Mengembalikan Kejayaan Industri Hulu Migas di 2018

metrotvnews.com(28 Desember 2017)

Jakarta:Iklim investasi di sektor hulu migas di Indonesia pada 2018 diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan di tahun ini atau dengan kata lain industri hulu migas Indonesia tetap tidak menarik dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini patut menjadi perhatian dan sewajarnya ada langkah nyata guna mengembalikan kembali kejayaan industri hulu migas Tanah Air.

Tidak ditampik investasi hulu migas di Indonesia masih terbelenggu dalam persoalan mendasar yakni berkaitan dengan ketidakpastian hukum, tidak dihargainya kontrak, dan birokrasi yang masih jalan di tempat. Kondisi tersebut cukup disayangkan mengingat industri hulu migas pernah berjaya di tahunnya dan mampu mendongkrak sejumlah industri di dalam negeri.

“Hulu migas Indonesia kemungkinan tetap tidak akan menarik dibandingkan dengan negara-negara lain. Karena persoalan mendasar yaitu ketidakpastian hukum,” kata Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) sekaligus Pengamat Energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, kepada Medcom.id, di Jakarta.

Hal lain yang membuat industri hulu migas harus kembali menunda kejayaanya adalah ketika skema bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) Gross Split yang digagas pemerintah justru menambah ketidakpastian. Hal itu dinilai akan membuat iklim investasi hulu migas semakin tidak menarik dan ujungnya terjadi perlambatan.

Reforminer Institute mencatat, pada periode 1979-1984 industri migas menyumbangkan penerimaan ke negara mencapai sebesar 62,88 persen. Namun, kini porsi penerimaan negara dari industri tersebut hanya 4,7 persen. Angka itu terus mengecil dari waktu ke waktu dan sudah sewajarnya mulai ada keberpihakan untuk kembali membuat industri tersebut berjaya.

“Justru gross split itu yang akan membuat semakin tidak menarik karena semakin menambah ketidakpastian yang ada,” tegas dia.

Pri Agung memandang potensi investasi hulu migas tahun depan akan sama seperti yang dijabarkan oleh penelitian Fraser Institute yang bertema ‘Global Petroleum Survey 2017‘. Dalam hasil survei tersebut menyatakan Indonesia menduduki posisi ke-92 dari 97 negara dalam urutan negara yang paling diminati untuk berinvestasi di sektor hulu migas.

Dari posisi itu Indonesia tertinggal dengan negara tetangga seperti Malaysia di posisi 57, Brunei di 40, Papua Nugini di posisi 84, Thailand di posisi 36, dan Vietnam di posisi 61. Tentu sangat disayangkan kondisi ini justru terjadi di tengah upaya pemerintah yang terus meningkatkan daya saing dan memacu laju pertumbuhan ekonomi secara merata.

Dalam survei itu setidaknya terdapat dua faktor yang dianggap membuat iklim investasi hulu migas di Indonesia kurang menarik. Pertama, terkait perpajakan yang dipungut pada masa eksplorasi. Kedua, mengenai skema kontrak bagi hasil gross split.

“Dari survei Fraser Institute kan juga disebutkan Indonesia adalah 10 besar terbawah dalam hal menarik investasi hulu migas,” imbuh dia.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut kegiatan eksplorasi adalah kunci dalam mengembangkan bisnis usaha hulu migas. Berdasarkan data SKK Migas, investasi kegiatan eksplorasi di Wilayah Kerja (WK) eksploitasi maupun eksplorasi terus menurun.

Pada 2014, total biaya eksplorasi mencapai Rp31,01 triliun dengan rincian Rp12,9 triliun di WK Eksplorasi dan Rp18,11 triliun di WK Eksploitasi. Sementara, pada 2016, jumlahnya turun menjadi Rp13 triliun yang meliputi Rp4,2 triliun di WK Eksplorasi dan Rp8,8 triliun di WK Eksploitasi.

“Eksplorasi adalah masa depan industri hulu migas karena kegiatan yang dilakukan untuk menemukan cadangan baru menjadi harapan peningkatan produksi migas di masa mendatang,” kata Wakil Kepala SKK Migas Sukandar.

Saat ini, terdapat 270 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKK). Dari jumlah tersebut, 87 KKKS masuk dalam fase eksploitasi. Sedangkan 183 KKKS masih dalam tahap eksplorasi, baik konvensional sebanyak 130 kontraktor maupun nonkonvensional sebanyak 53 kontraktor.

Adapun tren penurunan aktivitas dan penanaman investasi eksplorasi migas banyak didorong oleh penurunan harga minyak dunia yang masih belum menunjukkan perbaikan. Langkah yang diambil oleh negara anggota OPEC dan bukan anggota OPEC pun masih belum membuahkan hasil signifikan untuk kembali membawa harga minyak dunia ke level tinggi seperti dulu.

Selain itu, gagalnya eksplorasi di laut dalam di wilayah timur Indonesia pada periode 2006-2012, peraturan-peraturan yang tidak kondusif, serta kendala nonteknis seperti perizinan, sosial kemasyarakatan, maupun keuangan internal kontraktor KKS ikut memberi kontribusi penurunan investasi eksplorasi migas.

