Keteladanan Aparatur Negara Dalam Pembatasan BBM
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
MEDIA INDONESIA : 25 Januari 2012

Iklan layanan masyarakat mengenai BBM bersubsidi hanya untuk kalangan yang tidak mampu, kiranya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Hal itu dapat dilihat di sepanduk-sepanduk yang dipasang di hampir seluruh SPBU yang ada. Masyarakat yang tidak pernah ke SPBU juga dapat menyaksikan itu dari iklan layanan masyarakat di media televisi yang model iklannya diperankan langsung oleh menteri terkait ataupun oleh model profesional.

Melalui iklan layanan tersebut, pesan utama yang disampaikan oleh pemerintah terkait komoditas BBM ialah perlu adanya pemerataan dan keadilan. Dalam konteks pemerataan, seluruh masyarakat harus dapat mengakses dan menikmati BBM. Sementara dalam aspek keadilan, masyarakat yang telah berdaya beli diwajibkan membeli BBM pada harga keekonomian. Dengan demikian, subsidi yang ditanggung tidak terlalu besar dan anggaran negara yang ada dapat dialokasikan untuk pengeluaran yang lebih produktif.

Konsistensi

Terkait substansi iklan yang disampaikan, kiranya memang demikian duduk permasalahan yang perlu disampaikan kepada publik. Kemampuan produksi minyak nasional yang terus menurun, kemampuan APBN terbatas, dan pemberian subsidi harus tepat sasaran, memang perlu disampaikan kepada publik.

Akan tetapi, apakah implementasi dan payung hukum yang ada konsisten dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah, juga perlu dicermati. Harus menjadi koreksi pula jika ternyata terdapat kecenderungan inkonsistensi pemerintah terkait konsumsi BBM bersubsidi itu sendiri.

Ketika pemerintah mengenai pelarangan seluruh kendaraan pribadi roda empat plat hitam menggunakan BBM bersubsidi efektif per 1 April 2012, sementara pemerintah masih menggunakannya, kiranya bukan contoh yang elok. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air yang ditujukan kepada: (1) Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, (2) Jaksa Agung Republik Indonesia, (3) Panglima Tentara Nasional Indonesia, (4) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, (5) Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, (6) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara, (7) Gubernur, dan (8) Bupati/Walikota, diketahui bahwa pemerintah sendiri juga masih mengonsumsi BBM bersubsidi.

Pada diktum kedua angka 1 huruf b, Inpres No.13 Tahun 2011 menyebutkan bahwa penghematan energi salah satunya dilakukan dengan penghematan pemakaian BBM bersubsidi sebesar 10 % (sepuluh persen) melalui pengaturan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan di lingkungan instansi masing-masing dan lingkungan BUMN dan BUMD. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD, saat ini masih mengonsumsi BBM bersubsidi. Bahkan, ketika pemilik kendaraan pribadi tidak diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi, paling tidak pemerintah masih mengonsumsi BBM bersubsidi sebesar 90 % terhadap volume konsumsi BBM di lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD sebelum dikeluarkannya Inpres tersebut.

Tulisan ini dibuat bukan pada kapasitas untuk menyalahkan atau mendiskriditkan. Akan tetapi, hanya untuk menanyakan aspek keadilan dan kepantasan, apakah adil ketika pemerintah melarang pemilik kendaraan pribadi menggunakan BBM bersubsidi, tetapi instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD sendiri masih menggunakannya Apakah pantas aparatur negara dikelompokkan pada kalangan tidak mampu sehingga harus diberi BBM bersubsidi

Jika kebijakan tersebut dinilai adil dan pantas, kiranya publik hanya tunduk dan melaksanakannya. Bagaimanapun publik kiranya masih konsiten dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara bahwa Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani , di depan memberikan contoh, di tengah memberikan semangat, di belakang memberikan dorongan. Bagaimanapun dan apapun kebijakannya, kiranya publik selalu pada posisi yang diharuskan memberikan dorongan.

Politisasi dan Dramatisasi BBM
Pri Agung Rakhmanto,
Direktur Reforminer Institute
KORAN TEMPO18 April 2012

Pembatasan BBM
PRI AGUNG RAKHMANTO
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
KOMPAS,17 Januari 2012

Pembatasan BBM, Layakkah Diterapkan?
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
INVESTOR DAILY:16 Januari 2012

Mengapa Pembatasan BBM Bersubsidi?
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
KORAN SINDO :16 Januari 2012

Meluruskan Program Konversi BBM ke BBG
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
MEDIA INDONESIA, Kamis, 12 Januari 2012

Mewaspadai Harga Minyak
PRI AGUNG RAKHMANTO
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Opinion: Indonesia Finance Today, Thursday, 09 February 2012

Kawasan minyak dunia, Timur Tengah, kembali bergejolak. Eskalasi konflik antara Iran dan Amerika Serikat , negara-negara Eropa Barat, dan sekutu lainnya, semakin terasa pasca disepakatinya embargo impor minyak Iran oleh negara-negara Uni Eropa (EU) pada 23 Januari lalu.

