Pengembalian Biaya Operasi Migas
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Kompas; Sabtu 25 April 2015

Langkah Berat Jadi Mandiri; Pangan dan Energi Masih Menjadi Masalah

(KOMPAS; Rabu, 21 Oktober 2015)

JAKARTA, Banyak program yang digulirkan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla untuk memandirikan bangsa ini di bidang pangan, energi, maritim, hingga Perdagangan domestik. Sejumlah upaya mulai terlihat, letapi langkah untuk menjadi bangsa mandiri sangat berat. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Hasil Sembiring di Jakarta, Selasa (20/10), mengatakan, dalam rangka membangun kemandirian pangan, pemerintah berupaya meningkatkan produksi pangan. Program yang dilakukan untuk tanaman pangan adalah upaya khusus peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai.

Dalam upaya tersebut, prioritas peningkatan produksi pangan dilakukan dengan perbaikan jaringan irigasi tersier 1,1 juta hektar, perluasan areal tanam melalui peningkatan indeks pertanaman (IP), serta peningkatan produktivitas tanaman pangan.

Akan tetapi, rencana impor beras dikritik sejumlah kalangan. Indonesia akan mengimpor hingga 1 juta ton beras dari Vietnam.

Di bidang energi, pengamat energi dari Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, pemerintah masih lebih banyak berfokus di sektor hilir untuk bidang energi. Ia berpendapat, pemerintah sebaiknya harus serius dalam hal pembangunan infraslruktur di sektor hulu.

“Selama ini, pemerintah masih fokus pada infrastruktur hilir, seperti jaringan gas rumah tangga, stasiun pengisian bahan bakar gas, ataupun kilang LNG mini dengan skala terbatas. Sementara itu, infrastruktur dalam skala besar, seperti kilang minyak dan pembangkit listrik, belum tuntas masalah skema pembiayaannya,” kata Pri Agung.

Pri Agung menambahkan, memang butuh payung hukum untuk percepatan pembangunan infrastruktur di sektor hulu.

Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengatakan, Pertamina masih dalam penuntasan program rencana induk pengembangan kilang. Program ini untuk meningkatkan kemampuan dan kompleksitas kilang milik Pertamina Investor yang digandeng dalam program ini adalah Saudi Aramco (Arab Saudi) dan JX Nippon (Jepang).

“Di samping itu, kami juga ada rencana membangun kilang baru di Bontang, Kalimantan Timur, dan di Jawa Apabila seluruh prosesnya berjalan lancar, kilang tersebut akan selesai dalam waktu 3-5 tahun mendatang,” ucap Dwi.

Pasar tradisional

Perkuatan pasar tradisional sebagai penggerak roda perekonomian rakyat merupakan salah satu program pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Selama lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan merevitalisasi dan membangun 5.000 pasar tradisional, mulai dari wilayah perkotaan, pedesaan, hingga wilayah perbatasan.

Pada tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 2,3 triliun. Arahnya tidak hanya sekadar pembangunan fisik, tetapi juga manajemen, ekonomi, dan sosial budaya Pemerintah juga memperkuat pasar sebagai barometer dan pengendali harga bahan pokok. Caranya adalah memberikan kios bagi Perum Bulog untuk menyalurkan bahan pokok, terutama beras dan daging, kepada pedagang kecil ketika harga bergejolak.

Di sejumlah kota kota besar, pasar tradisional akan dikonsep sebagai tempat wisata belanja Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyatakan, pasar rakyat diharapkan bisa menjadi tempat belanja sekaligus berwisata.

“Ada tempatnongkrongdan restoran-restoran masakankhas daerah. Kami juga inginpasar menjadi tempat pemasaranproduk-produk khas daerahseperti kerajinan tangan,” ujarnya.

Namun, pembangunan tersebut bukan tanpa masalah. Serapan dana revitalisasi pasar tradisional pada tahun ini cukup minim. Dari total dana revitalisasi pasar di pos Kementerian Perdagangan tahun 2015, yaitu Rp 1,45 triliun, baru terserap sekitar 30 persen pada Oktober ini.

