lebih besar lagi, yaitu mencapai kisaran 51% dari bauran energi primer nasional pada 2021 lalu.
Defisit Migas
Terkait migas, implementasinya tampak perlu melihat lebih utuh pada hal-hal yang bekaitan dengan aspek ekonomi energinya. Dalam beberapa dokumen tertulis, berbagai skenario transisi energi yang ada, konsumsi migas Indonesia ke depan masih akan terus meningkat. sementara produksi migas terutama minyak bumi akan menurun.
Ini membawa konsekuensi dan implikasi bahwa transisi energi di dalam implementasinya akan terus berhadapan dengan persoalan defisit neraca migas dan kebutuhan devisa impor migas yang akan terus meningkat. Dokumen-dokumen tersebut adalah Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Outlook Energi Indonesia Tahun 2021 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT), dan An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Energi Internasional (IEA) dengan bekerja sama Kementerian ESDM.
Simulasi perhitungan ReforMiner (2022) pada Skenario RUEN memroyeksikan, Indonesia berpotensi mengalami defisit neraca minyak pada 2030 hingga 679,56 juta barel, sementara dalam skenario business as usual (BAU) BPPT defisit neraca minyak pada 2030 diproyeksi mencapai 475,6 juta barel.
Dalam skenario BPPT yang lain, yaitu skenario percepatan pengembangan kendaraan listrik (EV) dan energi terbarukan (NRE) potensi defisit minyak pada 2030 masing-masing diperkirakan mencapai 437,56 juta barel dan 435,6 juta barel.
Untuk gas, skenario RUEN memproyeksikan Indonesia berpotensi mengalami defisit neraca gas pada 2030 hingga sebesar 2 juta billion British Thermal Unit (BBTU). Sementara dalam skenario BPPT defisit neraca gas pada 2030 diproyeksi mencapai 1,1 juta BBTU (BAU), 1,3 juta BBTU (EV) dan 1,3 juta BBTU (NRE).
Devisa Impor Migas
Dengan potensi defisit migas yang diproyeksikan akan terus meningkat, kebutuhan devisa impor migas yang menyertainya dengan sendirinya juga akan semakin bertambah. Simulasi perhitungan ReforMiner (2022) menemukan kebutuhan devisa impor migas, baik berdasarkan skenario RUEN maupun tiga skenario roadmap energi BPPT, semuanya mengkonfirmasi hal itu. Pada 2022, kebutuhan devisa impor migas tercatat mencapai US$ 24,4, meningkat dari 2021 yang masih berada di kisaran US$ 13,3 miliar. Dengan nilau tukar rupiah yang berlaku pada saat itu, nilai keduanya kurang lebih adalah Rp. 380,4 triliun dan Rp. 189,4 triliun. Rata-rata kebutuhan devisa impor migas selama periode 2015 sampai dengan 2021 berada di kisaran Rp 290 triliun per tahun.
Sebagai ilustrasi perbandingan, posisi cadangan devisa nasional di sepanjang 2022 rata-rata berada di kisaran US$ 130 miliar sampai US$ 140 miliar. Jika menggunakan asumsi nilai tukar Rp 15.500 per dolar AS, maka angkanya kurang lebih setara dengan Rp 2.015 triliun hingga Rp 2.170 triliun.
Artinya, pada tahun yang sama, porsi kebutuhan devisa impor migas rata-rata kurang lebih mencapai 15% sampai 20% dari cadangan devisa yang ada. Pada 2030, jika mengacu pada skenario RUEN, kebutuhan devisa impor migas diproyeksi akan mencapai Rp 1.391 triliun.
Sementara jika menggunakan skenario roadmap energi BPPT kebutuhan devisa impor migas pada masing-masing skenario adalah Rp 525 triliun (BAU), Rp 495 triliun (EV) dan Rp 491 triliun (NRE). Besaran angka-angka itu signifikan baik secara nominal maupun dalam konteks keterkaitannya dengan ketersediaan cadangan devisa nasional.
Transisi Memerlukan Migas
Gambaran tentang kondisi bauran energi saat ini dan proyeksi ke depannya dengan berbagai skenario transisi energi yang ada dan keterkaitan implikasinya dengan defisit dan kebutuhan devisa impor migas di atas memberi sinyal bahwa implementasi transisi energi migas tetap tidak dapat dikesampingkan.
Semakin kita mengabaikan dan menganggap migas tidak lagi perlu diperhatikan, potensi dampak negatif yang akan berbalik melemahkan ketahanan ekonomi energi nasional akan semakin besar. Defisit pasokan-kebutuhan migas yang terus meningkat akan memperbesar impor migas dari waktu ke waktu, dan dengan sendirinya akan terus menerus menggerogoti dan menggerus ketersediaan cadangan devisa nasional.
Kondisi ini tidak hanya tidak sehat bagi keamanan pasokan energi nasional tetapi juga bagi ketahanan ekonomi nasional. Pilihan untuk bertindak business as usual dan terlebih memperlakukan migas sebagai komoditas yang tidak lagi penting dan strategis dengan mengatasnamakan transisi energi pada dasarnya tidak hanya tidak proporsional dalam memandang dan merespons transisi energi tetapi juga berpotensi menggagalkan pencapaian tujuan dan esensi transisi energi itu sendiri.
Tanpa keamanan pasokan energi yang cukup dan tanpa ketahanan ekonomi yang tangguh transisi energi tak akan dapat berjalan dengan baik. Transisi energi untuk bergerak ke arah pengarusutamaan pendayagunaan sumber EBET memerlukan sinergi dengan sumber energi yang lain termasuk dengan sumber energi fosil itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, secara lebih khusus, merujuk pada kondisi dan proyeksi di atas, transisi energi secara strategis dan implementatif memerlukan migas, baik sebagai sumber energi maupun sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomi.