Target Produksi Minyak RI 950 Ribu Barel Diragukan

DetikFinance, 8 Juni 2011

Jakarta – Pemerintah dan DPR menargetkan produksi minyak nasional di 2012 mencapai 950 ribu-970 ribu barel per hari (bph). Target tersebut dinilai tidak realistis dan ketinggian.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, target produksi minyak itu sulit dicapai karena tahun depan pemerintah belum juga melakukan pengembangan lapangan minyak baru.

“Target itu berat dan masih ketinggian,” ujar Pri Agung kepada detikFinance, Rabu (8/6/2011).

Menurut dia idealnya target realistis yang paling bisa dicapai pemerintah adalah 930 ribu-940 ribu bph. “Yang secara teknis, realistisnya adalah segitu. Karena, tidak ada pengembangan baru,” pungkasnya.

Dia juga menambahkan tidak ada proyek besar yang bisa menambah produksi secara signifikan. Walaupun dilakukan upaya optimalisasi, produksi minyak belum bisa terdongkrak.

“Kalau produksi minyak di Cepu (Mobil Cepu Limited) masih belum bisa tambah. Mereka ada masalah di penampungan, baru bisa nambah di 2014. Sekarang masih di 16-20 ribu barel per hari,” tanggap Pri Agung. Baca Selengkapnya

Defisit Neraca Migas Terus Berlanjut

Media Indonesia, 3 Juni 2011

JAKARTA–MICOM: Deputi Direktur Bidang Riset Reforminer Institute Komaidi menyampaikan bahwa dalam 3 tahun terakhir rata-rata tahunan neraca migas nasional selalu mengalami defisit. Hal tersebut dikarenakan produksi minyak nasional yang sekitar 945 ribu hingga 950 ribu barel per hari masih belum bisa memenuhi kebutuhan minyak yang sebesar 1,5 juta barel per hari.

“Dalam 3 tahun terakhir memang neraca migas selalu defisit. Di bulan tertentu kadang defisit, kadang surplus, tetapi rata-ratanya defisit,” kata Komaidi, Kamis (2/6). Ia menjelaskan hal tersebut terjadi karena produksi minyak nasional tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

Komaidi melihat tidak terpenuhinya kebutuhan minyak nasional disebabkan oleh dua hal, yaitu tidak tersedianya kilang untuk menampung produksi minyak mentah dan tidak tercapainya lifting minyak mentah nasional. Ia menyebutkan bahwa kilang minyak dalam negri hanya mampu menampung kapasitas 700-850 ribu barel per hari dari kebutuhan 1,5 juta barel per hari.

Kurangnya kapasitas kilang dianggap membuat Indonesia harus mengekspor minyak mentah dan mengimpor minyak setengah jadi atau jadi yang nilai tambahnya lebih mahal. Jika hal tersebut dilakukan terus ditambah lagi defisit yang terus membesar, Komaidi menilai defisit migas Indonesia akan mengalami tren meningkat ke depan.

“Kita kan impor produk setengah jadi atau sudah jadi yang ada nilai tambahnya. Kita hanya mengekspor minyak mentahnya,” katanya. Maka pemerintah diminta membenahi masalah kilang agar mampu menampung produksi minyak mentah nasional. Baca Selengkapnya

Renegosiasikan Kepemilikan

Kompas, 4 Juni 2011

Jakarta, Kompas – Renegosiasi kontrak karya di sektor pertambangan umum dan minyak bumi hendaknya dipersiapkan secara matang agar tidak merugikan bangsa Indonesia. Pemerintah juga semestinya memprioritaskan peran nasional dalam penguasaan sektor pertambangan melalui divestasi atau pengalihan hak partisipasi.

Pandangan ini dikemukakan sejumlah pengamat pertambangan dan energi di Jakarta, Jumat (3/6), menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 3/6). Presiden menegaskan, pemerintah mengambil kebijakan akan merenegosiasi semua kontrak karya dengan perusahaan dan mitra dari negara lain yang dirasa tidak adil atau merugikan Indonesia.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan, pemerintah masih melakukan pemetaan dan penilaian terhadap kontrak karya asing dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sejauh ini belum ada laporan yang cukup kepada Presiden tentang keseluruhan kontrak yang berlangsung, khususnya yang berjangka panjang.

Newmont jadi model

Menurut pengamat energi Kurtubi, dalam kontrak karya untuk pertambangan umum ada dua hal yang perlu diperbaiki. Pertama, besaran royalti perlu dikoreksi karena royalti saat ini sangat rendah lantaran merupakan peninggalan zaman kolonial. Selain itu, pemegang kontrak karya juga diwajibkan mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pemerintah (pusat dan daerah), seperti model kontrak karya PT Newmont Nusa Tenggara di Nusa Tenggara Barat.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu, menjelaskan, pihaknya akan berada di garda terdepan dalam setiap negosiasi kontrak tambang pada masa mendatang dengan model yang digunakan terhadap tambang emas Newmont. Keikutsertaan pemerintah dalam manajemen untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari dividen, pajak, dan royalti.

Renegosiasi, menurut Agus, diharapkan akan menyebabkan kepemilikan nasional tetap dominan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun swasta nasional. Ini dilakukan atas kepemilikan di tambang Newmont, yakni mempertahankan kepemilikan nasional 51 persen, di mana pemerintah pusat memiliki 7 persen saham, pemerintah daerah dan swasta nasional 24 persen, serta 20 persen pihak swasta nasional murni.

Sistem konsesi

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto mengemukakan, untuk pertambangan umum, renegosiasi memang sangat perlu dilakukan. Tidak hanya untuk renegosiasi besaran royalti yang saat ini sangat rendah, yaitu hanya 1 persen hingga 3,5 persen dari nilai penjualan bersih, katanya.

Renegosiasi itu juga menyangkut sistem konsesi kontrak karya yang digunakan dan cenderung longgar dalam pengawasan. Royalti seharusnya lebih berkeadilan, yakni semestinya dikenakan 20-30 persen dari nilai penjualan kotor, bukan nilai penjualan yang sudah dikurangi biaya-biaya, ujarnya.

Komisaris Utama Medco Energi International Hilmi Panigoro sebelumnya mengatakan, dengan kondisi penguasaan modal dan teknologi yang masih terbatas, perlu dikombinasikan kekuatan perusahaan nasional dengan multinasional dalam sektor migas.Hilmi menjelaskan, pemerintah bisa mendorong kemajuan perusahaan migas nasional, antara lain mengubah desain kontrak kerja sama migas agar lebih fleksibel. Lapangan produksi dan eksplorasi yang ditemukan pada akhir kontrak bisa diperpanjang, tetapi untuk wilayah yang lain harus dikembalikan kepada pemerintah dengan cara dilelang.

Pemerintah juga bisa memprioritaskan lapangan migas yang tak membutuhkan biaya dan teknologi tinggi untuk dikelola perusahaan migas nasional melalui mekanisme bisnis jelas, bukan nasionalisasi.

Cara ini dipraktikan di Meksiko. Lapangan-lapangan milik perusahaan multinasional dibeli sedikit demi sedikit sampai akhirnya dikuasai. Dengan cara ini perusahaan multinasional yang keluar dari Meksiko pun tetap diperlakukan adil dan iklim investasi aman, ujar Hilmi.

Di sektor migas, menurut Kurtubi, isi kontrak yang harus diubah adalah kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) harus diubah dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi selaku wakil pemerintah menjadi badan usaha milik negara, yakni PT Pertamina.

Hal ini bertujuan agar negara tidak dirugikan, antara lain dalam kontrak PSC yang sudah selesai, BUMN bisa 100 persen mengambil alih sehingga peluang untuk dijadikan sumber oleh pihak tertentu bisa dihilangkan, katanya. Dengan demikian, pada akhirnya Indonesia akan dapat mengoperasikan mayoritas lapangan migas di Indonesia.

Pri Agung menyatakan, sistem PSC sebenarnya sudah cukup bagus bagi negara, tetapi dalam implementasi perlu lebih dioptimalkan. Renegosiasi tidak diperlukan secara menyeluruh seperti halnya di tambang umum, hanya pada kasus-kasus tertentu saja, seperti Blok Tangguh dan East Natuna, ujarnya.