Di sisi lain, perizinan ritel Terbuka begitu Iebar sampai ke wilayah-wilayah pedesaan danberdekatan dengan pasar-pasar tradisional. Hal itu menyebabkan pedagang-pedagang kecil, terutama pedagang kelontong, di pasar kalah bersaing.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Ngadiran mengemukakan, pengelolaan menjadi kunci revitalisasi dan pembangunan pasar tradisional. Selama ini, sebagian besar pasar tradisional di Indonesia lemah dalam hal manajemen. “Padahal tren pembeli saat ini adalah menginginkan pasar yang nyaman dan aman serta ramah bagi anak anak dan ibu hamil,” katanya.

Perikanan ilegal

Pemberantasan perikanan ilegal tidak dilaporkan dan tidak diatur menjadi fokus perhatian pemerintah di sektor Kelautan dan Perikanan dalam masa setahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Gebrakan itu menyusul kebijakan mendongkrak alokasi APBN untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2015 menjadi Rp 10,5 triliun atau tertinggi dalam sejarah KKP.

Anggaran KKP sebesar Rp 10,51 triliun itu meningkat 59 persen jika dibandingkan alokasi APBN-KKP tahun 2014, yakni Rp 6,61 triliun. Gagasan pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia menjadi tumpuan.

Di awal pemerintahan, terobosan dilakukan dengan menerapkan moratorium (penghentian sementara) semua izin kapal ikan buatan luar negeri, disertai analisis dan evaluasi terhadap 1.132 kapal ikan buatan luar negeri. Dari hasil analisis selama 10 bulan, semua kapal buatan luar negeri dinyatakan melakukan pelanggaran ringan hingga berat.

Sementara itu, penegakan hukum terhadap kejahatan perikanan didorong dengan menenggelamkan kapal-kapal ilegal. Hingga Oktober 2015, tercatat jumlah kapal ikan ilegal yang ditenggelarnkan 91 unit. Akhir tahun 2015, pemerintah menargetkan total 138 kapal ilegal ditenggelamkan.

Sejumlah kebijakan pelarangan juga digulirkan, antara lain larangan penggunaan alat tangkap pukat tarik dan pukat hela, termasuk cantrang. Kebijakan lainnya, larangan alih muatan kapal di tengah !aut serta larangan penangkapan lobster, kepiting, juga rajungan dalam ukuran tertentu dan dalam kondisi bertelur. Namun, akibat protes sejumlah kalangan, larangan penggunaan cantrang diundur penerapannya hingga 2016.

Setelah penertiban kapal ilegal dan pelarangan dimulai, industri perikanan dalam negeri diharapkan bergeliat dan daya saing usaha dalam negeri menguat.

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mencatat belum terlihat penambahan fasilitas pelabuhan perikanan di timur Indonesia serta prasarana pelabuhan perikanan di barat. Konektivitas wilayah timur sebagai sentra produksi ikan dengan wilayah barat sebagai sentra pengolahan belum teratasi. Janji pemerintah untuk menerapkan sistem logistik ikan nasional sebagai penghubung sentra produksi dan pengolahan masih perlu dibuktikan.

Setahun Pemerintahan Jokowi-Kalla Belum Memberikan Dampak

(KOMPAS: 19 Oktober 2015 )

JAKARTA,Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengakui setahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla belum memberikan dampak yang nyata di sektor energi. Perbaikan tata kelola di sektor energi akan terasa manfaatnya dalam jangka

Lifting Tak Tercapai, Penerimaan Negara Terancam Defisit

(cnnindonesia.com; 6 Oktober 2015)

Jakarta, – Pengamat Energi dari Research Institute for Mining and Energy Economics (Reforminer) Insitute Komaidi Notonegoro mengatakan pemerintah perlu mewaspadai lonjakan defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 akibat target lifting minyak yang terancam tidak tercapai

Hak Partisipasi Blok Masela Bakal Dicaplok Inpex?

(Kompas, Selasa 6 Oktober 2015)

JAKARTA, KOMPAS.com Hak partisipasi (Participating Interest/PI) Lapangan Gas Abadi, Blok Masela, Maluku saat ini tengah dibahas seiring dengan penyelesaian pembahasan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD). Kurangnya pendanaan dari Pemerintah Daerah (Pemda) disinyalir kembali

Harga BBM Bakal Turun, Berapa Idealnya?

(Liputan6.com; 5 Oktober 2015)

Presiden Joko Widodo memberikan sinyal akan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM)  pada awal pekan ini. Saat ini harga premium dibanderol Rp 7.400 dan solar Rp 6.900 per liter

Idealnya berapa penurunan harga BBM?

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, dengan asumsi harga minyak US$ 45 per barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.500 per dolar AS, idealnya harga BBM jenis premium turun menjadi Rp 6.500-6.800 per liter.

“Kemungkinan pemerintah ambil di kisaran 6.800 per liter. Sedangkan di pasar dunia solar lebih rendah dari premium, sekitar Rp 100-200 lebih rendah,” kata dia saat berincang dengan Liputan.com, Senin (5/10/2015).

Komaidi menilai kebijakan yang diambil pemerintah ini positif sebab bisa mendongkrak daya beli masyarakat yang sedang tertekan lesunya ekonomi.

“Masalahnya Pertamina berpotensi menjadi korban karena kerugian kemarin belum tertutup,” tutur dia.

Sekadar informasi, Pertamina saat ini masih menanggung rugi sekitar Rp 15 triliun karena menjual harga BBM jenis Premium dan Solar di bawah harga keekonomian. Kerugian ini akan membengkak jika harga BBM turun.

Sebab pemerintah memastikan tidak ada alokasi khusus untuk menutupi kerugian tersebut dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

“Pertamina itu milik pemerintah. Sebagai operator dia pasti menjalankan. Yang tentukan harga BBM itukan wewenang pemerintah,” ungkap Anggota Komisi VII DPR Kurtubi.

Menurut dia, DPR menyambut baik langkah yang diambil pemerintah. Sebab, Kebijakan yang diambil pemerintah tersebut sangatlah tepat untuk mendorong mempercepat pertumbuhan ekonomi saat lesu.

Untuk itu, harus ada upaya-upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan meningkatkan daya beli rakyat melalui menurunkan harga BBM.

“Ekonomi kita sedang terpuruk. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan II 2015 ini bahkan menyentuh level terendah dalam 10 tahun terakhir. Ini memprihatinkan sekali,” kata Kurtubi.

Kurtubi menilai harga BBM jenis premium dan solar idealnya turun sekitar Rp 1.000 per liter agar bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Sekadar informasi saat ini harga Premium dipatok Rp 7.400 dan solar Rp 6.900 per liter.

Penurunan harga BBM sebesar Rp 1000 tersbeut itu dengan asumsi harga minyak dunia US$ 50 per barel dan kurs rupiah 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
“Itu sudah termasuk Pajak Pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB),” terangnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengusulkan harga solar turun 10 persen agar bisa menekan biaya operasional. “Kalau turun hanya 3 persen atau 5 persen itu tidak berpengaruh,” ungkapnya.

Dia berharap penurunan harga BBM ini bisa mendongkrak industri logistik yang kini tengah lesu akibat lemahnya permintaan. “Untuk itu, kami berharap harga solar turun signifikan,” harap Zaldy. (Ndw/Igw)

 

Penurunan harga BBM akan tekan laba Pertamina

(Kontan – 4 Oktober 2015)

JAKARTA. Keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga bahan bakar minyak (BBM) berpotensi menekan kinerja PT Pertamina.

Komaidi Notonegoro, Direktur Reforminer Institute, bilang, penurunan harga premium yang wajar saat ini adalah menjadi Rp 6.500,00 perliter.

Jika lebih dari itu, ia mengkhawatirkan Pertamina akan tertekan mengingat risiko beban pengadaan minyak tahun ini bisa terus meningkat.

Karena sebagian besar premium kita lebih banyak impor. Sementara nilai tukar Rupiah terus melemah terhadap Dollar AS, kata Komaidi saat dihubungi KONTAN, Jumat (2/10).