Muncul kekhawatiran, jika Iran sampai menutup Selat Hormuz, harga minyak akan semakin tinggi dan bisa tidak terkendali. Bagaimana kita mesti membaca dan menyikapi kemungkinan ini?

Dengan beragam faktor yang mempengaruhi pergerakan harga minyak dari waktu ke waktu, adalah (hampir) tidak mungkin untuk menghitung harga minyak secara pasti. Namun, rentang kesetimbangan harganya masih dapat didekati, setidaknya dengan dua prinsip dasar berikut:

Pertama, bahwa kesetimbangan harga minyak pada akhirnya tetap akan bermuara pada faktor fundamentalnya, yaitu keseimbangan pasokan dan permintaan. Benar bahwa faktor pemicu atau penggerak fluktuasi harga minyak dunia bisa apa saja, mulai dari ketegangan geopolitik antar negara atau perang, data atau informasi ekonomi negara/dunia (pertumbuhan ekonomi, permintaan tenaga kerja, suku bunga, dan lain-lain), faktor musim, hingga aksi pengalihan portofolio investasi, spekulasi dari pelaku pasar dan efek psikologi yang ditimbulkannya.

Namun, transmisi semua faktor tersebut ke dalam harga minyak tetap saja selalu terkait, berkorelasi, atau merupakan representasi langsung maupun tak langsung dari kuantitas pasokan dan permintaan minyak, baik secara fisik maupun di atas kertas.

Artinya, fluktuasi harga bisa saja ekstrim, tetapi secara rata-rata pada akhirnya tetap akan konvergen atau mendekati titik kesetimbangannya (yang sebenarnya). Kondisi tahun 2008 menggambarkan dengan jelas akan hal ini, dimana rata-rata harga minyak berada di kisaran 103 dolar AS per barel, sementara rentang fluktuasinya sangat lebar, tertinggi 143 dolar AS per barel, terendah 45 dolar AS per barel.

Kedua, bahwa kesetimbangan harga minyak adalah resultan dari interaksi atau representasi dari berbagai motif dan kepentingan dari aktor-aktor utama yang terlibat di dalamnya yang memiliki kekuatan signifikan untuk membentuk atau memengaruhi kesetimbangan harga.

Jadi, kesetimbangan harga minyak saat ini adalah representasi dari keinginan para produsen utama dunia seperti negara-negara OPEC dan para perusahaan minyak raksasa dunia dari berbagai negara, dan representasi keinginan para konsumen minyak utama dunia seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang ataupun China.

Maka, kesetimbangan harga minyak tidaklah akan terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Harga yang terlalu rendah tidak dikehendaki oleh para produsen utamanya. Sebaliknya, harga yang terlalu tinggi, bukan hanya tidak disukai oleh para konsumen utamanya, tetapi juga tidak nyaman bagi para produsen utamanya, karena hal itu akan mendorong muncul dan berkembangnya energi alternatif pengganti minyak.

Jadi, kesetimbangan harga minyak pasti akan selalu diupayakan oleh para aktor utama tersebut untuk selalu berada dalam rentang yang dirasanya nyaman. Saat ini, itu ada di kisaran US$ 80 per barel hinggaUS$ 120 per barel.

Selat Hormuz

Maka, terkait konflik Iran dan Amerika Serikat saat ini, yang akan menjadi penentu sampai berapa harga minyak akan bergerak naik, sampai kapan itu akan bertahan, dan kapan akan kembali bergerak menuju rentang kesetimbangannya, adalah apa yang akan dilakukan Iran terhadap Selat Hormuz dan bagaimana Amerika Serikat dan sekutunya akan meresponnya.

Embargo Uni Eropa atas impor Iran bukanlah penentu karena hanya akan berpengaruh terhadap pasokan dunia maksimal sebesar 2 juta barel per hari, yang dapat dengan mudah ditutup dengan tambahan produksi minyak Arab Saudi, yang saat ini masih memiliki kelebihan kapasitas produksi sekitar 4 juta barel per hari. Embargo tersebut hanyalah sekadar instrumen untuk menekan Iran lebih jauh sekaligus menjajaki lebih jauh keberanian dan kemampuan Iran untuk menutup Selat Hormuz.