Berdasarkan data BP Migas, ada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang akan berakhir masa kontraknya kurang dari 10 tahun. Masa kontrak Total E & P Indonesie yang mengelola Blok Mahakam, misalnya, akan berakhir pada 2017. Beberapa KKKS akan berakhir kurang dari 10 tahun, kata Deputi Keuangan BP Migas Wibowo S Wirjawan.

Penerapan Royalti Migas Dinilai Hanya Untungkan Kontraktor

Indonesia Finance Today, 31 Mei 2011

JAKARTA (IFT) Keinginan beberapa kontraktor kontrak kerja sama mengubah skema kontrak bagi hasil (production sharing contract) menjadi royalti dinilai hanya menguntungkan kontraktor, kata analis minyak dan gas bumi. Kontraktor lebih senang menggunakan skema royalti karena tidak menghitung biaya produksi minyak yang dibebankan kepada negara (cost recovery) bersama pemerintah.

Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan perubahan model kontrak bagi hasil ke royalti jika diterapkan adalah langkah mundur. Bila persoalannya pada cost recovery yang terus membengkan sedangkan produksi minyak cenderung turun, penyelesaiannya tidak harus dengan mengganti sistem secara total.

Jika harus diubah, BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang harus dibenahi. Mereka jangan lagi terlibat dalam mikro manajemen kontraktor migas, ujar Pri, Senin.

Cost recovery migas selama kurun 2003-2010 mencapai US$ 69,62 miliar atau rata-rara US$ 8,7 miliar per tahun. Namun tingginya cost recovery tidak diimbangi produksi minyak yang rata-rata di bawah 980 ribu barel per hari.

Pri juga mempersoalkan alasan penerapan royalti dalam pengelolaan migas. Bila mengaju pada model royalti yang diterapkan di Amerika Serikat atau negara-negara maju, besar royalti sekitar 20%-30% dari pendapatan kotor (gross revenue) kontraktor, itu bisa dipertimbangkan.

Bila royaltinya seperti di pertambangan umum, yakni dikenakan setelah dikurangi biaya, baru royalti, menurut Pri, itu merugikan Indonesia karena penerimaan yang akan diperoleh paling hanya 20% dari gross revenue. Sebaliknya, bila sistem bagi hasil yang diterapkan, pemerintah bisa mendapat 50% dari gross revenue kontraktor. Enak di kontraktor enggak enak di pemerintah, katanya.Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional menilai, jika diterapkan system royalti, hal itu yang diinginkan kontraktor. Dalam sistem pajak dan royalti biasanya revenue yang dihasilkan diterima kontraktor sendiri. Kontraktor kemudian membayar pajak dan royaltinya berdasarkan revenue yang dikurangi.

Dalam kontrak bagi hasil, menurut Widjajono, hasil produksi harus dihitung dulu bersama pemerintah. Setiap kontraktor mau apapun harus minta izin dulu. Dalam sistem royalti, pengawasan dari pemerintah ringan dan lebih longgar, manajemen ada di tangan perusahaan sehingga korupsi marak karena lebih gampang.

Lihat saja di sektor pertambangan batu bara, pajaknya bisa dimainkan. Ini memang menyenangkan bagi kontraktor. Untuk mainin pajak, bisa menipu di revenue-nya atau di-tax- nya,katanya.

Romahurmuziy, Sekretaris Fraksi PPP yang juga mantan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, justru menilai positif penerapan sistem royalti dalam kontrak pertambangan migas. Selain menghapus cost recovery, mekanisme yang selama ini menghambat seperti Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan akan hilang.

Menurut Roma, selama ini ini bottleneck ada di operasional karena lambatnya persetujuan dari BP Migas. Dengan system royalti, fleksibilitas kontraktor sebagai entitas bisnis lebih leluasa. Penerapan sistem royalti paling tidak bisa menjadi kanalisator kebuntunan proses persetujuan investasi migas kita, ujarnya.

Widjajono menyarankan, pemerintah sebaiknya menerapkan sistem yang fleksibel dalam kontrak migas. Jika keuntungan rendah, pemerintah memberikan pajak yang rendah bagi kontraktor. Sebaliknya jika keuntungan tinggi maka pajaknya juga tinggi. Ini akan sangat menarik bagi dunia usaha. Jadi masalahnya split (pembagiannya) itu harus fleksibel,kata dia.