Wianda Pusponegoro,Vice President Corporate ComunicationPT Pertamina, hanya memberikan tanggapan singkat mengenai penurunan harga premium yang masuk akal bagi Pertamina. Semua hasil perhitungan tentunya kami laporkan pada regulator Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan disampaikan kepada Presiden, kata Wianda pada KONTAN, Jumat (2/10).

Wianda juga menegaskan bahwa Pertamina memang sedang melakukan efisiensi.

Seperti sentralisasi pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang maupun penurunan losses, pungkas Wianda.

Mengacu laporan keuangan Pertamina di situs resmi Pertamina, jumlah penjualan dan pendapatan usaha lainnya di Semester I 2015 mencapai US$ 21,78 miliar, jumlah ini turun dibanding Semester I 2014 yang capai US$ 36,27 miliar.

Sementara laba tahun berjalan juga turun dari US$ 1,13 miliar di Semester I 2014 menjadi US$ 579,10 juta di Semester I 2015.

Plan to cut fuel prices sparks polemic

(Jakartapost – 4 Oktober 2015)

President Joko Widodo plan to cut fuel prices in a bid to boost peoplea purchasing power has sparked a polemic.

An observer has warned that the policy, which was set to be announced on Monday, would hit state-oil and gas firm Pertamina revenues while another analyst said impacts resulting from the price cut would be tolerable.

Reforminer Institute director Komaidi Notonegoro said on Sunday that the normal price of Premium a low-specification gasoline was Rp 6,500 (around 44 US cents) per liter and that a lower retail price could eat into Pertamina earnings as fuel production costs had been rising this year.

Most of our Premium is imported while the rupiah has continued to decline against the US dollar, Komaidi said as quoted by Kontan.

However, an oil and gas observer from the University of Gadjah Mada, Fahmi Radhi, said Pertamina main problem would not be lower Premium prices but a lack of efficiency in its management.

He said the fuel price should have been cut right after Pertaminaa Singapore-based trading arm, PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral), was dissolved.

The fuel price should be cut because Pertamina now buys crude oil and the fuel directly from the market, resulting in a shorter supply chain, Fahmi argued.

Fahmi, who is a member of the reform team for oil and gas governance, estimated that a tolerable Premium price decrease would be Rp 500 to Rp 1,000 per liter from the existing price of Rp 7,400 per liter.

He rejected Pertamina claim that it had maintained a stagnant fuel price to offset accumulated losses in the past.

This is not fair. [The cost of] Pertaminaa mismanagement in the past is now burdening the public as fuel consumers.

Pertamina corporate communication vice president Wianda Pusponegoro said the state-owned oil and gas company had its own estimation on the viable Premium price.

All of the estimations have been reported to the Energy and Mineral Resources Ministry as the regulator before it delivers them to the President, she said.

Wianda said Pertamina had conducted efficiency programs such as crude oil import centralization, refinery operation efficiency and loss reduction.

Pertamina recorded US$21.78 billion in operational revenues and sales in the first half of 2015, significantly less than in the same period last year, which amounted $36.27 billion.

The companya net profit dropped from $1.13 billion in the first half of 2014 to $579.1 million in the same period this year. (ags/ebf)

Jakartapost – 4 Oktober 2015

Pengamat: Harga Premium Seharusnya Rp 6.000

(www.beritasatu.com3 Oktober 2015)

Jakarta – Pengamat energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan harga premium seharusnya bisa di kisaran Rp 6.000 per liter jika harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) US$ 40 per barel dan kurs Rp 14.000 serta alpha Rp 1.000.

Harga Gas Jadi Tinggi, “Trader” Kertas Harus Dihapus

(beritasatu.com; 1 Oktober 2015)

Jakarta-Sistem trader kertas yang ada sekarang sebaiknya dihapus saja, karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal. Terlebih, ketika konsep aggregator gas kelak diberlakukan, yang tujuannya untuk memperkuat gas dalam negeri.