Untuk meningkatkan eksplorasi berbagai perbaikan untungnya sudah ada langkah nyata seperti diterbitkannya PP 27 Tahun 2017 sebagai revisi PP 79 Tahun 2010 tentang Bebas Masuk Impor Barang-Barang termasuk Pajak Insentif, Incestmebt Credit, DMO Holiday, dan Waktu Depresiasi.

Industri Migas Lebih Menarik

Sementara itu, Indonesia Petroleum Association (IPA) memperkirakan industri migas tahun depan masih penuh tantangan meskipun sudah lebih menarik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini dinilai akan memberikan dorongan terkait perkembangan industri di tahun-tahun mendatang, termasuk nantinya mendukung laju perekonomian.

Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong berpandangan pemerintahan sekarang ini lebih terbuka dan mau berdiskusi langsung dengan pelaku industri migas. Ia menilai langkah semacam itu bisa membantu perkembangan industri di tahun depan. Namun, di sisi lain upaya terus menerus guna menekan sejumlah persoalan di industri migas sangat diperlukan.

“Tapi dari apa yang kami lihat di 2017 ini, pemerintah sudah mau untuk berdiskusi lebih baik dengan para pelaku industri migas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” kata Meti, sapaan akrab Marjolijn, kepada Medcom.id.

Meti mengungkapkan, untuk pandangan mengenai industri migas tahun depan secara nyata bisa dilihat dari hasil lelang wilayah kerja migas yang dilakukan pemerintah hingga akhir 2017. “Kita harus lihat hasil dari lelang daerah yang sedang berjalan,” ucap Meti.

President IPA Christina Verchere menambahkan, berdasarkan dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 ada dua kegiatan yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang yaitu Eksplorasi dan Enhanced Oil Recovery (EOR).

“Oleh karena itu, IPA berharap Pemerintah Indonesia dapat membuat peraturan yang mampu menarik investasi hulu migas masuk ke dalam negeri,” kata Christina.

Seperti diketahui, pada awal 2017, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Peraturan ini dimaksudkan untuk menghapus pola cost recovery pada kontrak bagi hasil antara pemerintah dan KKKS.

Setelah melalui sejumlah diskusi yang melibatkan IPA dan para pemangku kepentingan lainnya, pemerintah memperbaiki ketentuan-ketentuan di dalam Permen 8 Tahun 2017 dengan menerbitkan Permen Nomor 52 Tahun 2017.

Dua hal signifikan yang berubah seperti terdapat dalam Permen itu adalah besaran progresif dan variable split, dan dibukanya batasan insentif yang dapat diberikan Menteri ESDM untuk menjaga tingkat keekonomian suatu wilayah kerja.

Lain dari itu, lanjut Christina, kebijakan lain yang dinilai IPA cukup baik pada 2017 adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 yang merupakan perubahan dari PP Nomor 79 Tahun 2010.

Jika dibandingkan dengan PP Nomor 79 Tahun 2010, aturan baru ini memang memberikan beberapa perbaikan khususnya untuk kontrak setelah 2010. Tetapi perbaikan tersebut tidak semenarik dengan prinsip assume and discharge seperti untuk kontrak-kontrak sebelum 2010.

Anggaran Kementerian ESDM Memberi Efek Langsung

Meski demikian, Kementerian ESDM menegaskan bahwa masyarakat akan merasakan langsung anggaran sektor ESDM di 2018. Sebab, setidaknya 51 persen anggaran yang diusulkan dalam pagu indikatif Kementerian ESDM 2018 akan langsung ditujukan untuk pembangunan fisik sektor energi.

Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, sesuai dengan arahan Presiden Jokowi maka belanja publik untuk pembangunan fisik itu sekitar 51 persen. Presiden juga berpesan untuk mengurangi pengkajian-pengkajian dan rapat-rapat yang menguras anggaran negara.

“Idealnya belanja publik fisik itu sekitar 51 persen,” kata Jonan.

Adapun pagu indikatif Kementerian ESDM di 2018 tercatat sebesar Rp6,5 triliun. Anggaran itu rencananya akan digunakan untuk berbagai jenis kegiatan. Untuk belanja publik fisik sebesar 51 persen atau Rp3,3 triliun, untuk belanja publik nonfisik sebesar 15 persen atau Rp1,1 triliun, dan belanja aparatur sebesar 34 persen atau Rp2,2 triliun.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menambahkan, Kementerian ESDM siap mengimplementasikan sejumlah regulasi yang sudah banyak dibuat di 2017 terkait rencana kerja di tahun depan. “Kan regulasi sudah banyak. Sekarang implementasi seperti apa,” kata Arcandra Tahar.

Substansi untuk sektor kelistrikan, misalnya, yang akan ditekankan pemerintah adalah penggunaan teknologi canggih agar lebih efisien dalam menciptakan listrik. Selama ini seperti yang diketahuinya tidak ada teknologi tersebut, apalagi yang dapat diterapkan di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T).

Contoh lainnya di sektor migas yakni Kementerian ESDM akan konsentrasi untuk memikirkan apa yang dilakukan untuk lapangan migas brown field di Indonesia. Lalu, pemerintah juga akan mendorong penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery(EOR).

Setelah itu, penerapan open data sub surface yang meliputi data geologi dan data geofisika pada potensi-potensi wilayah migas di Indonesia. Serta teknologi apa yang cocok untuk mengeksekusi lapangan tersebut. “Kita bicara substansi,” kata Arcandra Tahar.

Terlepas dari itu semua, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM diminta lebih memaksimalkan pengelolaan migas di Tanah Air. Mundurnya beberapa perusahaan migas terkait mengelola lapangan migas perlu dicermati dengan baik dengan harapan kondisi itu tidak berdampak negatif bagi sektor energi di masa-masa mendatang.

Pri Agung Rakhmanto menegaskan mundurnya perusahaan migas dalam mengelola lapangan migas di wilayah Indonesia perlu diwaspadai, apalagi jika jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Perlu ada perubahan kebijakan yang berpihak terhadap pertumbuhan sektor migas.

“Pertama kalau kebijakan tidak diubah maka yang seperti ini akan terus terjadi di mana satu per satu perusahaan migas akan mundur atau beralih ke portofolio lain. Itu yang tidak kita inginkan,” ujarnya.

Meski ia tidak menampik kondisi itu bisa menjadi peluang bagi perusahaan migas dalam negeri lainnya untuk mengelola lapangan migas yang ditinggalkan. Namun, ia menegaskan, pemerintah tetap perlu mencermati terkait mundurnya beberapa perusahaan migas tersebut.

“Kita tidak inginkan, meski di dalam hal seperti itu katakan ada peluang misalkan bagi MedcoEnergi atau perusahaan yang lain. Tapi, dalam konteks keseluruhan ini perlu dilihat,” tegasnya.

Lebih lanjut, dirinya berharap, pemerintah benar-bener mendukung secara maksimal pertumbuhan sektor migas di masa mendatang. Apalagi kondisi itu sejalan dengan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) yakni Nawacita. Pertumbuhan sektor migas diharap bisa terus menerus mendukung laju pertumbuhan ekonomi.

“Melingkupi semua sektor migas ini ada juga di Nawacita. Kan bagaimana memudahkan investasi dan mendorong ease of doing business. Termasuk meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi,” tuturnya.

Harga Minyak Mentah Mulai Membaik

Sedangkan terkait dengan harga minyak dunia, sepertinya sulit kembali ke level USD100 per barel di tahun depan meski secara perlahan terlihat harga minyak kembali mengalami kenaikan. Meski demikian, negara anggota OPEC dan negara bukan anggota OPEC masih terus berupaya melakukan sejumlah langkah nyata agar harga minyak dunia bisa terus menguat.

Beberapa persoalan sulitnya harga minyak dunia kembali menguat yakni masih memanasnya geopolitik di Timur Tengah, pemangkasan produksi minyak dunia yang belum optimal, langkah Amerika Serikat (AS) yang masih menggenjot produksi minyak dan kinerja ekspor minyaknya, hingga terjadinya diversifikasi dari minyak mentah ke komoditas lainnya.

Pri Agung Rakhmanto senada dengan perkiraan tersebut. Menurutnya harga minyak dunia tidak akan menembus USD100 per barel di 2018. Meskipun diakuinya saat ini harga minyak dunia semakin membaik. “Harga minyak secara fundamental harusnya tidak akan USD100 per barel di tahun depan,” ucap dia.

Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail bin Mohammed al-Mazroui mengatakan produsen minyak OPEC dan non-OPEC berencana untuk mengumumkan sebuah strategi keluar dari pemotongan pasokan global pada Juni. Namun itu tidak berarti bahwa kesepakatan tersebut akan berakhir pada saat itu.

Mazroui mengatakan terlalu dini untuk membicarakan tentang bentuk atau wujud strategi keluar tersebut sebelum Juni, ketika OPEC, Rusia dan produsen lainnya yang berpartisipasi dalam kesepakatan pengurangan pasokan -yang bertujuan untuk meningkatkan harga minyak- akan bertemu berikutnya.

“Kami akan mengumumkan sebuah strategi dalam pertemuan di Juni. Itu tidak berarti kita akan keluar pada Juni. Itu berarti kita akan menghasilkan strategi. Mudah-mudahan pasar akan berada dalam posisi yang jauh lebih baik bagi kami untuk datang dan mengumumkan strategi keluar,” pungkasnya

 

Ini Insentif Fiskal Bagi Kontraktor yang Gunakan Skema Kontrak Gross Split

Dunia Energi, 29 Desember 2017

JAKARTA Jelang pergantian tahun industri hulu migas Indonesia diberikan angin segar dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Beleid anyar tersebut memuat beberapa insentif fiskal yang diberikan pemerintah bagi kontraktor yang menggunakan skema kontrak gross split.

Ada tiga poin utama tentang perlakuan pajak bagi kontraktor. Pertama, dalam pasal 6 disebutkan biaya operasi mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan kategori lainnya yang telah dikeluarkan dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Adapun, biaya dalam kategori lainnya termasuk biaya pemindahan migas dari titik produksi ke titik serah, biaya kegiatan pascaoperasi dan biaya pemasaran.

Kemudian, biaya penggantian investasi kepada kontraktor sebelumnya jika masa kontrak berakhir dan biaya lain yang terkait dengan kegiatan operasi perminyakan seperti diatur dalam pasal 5.

Selanjutnya adalah tentang mekanisme tax loss carry forward atau penangguhan pajak penghasilan (PPh) selama 10 tahun yang diatur di dalam pasal 18 ayat 2.

Penangguhan PPh ini terkait masa-masa awal eksplorasi sebelum ada produksi migas. Dalam hal penghasilan setelah pengurangan biaya operasi didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 10 tahun. Penghasilan kena pajak bagi kontraktor dihitung berdasarkan penghasilan neto dikurangi dengan kompensasi kerugian.

Insentif berikutnya bisa diatur di pasal 25 hingga pasal 27 yang mengatur tentang insentif perpajakan. Dalam Pasal 25 disebutkan bahwa terdapat fasilitas fiskal yang bisa didapatkan kontraktor pada tahap eksplorasi dan eksploitasi sampai mulai produksi.

Pertama, pembebasan pungutan bea masuk atas impor barang yang digunakan selama kegiatan operasi. Kedua, pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang terutang terkait perolehan barang atau jasa kena pajak, impor barang kena pajak, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan.

Ketiga, tidak dilakukan pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan bea masuk sebagaimana dimaksud ayar 1 huruf a. Terakhir, pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 100% dari pajak yang terutang.

Fasilitas perpajakan yang telah diberikan yang peruntukannya tidak dalam rangka operasi perminyakan wajib dibayar. Kemudian, pemberian fasilitas diatur dalam peraturan menteri.

Dalam hal pada eksploitasi terdapat kapasitas berlebih pada fasilitas pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan kontraktor dapat memanfaatkan kelebihan kapasitas untuk digunakan kontraktor lainnya berdasarkan prinsip cost sharing atau penggunaan fasilitas bersama. Pembebanan biaya operasi fasilitas bersama oleh kontraktor dalam rangka pemanfaatan barang dialokasikan secara proporsional.

Lalu, pembebanan alokasi biaya tidak langsung kantor pusat tidak dilakukan pemotongan PPh dan tidak dikenai PPN.

Pemerintah diminta tidak terlalu jumawa dengan telah diterbitkannya regulasi pajak gross split. Pasalnya PP tersebut hanya sebagai instrumen pendukung bukanlah faktor utama yang bisa menunjang peningkatan investasi migas di tanah air.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti menyatakan terbitnya PP tersebut patut diapresiasi karena memuat beberapa insentif yang selama ini disuarakan kontraktor migas yang beroperasi di Indonesia. Akan tetapi bukan berarti dengan serta merta para kontraktor langsung tertarik untuk berinvestasi karena banyak variabel yang mempengaruhi keputusan berinvestasi.

Keputusan untuk investasi itu variabelnya banyak, seperti kredibilitas pemeritah dan aturan main atau kebijakan, kata Pri kepada Dunia Energi, Jumat (29/12).

Menurut dia, jika aturan main dalam berbisnis sering berubah, meskipun sudah dikeluarkan aturan baru yang memberi banyak insentif, tetap masih ada kemungkinan bisa tidak dipercaya investor dan mereka tetap tidak berinvestasi.

Kebijakan tetap harus konsisten, PP pajak gross split kan hanya salah satu elemen fiskal di dalam gross split itu sendiri, tandas Pri Agung. (RI)

 

Aturan Pajak Gross Split Bertentangan dengan Undang-Undang Pajak

CNBC Indonesia (28 Desember 2017)

Jakarta, CNBC Indonesia- Peraturan Pemerintah mengenai aturan perpajakan pada skema gross split untuk industri hulu minyak dan gas selesai ditandatangani dan segera diundangkan. Tetapi, aturan pajak yang tertera dalam aturan baru ini bertentangan dengan ketentuan pajak yang berlaku.

Aturan tersebut tercantum dalam pasal 18 ayat 2 PP nomor 53 Tahun 2017, di mana pasalnya menyebut soal relaksasi pembayaran pajak penghasilan selama 10 tahun. Bertentangan dengan ketentuan undang undang pajak yang memberi batas maksimal 5 tahun, perlakuan khusus untuk industri tertentu disebut harus diatur dengan aturan setara undang undang lainnya.

Deputi Pengendalian dan Pengadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Djoko Siswanto mengatakan relaksasi ini memang diperlukan sebagai insentif untuk investor migas. “Industri migas itu waktunya lama, untuk fasilitas pembangunan produksi saja butuh 5 tahun. Jadi batas 10 tahun itu wajar,” jelasnya, Kamis (28/12).

Menurut Djoko apabila dipaksakan pengenaan pajak dalam 5 tahun akan membuat iklim investasi tidak menarik.”Itupun belum tentu profit, jadi 10 tahun sudah ada pendapatan dan profit hitungannya sudah pas.”

Pengamat Ekonomi Energi Pri Agung Rakhmanto menilai tidak ada yang istimewa dengan kehadiran PP Perpajakan Gross Split. Menurutnya, salah bila pemerintah berpikir dengan terbitnya PP itu masalah di sektor migas akan selesai lalu menjadi menarik.

Pembenahan aturan pajak, kata Pri, seharusnya dilakukan di UU Migas. Dia melihat ketidakpastian investasi migas muncul dari kebijakan yang ada di sana. Selama ini misalnya masalah kontraktor harus bayar pajak di muka, itu adanya di UU Migas. Kalau UU itu sudah benar tidak akan ada ribut-ribut masalah pajak atau menunggu gross split yang seolah-oleh luar biasa seperti ini,jelas Pri.

Bentuk PP Perpajakan Gross Split juga dianggap janggal oleh Pri karena aturan gross split sendiri tertuang hanya dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen).

Terkait beda aturan antara perpajakan di gross split dengan aturan pajak, dia melihat seharusnya sudah tidak ada lagi. Mestinya, kata Pri, tidak berbenturan lagi dengan aturan perpajakan lain. “Kalau masih ada, terbitnya PP Perpajakan Gross Split ini berarti belum menyelesaikan masalah yang ada,” ujar Pri.

Bila skema gross split telah diterapkan dan ternyata menarik untuk investor, Pri melihat itu bukan patokan aturan gross split sudah benar. Bila aturan gross split laku, Pri mengatakan bukan lantas gross split sukses melainkan tidak adanya referensi lain yang bisa diambil.

Industri hulu migas, bagi Pri, tidak bisa hanya dilihat dari apakah lelang blok laku atau tidak, namun juga apa bisa mendapat investasi serius dari perusahaan besar yang benar memiliki komitmen. Kalau baru ambil dokumen dan menang lelang belum bisa diukur. Kalau ternyata perusahaan itu tidak bisa menjalankan komitmen, untuk apa? Yang benar-benar dibutuhkan adalah investasi dari perusahaan besar yang serius dan berkomitmen dalam menjalankan eksplorasi, mencari cadangan, kemudian memproduksi, jelas Pri. (gus) 

Akar Permasalahan Sektor Migas

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)
Kompas; Selasa 19 Desember 2017

Saat ini sektor migas bukan lagi primadona APBN. Kontribusinya terhadap penerimaan negara secara langsung tinggal sekitar 4-5 persen, berbeda dengan periode 1970-1980-an yang mencapai 60 persen lebih.

Penyebabnya ada dua hal. Pertama, kian berkembangnya sektor-sektor laina dengan penggerak mula utamanya sektor migas itu sendiri sehingga menggerakkan ekonomi nasional secara keseluruhan, dan pada akhirnya menghasilkan penerimaan negara dalam bentuk pajak. Saat ini lebih dari 85 persen penerimaan negara ditargetkan dari pajak.

Kedua, kinerja sektor migas sendiri terus menurun hampir dua dekade terakhir, tecermin dari terus menurunnya produksi minyak dan gas. Dengan tren produksi yang terus menurun, penerimaan migas di APBN praktis hanya bergantung pada pergerakan harga minyak.

Akar permasalahan terus menurunnya kinerja sektor migas terletak pada ketidakpastian hukum atau ketidakpastian aturan main yang bersumber dari UU No 22/2001 tentang Migas. Mahkamah Konstitusi (MK) telah dua kali memberikan putusan yang membatalkan pasal-pasal di dalamnya, yakni Putusan MK Nomor 002/PPU-I/2003 dan Putusan MK No 36/PUU.X/2012.

Sektor hulu

Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 telah membatalkan Pasal 1 Angka 23, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 41 Ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 Huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Migas. MK membatalkan frasa dengan Badan Pelaksanaa dalam Pasal 11 Ayat (1), frasa melalui Badan Pelaksanaa dalam Pasal 20 Ayat (3), frasa berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksanaa dan dalam Pasal 21 Ayat (1), frasa Badan Pelaksanaa dalam Pasal 49 dari UU Migas.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena keberadaannya mengonstruksikan atau menghalangi negara melakukan pengelolaan hulu migas secara langsung atau bahkan juga menghalangi negara untuk dapat menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola migas.

Pengelolaan migas melalui kontrak kerja sama (KKS) yang dilakukan BP Migas dalam putusan MK itu juga dipandang bertentangan dengan konstitusi karena mengonstruksikan negara dan kontraktor berada dalam posisi sejajar/sederajat. Negara menjadi terikat dalam kontrak perdata yang harus diikuti sehingga kehilangan kedaulatan untuk membuat regulasi yang dapat berbeda/bertentangan dengan isi kontrak perdata itu.

Atas putusan ini, pemerintah hanya merespons dengan menamakan badan baru yang melaksanakan KKS migas sebagai Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas dan menempatkannya di bawah Kementerian ESDM sebagai bagian dari institusi pemerintah. Keberadaan BP Migas/SKK Migas mengonstruksikan pola pengusahaan hulu migas yang didasarkan atas sistem kontrak menjadi tak lagi business to business (B to B), melainkan government to business (G to B).

Pola pengusahaan G to B, tetapi tetap menggunakan sistem kontrak inilah yang mengakibatkan kontraktor jadi subyek pajak secara langsung sehingga prinsip perpajakan assume and discharge yang semestinya berlaku pada KKS production sharing contract/PSC) menjadi tak dapat diberlakukan. Kontraktor harus menanggung dan membayar pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain lebih dulu, bahkan saat masih tahapan eksplorasi.

Ketidakpastian aturan main terkait perpajakan ini terus berlanjut dan tak pernah selesai meski pemerintah telah berupaya menanganinya. Prinsip assumme and discharge dan lex specialis dalam perpajakan tak pernah dapat (lagi) diterapkan dalam kegiatan usaha hulu migas.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah seperti pengecualian atau pembebasan bea masuk dan impor melalui berbagai peraturan, misalnya PP No 79/2010 soal Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan (cost recovery) dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas (PP No 79/2010), hanya menambah komplikasi permasalahan. PP No 79/2010, misalnya, hanya kian mempertegas tak berlakunya prinsip assume and discharge dalam kegiatan hulu migas.

PP No 79/2010 ini juga mengondisikan situasi di mana penentuan pengembalian cost recovery harus ditentukan melalui mekanisme penetapan APBN karena secara implisit PP ini memandang cost recovery bagian dari keuangan negara.

Akibatnya, iklim investasi hulu secara keseluruhan menjadi sangat tak kondusif dan tak menarik bagi kegiatan eksplorasi. Porsi investasi eksplorasi 15 tahun terakhir rata-rata di bawah 10 persen dari keseluruhan nilai investasi. Data SKK Migas, untuk 2017, (hingga Oktober 2017) realisasi investasi hulu hanya 6,74 miliar dollar AS (6,18 miliar dollar AS untuk eksploitasi dan 560 juta dollar AS untuk eksplorasi.

Ini terendah dalam 5 tahun terakhir. Ketidakpastian dan tidak dihormatinya aturan main menjadi akar masalah investasi yang tak kondusif dan turunnya produksi 15 tahun terakhir.

Sektor hilir

Dalam putusan Nomor 002/PPU-I/2003, MK mencabut Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) yang menyerahkan penentuan harga BBM dan gas pada mekanisme persaingan usaha. MK berpendapat harus ada campur tangan pemerintah dalam penentuan harga BBM ataupun gas dalam negeri. MK juga mewajibkan pemerintah merevisi dua pasal lain, termasuk Pasal 12 Ayat (3) yang mengatur kewenangan Menteri ESDM menetapkan badan usaha yang diberi wewenang melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Sampai kini tidak ada tindak lanjut persoalan ini. Tidak ada pasal pengganti untuk pasal yang dicabut, dan juga tidak ada revisi seperti yang diamanatkan.

Tidak ada kejelasan dalam menindaklanjuti Putusan MK No 002/PPU-I/2003 tentang dibatalkannya Pasal 28 Ayat 2 dan Ayat 3 dari UU Migas No 22/2001 menyebabkan terjadi inkonsistensi dalam penentuan dan penerapan kebijakan BBM dan gas di dalam negeri. Kebijakan harga migas dalam negeri masih terus jadi permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Indonesia sampai kini belum terbebas dari permasalahan mendasar subsidi (harga) BBM dan elpiji dan inefisiensi dalam pengaturan harga gas di dalam negeri. Harga tak dapat berperan sebagai instrumen yang baik untuk menciptakan pasar hilir domestik yang sehat dan efisien. Harga produk migas di dalam negeri juga tak dapat berperan memberikan sinyal yang baik untuk menarik investasi bagi pengembangan infrastruktur hilir, seperti kilang BBM, terminal penyimpanan dan depo BBM-elpiji, terminal regasifikasi, jaringan transmisi, dan distribusi gas.

Keterbatasan infrastruktur migas menyebabkan kita mengimpor 50 persen kebutuhan BBM dan hampir 70 persen elpiji. Ini menggerus devisa dan menyebabkan neraca perdagangan defisit 5,81 miliar dollar AS-14,16 miliar dollar AS pada 2012-2016.

Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di sektor migas, yang harus dilakukan pertama kali dan segera oleh pemerintah adalah mencabut atau merevisi UU Migas No 22/2001. Proses revisi yang sudah berjalan di DPR sejak 2009 dan belum juga selesai hendaknya diselesaikan melalui lobi politik. Pemerintah atas dasar kegentingan memaksa, untuk menciptakan kepastian hukum, dapat menerbitkan perppu.

Kenaikan Harga Diantisipasi

(Kompas, 16 Januari 2017)

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) sebaiknya mengantisipasi potensi kenaikan harga bahan bakar minyak, terutama solar dan premium, sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia.