Sebelumnya eksekutif PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional Tbk mengusulkan kepada pemerintah untuk menerapkan model royalti dalam pengelolaan ladang migas untuk menggantikan skema kontrak bagi hasil. Dengan penerapan royalti, kontraktor lebih efisien dan pemerintah tidak menanggung beban cost recovery

Pemerintah Tak Tegas Terhadap Harga Elpiji 12 Kg

DetikFinance, 28 Mei 2011

Jakarta – Meruginya elpiji 12 kg yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) merupakan permasalahan yang klasik. Pasalnya, dengan harga jual yang dibawah harga keekonomian membuat Pertamina merugi cukup tinggi.

Namun, jika harganya dinaikan, maka akan banyak masyarakat yang beralih ke elpiji 3 kg yang disubsidi karena jauh lebih murah. Kasusnya mirip disparitas harga BBM bersubsidi (premium) dan Pertamax.

“LPG 12 kg itu permasalahan lama, masalah pengaturan,” kata Pri Agung, selaku Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada detikFinance, Jakarta (Sabtu 28/5/2011).

Menurutnya, persoalan tabung elpiji 12 kg ini hampir sama analoginya seperti pertamax dan premium. Pemerintah tidak mau merubah disparitas harga yang tinggi.

“Pemerintah selalu bilang bahwa untuk tabung LPG 3 kg mekanisme distribusinya tertutup. Namun tetap saja terbuka, sehingga orang yang mampu tetap membeli tabung ukuran 3 kg tersebut,” katanya.

Seperti diketahui, pada Rapat Dengar Pendapat beberapa waktu lalu antara Pertamina dan Komisi VII DPR RI, dilaporkan bahwa Pertamina alami kerugian untuk tabung LPG 12 Kg senilai Rp 1 triliun pada triwulan pertama 2011. Baca Selengkapnya

Pemerintah Sulit Tanggulangi ‘Bobolnya’ Subsidi Premium

DetikFinance, 28 Mei 2011

Jakarta – Pemerintah dinilai akan sulit menekan bobol-nya kuota BBM Bersubsidi alias premium meskipun fungsi pengawasan melalui BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas) diperketat lagi.

Demikian disampaikan oleh Pengamat Perminyakan, Pri Agung Rakhmanto ketika dihubungi detikFinance, Jakarta, Sabtu (28/5/2011).

“Pemerintah justru semakin terlihat tidak kongkrit. tidak bisa lah mengendalikan BBM (bersubsidi) dengan yang dikatakan melalui pengetatan fungsi BPH Migas,” ujar Pri Agung yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute.

Dirinya menambahkan, melakukan penambahan personel BPH Migas yang memang masih kurang untuk melakukan pengawasan distribusi BBM bersubsidi pun juga sulit. Pasalnya, secara birokrasi, hal tersebut tidak mudah dan banyak yang perlu dilihat, termasuk segi anggaran pemerintah.

“Memangnya kalau BPH Migas ditambah tetap bisa mengawasi seluruh wilayah yang ada di Indonesia?” tanyanya.

Pri Agung juga mengatakan, akibat aturan yang belum jelas, maka masih ada tindak penyelewengan terhadap BBM Bersubsidi yang dilakukan di beberapa SPBU kepada ‘oknum’ tertentu.

“Aturan mainnya kan harus dikenai sanksi kalau ada SPBU atau Oknum yag ‘bermain’. Sumber masalahnya adalah, di samping aturan yang tidak jelas, disparitas harga (Pertamax Cs vs Premium Cs) yang besar pun masih ditahan oleh pemerintah,” jelasnya.

Akibatnya, katanya, ketika ada disparitas harga yang tinggi, maka muncul distorsi, penyelundupan, oplosan, dan lain sebagainya terhadap BBM Bersubsidi. “Itu natural, sudah hukum ekonomi,” timpalnya.

Pada akhirnya, Pri Agung hanya menekankan, bahwa solusi terhadap masalah BBM Berubsidi hanya dua. Yakni, politis dan ekonomi.

“Secara politis, mereka bisa memperketat kuota, tapi antrian akan terjadi di mana-mana. Sedangkan kalau dari sisi ekonomi, pemerintah harus menambah kuota, menambah anggaran subsidi, atau menaikkan harga Premium,” ucap Pri Agung. Baca Selengkapnya

Oil and Gas Split Scheme Revised

DetikFinance, 28 Mei 2011

Jakarta – Meruginya elpiji 12 kg yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) merupakan permasalahan yang klasik. Pasalnya, dengan harga jual yang dibawah harga keekonomian membuat Pertamina merugi cukup tinggi.

Namun, jika harganya dinaikan, maka akan banyak masyarakat yang beralih ke elpiji 3 kg yang disubsidi karena jauh lebih murah. Kasusnya mirip disparitas harga BBM bersubsidi (premium) dan Pertamax.

“LPG 12 kg itu permasalahan lama, masalah pengaturan,” kata Pri Agung, selaku Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada detikFinance, Jakarta (Sabtu 28/5/2011).

Menurutnya, persoalan tabung elpiji 12 kg ini hampir sama analoginya seperti pertamax dan premium. Pemerintah tidak mau merubah disparitas harga yang tinggi.

“Pemerintah selalu bilang bahwa untuk tabung LPG 3 kg mekanisme distribusinya tertutup. Namun tetap saja terbuka, sehingga orang yang mampu tetap membeli tabung ukuran 3 kg tersebut,” katanya.

Seperti diketahui, pada Rapat Dengar Pendapat beberapa waktu lalu antara Pertamina dan Komisi VII DPR RI, dilaporkan bahwa Pertamina alami kerugian untuk tabung LPG 12 Kg senilai Rp 1 triliun pada triwulan pertama 2011.Dibandingkan dengan tahun lalu, selaa 2010 Pertamina alami kerugian hingga Rp 3,2 triliun. Sejauh ini, Pertamina masih menahan harga LPG 12 Kg tersebut. Pihak mereka ingin menaikkan harga demi mengurangi beban biaya produksi yang tidak diimbangi dengan harga jual akibat harga minyak tinggi yang mempengaruhi harga gas.

Di lain pihak, Kementerian BUMN yang membawahi Pertamina, belum memberi sinyal kepada perusahan migas tersebut demi merubah harga.

Indoensia Finance Today, May 19th 2011 JAKARTA (IFT) – The government will revise the profit-sharing scheme (split shceme) of the work contract for oil and gas contractors interested to invest in eastern Indonesia. According to Evita Herawti Legowo, Director General of Oil and Natural Gas at the Ministry of Energy and Mineral Resources, revising the split is the government s way of giving incentives to investors, so that oil and gas blocks in eastern Indonesia can grow.

The current profit-sharing scheme for oil is 85 percent for the government and 15 percent for the contractor. After the revision, the split will be 75:25, or even 70:30, depending on the condition of the blocks.

“As Indonesia’s eastern parts are mostly deepwater, we provide incentives in the form of a better split,” Evita said, Thursday. To determine the split, the government will cooperate with experts in geology, production, and infrastructure.

Pri Agung Rakhmanto, Director of ReforMiner Institute, believes that giving a 75:25 or 70:30 split, or even a 60: 40 ratio had long been implemented, yet it was never enough to attract investors to explore Indonesian eastern areas. There are several factors that are making investors less interested in investing in the region, among others are the unclear regulations, decision-making problems, red tape in the bureaucracy, and contractual uncertainties.

“All the uncertainties are making investors reluctant, even more so since an exploration is not necessarily profitable. If they are not resolved, the investment climate will stay bad,” Pri said.

Before giving incentives, Pri continued, the government should fix the problematic factors first. To make things easier for investors, the government also needs to take part in the exploration activity, such as conducting seismic and geological surveys to lessen the imposition of fees on investors.

Offering 20 Blocks

Evita said that the government will offer twenty blocks of oil and gas in Indonesia during the closing of the 35th Exhibition and Convention of the Indonesian Petroleum Association in Jakarta. Nine blocks are regular offers, while 11 will come from investor candidates as suggestions.The nine blocks from the regular offerings are: the Bulu Rembang, Offshore Timur Sea I, Offshore Timur Sea II, Halmahera I, Halmahera II, Halmahera III, West Aru I, West Aru II and Arafura Sea II blocks. The 11 direct-bargain blocks are located in Ranau, Northeast Madura, West Tanjung, Belayan, East Simenggaris, North Ganal, Babar Selaru, Obi, North Semai, West Berau and Semai IV.