“Trader kertas yang terjadi saat ini membuat rantai tata niaga menjadi panjang.Konsumen sangat dirugikan karena harga gas menjadi sangat tinggi,” kata Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia.Menurut Ferdinand, dalam trader kertas seperti saat ini, banyak rantai tata niaga yang sebenarnya tidak perlu ada. Misalnya, BUMD-BUMD di berbagai daerah yang secara “tiba-tiba” menjadi perantara gas tersebut. Para perantara tersebut, lanjut Ferdinand, sebenarnya tidak memiliki peran apa pun, karena tanpa mereka pun sebenarnya gas bisa langsung dijual ke konsumen. “Mereka itu sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan. Keberadaannya sangat merugikan,” lanjut Ferdinand.

Untuk itu, ujarnya, memang tidak ada jalan lain, kecuali menghapus saja sistem tata niaga yang jelas-jelas merugikan tersebut. Bahkan, jika paratraderkertas tadi tetap ada pada saat pemberlakuan aggregator gas, maka bisa menjadi kontra poduktif dan membuat tujuan aggregator gas tidak tercapai. Dengan demikian, kalaupun ingin memberi semacam “apresiasi” terhadap daerah, lanjut Ferdinand, cukup dengan pembagian dividen saja.

Di sisi lain Ferdinand mengatakan, bahwa idealnya hanya satu BUMN yang menjadi aggregator gas. Karena sebagaimana konsepnya, bahwa aggregator tadi akan meliputi seluruh kegiatan dari hulu ke hilir. Dengan hanya satu aggregator gas, maka akan meningkatkanbargaining positionIndonesia, terutama karena perannya di sektor hulu tadi.

Lebih lanjut Ferdinand menambahkan, sebaiknya yang menjadi agregator gas merupakan BUMN murni. Karena dengan demikian, tidak akan ada kepentingan asing yang mendompleng di dalam aggregator gas tadi. Sayangnya, salah satu di antara dua BUMN yang digadang-gadang dalam RUU Migas untuk menjadi agregator gas, justru 47 persen sahamnya dikuasai asing.

Dengan kepemilikan asing yang luar biasa tersebut, dikhawatirkan bahwa aggregator gas hanya akan menjadi alat bagi pihak asing terkait regulasi gas. Kondisi ini, menurut Ferdinand, sangat berbahaya, karena tujuan aggregator gas adalah untuk memperkuat gas di dalam negeri. “Ini persoalan serius,” katanya.

Tidak hanya itu. Dengan proporsi kepemilikan asing yang besar tersebut, dikhawatirkan pula keuntungan yang diraih justru akan lari ke pihak asing, yakni sesuai dengan proporsi kepemilikannya. “Ini mengkhawatirkan, karena seharusnya keuntungan itu masuk semua ke dalam negeri,” kata Ferdinand.

Selain menghapustraderkertas, hal yang juga harus menjadi perhatian terkait aggregator gas adalahopen access. Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute mengatakan,open accesini penting, terkait konsep bahwa aggregator gas sebaiknya dilaksanakan secara tungal oleh pelaku utama. Melaluiopen access, maka pelaku utama bisa bersinergi dengan pelaku lain yang berkompeten di sisi hilir, yakni yang memiliki jaringan infrastruktur distribusi cukup memadai.

“Melalui jaluropen accessseperti itu, aggregator gas bisa berjalan seperti yang diharapkan. Daripada membangun lagi infrastruktur, akan lebih efisien jika memanfaatkan yang sudah ada,” lanjutnya.

Terkaitopen accestadi, lanjut Komaidi, sebaiknya memang perlu dipilih pelaku utama yang benar-benar berkompeten. Jika melihat peran besar aggregator gas, hendaknya pelaku utama tersebut harus memiliki pengalaman di sektor hulu, termasuk terkait akses, pengalaman bernegosiasi harga di hulu, menghitung harga keekonomian gas di kepala sumur, eksplorasi, sewarig, dan bahkan kekuatan finansial. “Guna melengkapi peran distribusi di sektor hilir, maka pelaku utama tadi bisa menerapkanopen access. Idealnya seperti itu,” katanya.