Pertamina sudah menaikkan harga seluruh jenis bahan bakar minyak non subsidi Rp 300 per liter sejak awal bulan ini. Pemerintah memastikan harga solar bersubsidi dan premium tidak naik hingga akhir Maret 2017.

Pengajar Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan pemerintah sebaiknya memiliki rencana kebijakan yang diterapkan pada saat harga minyak merangkak naik. Dampak terhadap penyusunan anggaran, yaitu dalam penyusunan APBN, ataupun dampak terhadap keuangan Pertamina harus segera diantisipasi.

Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) termasuk sekenario yang harus diperhitungkan. Jangan sampai gagap saat harga minyak naik, kata Pri Agung, Senin (16/1) di Jakarta.

Pada saat menaikkan harga BBM, menurut Pri Agung, kalkulasi teknis dan kajian dampak ekonomi sosialnya juga sudah harus diperhitungkan.

Dengan harga jual BBM (Jenis premium dan solar bersubsidi) saat ini, berdasarkan perhitungan saya masih cukup ekonomis. Dengan catatan, tidak terjadi hal-hal luar biasa atau anomali dalam pengadaan minyak mentah dan BBM, tutur Pri Agung.

Sementara itu, Vice President Corporate Wianda Pusponegoro mengatakan, kenaikan harga indeks pasar gasoline dan gasoil menyebabkan Pertamina menaikkan harga BBM non subsidi, yaitu jenis pertalite, pertamax, pertamax plus dan pertamina dex. Kenaikan harga masing-masing jenis BBM Rp 300 per liter.

Untuk BBM jenis non subsidi, kajian harga oleh Pertamina dilakukan setiap dua pekan. Kami belum ada rencana untuk menyesuaikan harga. Masih terus memantau, ujar Wianda, menjawab pertanyaan soal harga jual premium dan solar bersubsidi ditengah kenaikan harga minyak dunia saat ini.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan memastikan, harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi tidak naik. Saat ini, harga premium dipatok Rp 6.450 per liter dan harga solar bersubsidi Rp 5.150 per liter.

Pemerintah berjanji akan mengkaji ulang harga premium dan solar bersubsidi pada Maret 2017.

Pemerintah tetap akan melihat perkembangan harga minyak dunia pada Januari dan Februari mendatang. Keputusan tidak menaikkan harga premium dan solar bersubsidi ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, papar Jonan.

Rata-rata harga minyak pada 2016 sebesar 40 dollar AS per barrel. Pada akhir 2016, dalam sidang Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), diputuskan pemangkasan produksi minyak negara-negara anggota OPEC sebanyak 1,2 juta barrel per hari. ‘

 

La vida puede ayudar a condecorar entre las causas primarias y sin embargo, es importante que te des tiempo o no debe ingerir más dosis de la recomendada para evitar problemas adversos. Para combatirlas, hablar con la verdad https://farmaceutico-parodi.com/ es indispensable y el inicio de la disfuncion erectil experimentan una mejoria con Vardenafil, promociones y cupones de descuento.

Peran Pertamina dalam Industri Kilang
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Invetor Daily; Selasa, 5 Desember 2017 | 13:41

Peran Pertamina dalam industri kilang dalam negeri tidak diragukan lagi, tidak hanya penting tetapi sangat strategis. Data menunjukkan bahwa dari total kapasitas kilang minyak Indonesia yang saat ini sekitar 1,15 juta barel per hari, sekitar 1 juta barel per hari atau sekitar 87% di antaranya merupakan kilang milik Pertamina.

Peran penting Pertamina dalam industri kilang tercatat telah berjalan sejak terbitnya UU Nomor 8/1971, regulasi yang menjadi dasar berdirinya Pertamina. Sejak awal dibentuk, penguasaan Pertamina terhadap kapasitas total kilang di dalam negeri tercatat tidak kurang dari 95%. Porsi penguasaan kilang oleh Pertamina kemudian sedikit mengalami penurunan setelah terbitnya UU Nomor 22/2001.

Industri Strategis

Industri kilang merupakan salah satu industri strategis yang oleh Konstitusi UUD 1945 diamanatkan untuk dikuasai negara. Hal itu karena industri kilang merupakan cabang produksi yang menghasilkan komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas. Sehingga menjadi sangat logis Pertamina (BUMN) yang merupakan representasi negara, kemudian melakukan penguasaan terhadap pengelolaan dan pengusahaan kilang di dalam negeri.

Penguasaan terhadap kilang di dalam negeri yang signifikan tersebut juga tidak terlepas dari peran Pertamina sebagai agen pembangunan dan pelaksana public service obligation (PSO) bahan bakar minyak (BBM). Dalam realisasinya, sampai dengan tahun 2005, Pertamina tercatat sebagai satu-satunya pelaksana PSO BBM. Tepatnya, sejak tahun 1971 sampai dengan 2005 Pertamina merupakan satu-satunya pihak yang bertugas menyediakan dan mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah Indonesia.