Of the twenty blocks, 13 are located in eastern Indonesia, in Papua and East Timor borderline. The rest are in southern Sumatra, eastern Kalimantan and the northern parts of Java Island. (*)

Eksplorasi Migas Terkendala Birokrasi

Media Indonesia, 19 Mei 2011

JAKARTA–MICOM: Eksplorasi migas baru diharapkan dapat meningkatkan pengangkutan produksi (lifting) nasional. Namun ekplorasi baru tersebut diperkirakan tidak akan menarik bagi investor selama terkendala ketidakpastian peraturan dan kontrak.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menyampaikan bahwa ketidakpastian peraturan, pengambilan keputusan, birokrasi, dan kontrak tidak akan membuat investor tertarik untuk mengeksplorasi blok migas baru di Indonesia. Apalagi kegiatan eksplorasi migas belum pasti menghasilkan produksi migas.

“Segala ketidakpastian itu membuat tidak ada yang mau investasi. Kalau peraturan tiba-tiba berubah atau tumpang tindih ya pasti enggak akan mau,” ungkap Pri di acara The 35th Indonesian Petroleum Association Annual Convention and Exhibition 2011, Jakarta, Kamis (19/5).

Pri meminta pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk berkoordinasi membereskan buruknya iklim investasi di Indonesia itu. Ia meminta pemerintah tidak mengeluarkan peraturan yang tumpang tindih dengan peraturan lain.

Selain itu pengambilan keputusan soal migas sebaiknya tidak diintervensi masalah-masalah politik. Setelah hal-hal tersebut dibereskan, pemerintah baru bisa memberikan insentif bagi investor yang ingin melakukan kegiatan eksplorasi baru. “Kalau itu sudah clear baru kita bicara insentif. Salah satu contoh misalnya dengan pemerintah itu melakukan sebagian aktivitas eksplorasi. Jadi disurvei seismic dan geologi sebagian dilakukan pemerintah sendiri, jadi mengurangi biaya dari investor. Itu salah satu insentifnya,” tutur Pri. (ML/OL-9)

MENDONGKRAK PRODUKSI MINYAK NASIONAL
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Investor Daily, 16 Mei 2011

Produksi minyak nasional (lebih sering disebut dengan istilah lifting) terus menurun sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dari mulai 1,5 juta barel per hari (bph) di tahun 1996, menurun di kisaran 1,3 juta bph di tahun 2000, dan terus menurun di bawah 1 juta bph di sejak tahun 2004 lalu. Berbagai upaya diklaim telah dilakukan oleh pemerintah. Dari mulai optimalisasi melalui pengeboran sumur pengembangan (development wells), penerapan teknologi produksi tahap kedua (secondary recovery), percepatan dan penyederhanan birokrasi, hingga membentuk Tim Pengawas Peningkatan Produksi Migas (TP3M), dan yang terkini, Tim Percepatan Produksi Migas. Namun produksi minyak tetap tak beranjak, dan bahkan realisasi hingga akhir April 2011 ini hanya ada di kisaran 912 ribu bph. Apa yang salah sebenarnya sehingga produksi minyak terus menerus turun dan tak kunjung meningkat Dimana letak dan akar masalah yang sesungguhnya dari permasalah ini Upaya apa yang (mestinya) dapat dilakukan untuk memperbaiki dan membereskan satu per satu permasalahan yang ada

Minim eksplorasi

Inti masalah dari terus menurunnya produksi minyak nasional sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah karena minimnya kegiatan (investasi) eksplorasi. Investasi eksplorasi, untuk mencari dan menemukan cadangan-cadangan minyak baru dari lapangan atau blok migas baru (termasuk di dalamnya untuk mengubah status sumber daya menjadi cadangan, atau mengubah status cadangan potensial menjadi cadangan terbukti), adalah kunci untuk menjaga tingkat produksi yang berkelanjutan. Tambahan produksi migas dalam besaran signifikan yang dapat mendongkrak produksi minyak nasionalhanya dapat dihasilkan dari produksi lapangan migas baru yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi. Yang terjadi dalam industri perminyakan nasional, khususnya dalam satu dekade terakhir ini adalah bahwa tingkat investasi eksplorasi yang ada ternyata (sangat) minim.

Proporsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu migas dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata hanya sekitar 8%. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan persentase biaya yang dikeluarkan untuk urusan umum dan administrasi yang rata-rata mencapai kisaran 11-12%.

Proporsi investasi eksplorasi sebelum tahun 2000 masih mencapai 12%, atau tergolong moderat-rendah. Meskipun tidak ada angka dan ketentuan baku, namun untuk menjaga tingkat produksi yang lebih berkelanjutan setidaknya diperlukan proporsi investasi eksplorasi yang setidaknya ada di kisaran 15-20% (proporsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu migas yang mencapai 20 – 25% atau lebih tergolong agresif). Pemerintah boleh mengklaim bahwa nilai investasi secara keseluruhan dari tahun ke tahun terus meningkat. Tapi, investasi itu sebagian besar bukanlah ditujukan untuk menemukan cadangan-cadangan migas baru yang sangat diperlukan bagi peningkatan produksi yang signifikan. Investasi itu sebagian besar hanya ditujukan untuk pemeliharaan sumur-sumur produksi yang ada (sekitar 60%), untuk pengembangan lapangan-lapangan yang sudah ada (existing) (sekitar 20%), dan untuk biaya umum dan administrasi (sekitar 12%).

Investasi untuk pemeliharan dan pengembangan lapangan yang sudah ada, termasuk di dalamnya optimalisasi produksi dengan secondary recovery, sudah dapat diduga hasilnya, yaitu maksimum hanya akan mampu menutup penurunan produksi alamiah (natural decline) yang terjadi dari lapangan-lapangan lama yang ada. Dengan porsi investasi eksplorasi yang hanya sekitar 8%, maka sebenarnya menjadi amat sangat tidak mengherankan ketika produksi minyak nasional terus menurun. Sejak tahun 2000, selain Blok Cepu, praktis tidak ada lagi big fish , atau cadangan migas dari lapangan baru dalam besaran yang signifikan, yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi yang ada.

Iklim investasi tidak kondusif

Minimnya investasi eksplorasi tentu bukan tanpa sebab. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena iklim investasi yang tidak kondusif, kalaulah tak ingin disebut buruk. Investasi eksplorasi adalah investasi dalam kegiatan hulu migas yang tingkat resikonya paling tinggi dan dimana investor juga belum akan mendapatkan return. Jika iklim investasinya tidak kondusif banyak faktor yang menjadi penghambat, secara otomatis investasi eksplorasi itu akan urung dilakukan.

Akan halnya yang terjadi di Tanah Air, satu hal mendasar yang menjadi akar penyebab sangat tidak kondusifnya iklim investasi eksplorasi hulu migas sesungguhnya adalah karena tingginya ketidakpastian (uncertainty) yang ada. Ketidakpastian ini mencakup beberapa aspek mendasar, diantaranya yang utama adalah:

(1) Ketidakpastian menyangkut dihormatinya kontrak yang berlaku. Permasalahan seperti DMO (Domestic Market Obligation), capping cost recovery, yang seringkali tidak sinkron dengan isi kontrak yang ada menimbulkan tanda tanya besar bagi investor.

(2) Ketidakpastian menyangkut aturan main yang berlaku. Banyaknya undang-undang dan peraturan yang tumpang tindih akibat lemahnya koordinasi diantara Kementerian dan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (seperti halnya UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Pelayaran, UU Otonomi Daerah dan PP Cost Recovery) merupakan penyebab utamanya.

(3). Ketidakpastian menyangkut adanya intervensi kewenangan dari sektor atau badan pemerintah lain di luar migas, seperti halnya dari otoritas perpajakan, auditor, ataupun pengawasan persaingan usaha.