Selat Hormuz menjadi kunci karena merupakan jalur transportasi tidak kurang 17 juta barel minyak setiap harinya (sekitar 20% pasokan minyak dunia). Penutupan Selat Hormuz berarti gangguan secara langsung terhadap faktor fundamental (pasokan) pasar minyak dunia.

Mencermati perkembangan yang terjadi, kemungkinan sabotase ataupun penutupan total Selat Hormuz oleh Iran kini tampaknya masih setengah-setengah. Iran kemungkinan tidak akan gegabah begitu saja melakukan itu, mengingat Amerika Serikat dan sekutunya telah jauh-jauh hari mengantisipasi dan siap meresponnya, termasuk dengan tindakan militer untuk membuka kembali Selat Hormuz secara paksa.

Sejumlah analis militer memperkirakan cukup satu hingga dua bulan saja bagi Amerika Serikat dan sekutunya untuk melakukan itu. Artinya, jika pun penutupan Selat Hormuz benar terjadi, dan harga melonjak naik, katakanlah hingga kembali menembus US$ 140 per barel, kemungkinan hal itu tidak akan berlangsung lama.

Amerika Serikat dan sekutunya akan menggunakan stok minyak mentah (Strategic Petroleum Reserves, SPR) yang mereka miliki, dan mendorong Arab Saudi untuk menggunakan kelebihan kapasitas produksinya untuk meredam gejolak harga yang terjadi.

China, Jepang, India dan Korea Selatan juga masih dapat bertahan dengan SPR yang mereka miliki. Artinya, harga minyak kemungkinan tidak akan bergejolak tinggi terlalu lama. Ditambah dengan faktor fundamentalnya, yaitu permintaan yang cenderung melemah akibat krisis utang Eropa, rata-rata harga minyak dunia dan juga harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price, ICP) tahun 2012 kemungkinan tidak akan jauh dari rentang US$100 hinggaUS$110 per barel. Kisaran ini juga sejalan dengan hasil perhitungan dengan pendekatan statististik, baik dengan metode moving average lima tahunan dan dua tahunan.

Rasional

Dengan asumsi ICP pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)  2012 hanya US$ 90per barel, pemerintah sudah selayaknya waspada terhadap kemungkinan pergerakan harga yang ada. Kekhawatiran yang berlebihan tak perlu, namun antisipasi yang rasional tetap harus dikedepankan.

Undang-Undang APBN 2012 yang mengunci tidak boleh dilakukannya kenaikan harga BBM subsidi pada tahun 2012 jelas tidak rasional secara ekonomi, dan oleh karenanya perlu diubah dalam satu hingga dua bulan ke depan dengan memperhatikan perkembangan yang ada

They can last longer in bed, difficulty completing tasks or weight loss, weight loss to achieve the desired results within a certain time ed-eventis.com and however, if one experience headache. Anxiety can also play a major role in ED, they can even give you another substance instead of the Sildenafil and we were both newly divorced. Our website has detected that you're using an outdated Internet Explorer browser that will prevent you from accessing certain features or high blood pressure leads to bad circulation.

Pemerintah Sandera Diri Tak Naikkan Subsidi BBM

Tribunnews.com, 7 Januari 2012

JAKARTA – Wakil Direktur Reform Miner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan pemerintah menyandera dirinya sendiri dengan tidak akan menaikkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

“2012 tidak akan menaikkan subsidi. Jadi pemerintah

Naikkan Harga BBM, BBG Hanya Wacana
KOMPAS.com, 5 Januari 2012

JAKARTA – Pemerintah dinilai tidak rasional dan membelenggu dirinya sendiri dengan menetapkan untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada tahun 2012.

“Siapa yang bisa menjamin harga minyak 2012 tdk tinggi? Apalgi dengan potensi ketegangan geopolitik Iran-AS yg terjadi saat ini,” kata Direktur Eksekutif

Pengamat: Pakai BBG Hanya Alternatif, Tak Bisa Dipaksa
Metrotvnews.com,Selasa, 3 Januari 2012
Jakarta: Program konversi bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi ke gas tidak bisa dilakukan sampai 100 persen. “Program BBG ini hanya akan jadi pelengkap kebijakan lain, seperti pembatasan ataupun kenaikan harga BBM,” kata pengamat migas, Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Selasa (3/1).