(4). Ketidakpastian yang diakibatkan oleh adanya intervensi politik-kekuasaaan, sebagaimana yang sering terlihat dalam kasus perpanjangan/pengakhiran kontrak ataupun pengalihan saham partisipasi (Participating Interest).Selain ketidakpastian, hal lain yang menjadi faktor penghambat adalah masalah birokrasi yang memakan waktu dan cenderung terlalu mencampuri hal-hal teknis dan bisnis yang bersifat mikro. Hal ini terkait dengan pola pengusahaan kegiatan hulu migas di Tanah Air yang saat ini dijalankan dengan pola Government (G) to Business (B), yaitu antara BP Migas dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan bukan B to B. Pola G to B ini tanpa disadari telah menempatkan KKKS sebagai obyek yang harus diawasi hingga ke hal-hal detil sehingga mengurangi fleksibilitas dan mendistorsi esensi pola bagi hasil produksi dan kerja sama (partnership) pengusahaan migas yang semestinya.

Satu hal lain yang juga menjadi penyebab adalah hal teknis, yaitu minimnya kualitas data dan informasi dari blok-blok migas baru yang ditawarkan. Kombinasi dan keterkaitan dari hal-hal itulah yang menyebabkan iklim investasi eksplorasi hulu migas di Tanah Air menjadi sangat tidak kondusif. Begitu tidak kondusifnya, sehingga menutup potensi dan prospektifitas geologi sumber daya yang ada. Padahal, para ahli geologi mengatakan bahwa potensi sumber daya minyak yang ada di perut bumi kita mencapai 80 milyar barel minyak lebih, sehingga seharusnya secara geologis masih sangat menarik bagi investasi ekplorasi-produksi.

Maka, jika ingin mendongkrak produksi minyak secara signifikan, tak ada jalan lain bagi kita untuk menghilangkan satu per satu faktor-faktor penghambat di atas sesegera mungkin. Selain koordinasi antar Kementerian dan dengan pemerintah daerah yang harus segera dibereskan, satu hal yang mendesak diperlukan sebagai langkah awal untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat di atas sesungguhnya adalah hadirnya Undang-Undang Migas baru yang lebih baik.

Ketidakpastian-ketidakpastian yang ada dan menjadi penyebab dari tidak kondusifnya iklim investasi bagi kegiatan eksplorasi sesungguhnya adalah buah dari lubang-lubang yang ada pada UU Migas 22/2001 yang berlaku. Maka, melakukan revisi UU Migas tersebut sesegera mungkin adalah suatu keharusan. UU Migas yang baru adalah pintu masuk, bukan saja untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat investasi di atas, tetapi juga untuk meletakkan pondasi pengelolaan industri migas nasional yang lebih baik. Dari sana, barulah kita bisa berharap dalam 3-5 tahun dan sesudahnya dapat ditemukan sejumlah big fish yang akan menjadi pendongkrak produksi minyak nasional kita. Semoga.

 

Beli Premium Lebih Rasional Ketimbang Pertamax Yang Mencapai Rp 9.250

DetikFinance, 15 Mei 2011

Jakarta – Tingginya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax membuat pemilik kendaraan pribadi jenis mobil berbondong-bondong memakai Premium. Disparitas harga yang cukup jauh antara kedua jenis BBM tersebut membuat orang lebih berfikir rasional tidak peduli kaya atau miskin.

Pengamat Perminyakan sekaligus Direktur Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan anjuran pemerintah yang membujuk konsumen memakai pertamax sama sekali tidak berguna.

“Anjuran atau ajakan pakai Pertamax itu memang tidak manjur. Orang kan lebih rasional sekarang bukan merasa miskin dan tidak mampu atau merasa kaya tapi ketika ada yang lebih murah ya itu perlu karena menghemat,” ujarnya ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Minggu (15/5/2011).

Menurutnya, ketika tidak ada larangan menggunakan Premium bagi kendaraan pribadi maka tidak ada tekanan khusus maupun kewajiban orang beralih ke Pertamax.

Dikatakan Pri Agung, kalangan masyarakat yang menggunakan Pertamax saat ini merupakan orang-orang yang tidak sensitif terhadap kenaikan harga.

“Nah itu jumlahnya sedikit sekali apalagi mereka bisa saja memilih ke SPBU lain seperti Shell, Total dan Petronas,” jelasnya.

“Selama tidak ada larangan ya orang bebas saja menggunakan bensin apapun. Lagi pula disparitas harga yang cukup jauh membuat orang berpikir dua kali ketika menggunakan Pertamax,” imbuh Pri Agung. Baca Selengkapnya