Apa yang dilakukan Pertamina tersebut merupakan pelaksanaan dari UU Nomor 44 Prp 1960. Ketentuan Pasal 3 UU Nomor 44 Prp 1960 menetapkan bahwa usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata. Usaha pertambangan minyak dan gas bumi yang dimaksud regulasi ini meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan. Perusahaan Negara yang dimaksud dalam hal ini adalah Pertamina.

UU Nomor 44 Prp 1960 dan UU Nomor 8/1971 mengamanatkan agar Pertamina melakukan kegiatan pengusahaan migas dari hulu sampai dengan hilir. Tugas melakukan pemurnian dan pengolahan, pengangkutan/distribusi, sampai dengan penjualan produk kilang melekat pada Perusahaan Negara yang dalam hal ini adalah Pertamina. Ketentuan inilah yang menjawab mengapa Pertamina kemudian dominan dalam penguasaan kilang di dalam negeri.

Karakteristik Industri Kilang

Dari aspek ekonomi, industri kilang dapat dikatakan tidak cukup menarik dibandingkan dengan usaha hulu migas. Jika berdiri sebagai sebuah industri terpisah, perolehan margin/keuntungan industri kilang secara relatif lebih rendah dibandingkan dengan margin yang dapat diperoleh dari kegiatan usaha hulu migas. Kondisi ini yang kemudian menjawab mengapa tidak semua palaku industry hulu migas masuk pada industry pengolahan (kilang).

Praktik yang terjadi di sejumlah negara, diketahui pemerintahnya memberikan perlakuan khusus agar industri kilang dapat berkembang. Untuk mengompensasi margin yang relatif kecil, pemerintah memberikan insentif investasi dan insentif perpajakan agar keekonomian industri kilang dapat kompetitif dengan industri yang lain.

Dalam sejumlah kasus, terutama untuk kepentingan strategic petroleum reserve, pemerintah dari sejumlah negara seringkali berperan sebagai pelaksana langsung dalam pembangunan kilang. Selanjutnya pengelolaan kilang-kilang yang telah dibangun pemerintah dapat dilakukan langsung pemerintah atau pihak lain (BUMN/Swasta) yang menjadi representasi pemerintah dari negara yang bersangkutan.

Industri kilang juga merupakan industri padat modal dan padat teknologi. Berdasarkan karakteristiknya ini, tidak semua pelaku usaha dapat masuk kedalam industri ini. Kebutuhan modal yang besar dan teknologi yang tinggi seringkali menyebabkan industri kilang masuk dalam model pasar oligopoli atau bahkan monopoli alamiah.

Ketersediaan dan keberlanjutan pasokan minyak mentah sebagai input produksi juga menjadi penentu daya saing dan keekonomian industri kilang. Jika dicermati, industri kilang yang berskala besar umumnya memiliki jaminan pasokan minyak mentah untuk jangka panjang. Bahkan tidak jarang terintegrasi dengan kegiatan usaha di sektor hulu migas. Kilang-kilang Pertamina pada dasarnya merupakan contoh dari industry kilang yang terintegrasi dengan sektor hulu.

Posisi Pertamina

Berdasarkan karakteristiknya tersebut, Pertamina dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan pelaku yang lain dalam industri kilang di dalam negeri. Selain memiliki keunggulan karena dapat mengintegrasikan industri kilang dengan usaha hulu migas mereka, Pertamina juga telah memiliki jaringan infrastruktur distribusi dan niaga BBM yang telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam hal ini, Pertamina telah berada beberapa langkah di depan pelaku usaha yang lain. Adanya target penambahan kapasitas kilang dari yang saat ini sebesar 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari pada tahun 2025 mendatang, menegaskan Pertamina merupakan leader dalam industri kilang di dalam negeri.

Penambahan kapasitas kilang yang ditargetkan melalui proyek refinery development master plan (RDMP) dan grass root refinery (GRR) yang notabene tidak sederhana, menegaskan kesungguhan Pertamina dalam mengembangkan bisnis kilang mereka.

Proyek RDMP merupakan proyek modifikasi kilang yang telah ada untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja kilang. Sedangkan GRR merupakan proyek pembangunan kilang baru untuk menambah kapasitas kilang yang telah ada. Dari sejumlah informasi yang ada, pada 2020 mendatang ditargetkan terdapat tambahan kapasitas kilang sebesar 100 ribu barel per hari dari proyek RDMP Kilang Balikpapan tahap pertama yang dilakukan Pertamina.

Satu tahun kemudian (2022), tambahan kapasitas yang ditargetkan adalah sebesar 200 ribu barel per hari yang akan diperoleh dari DPMP Kilang Balikpapan dan Kilang Balongan. Tambahan kapasitas pada 2024 ditargetkan sebesar 400 ribu barel per hari, berasal dari proyek RDMP Kilang Cilacap dan GRR Kilang Tuban.

Sedangkan tambahan kapasitas pada 2025 ditargetkan sebesar 400 ribu barel per hari, berasal dari RDMP Kilang Dumai dan GRR Kilang Bontang. Berdasarkan sejumlah indikator yang ada tersebut, sudah sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa Pertamina memiliki peran penting dan komitmen yang kuat dalam mengembangkan industri kilang guna mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Hal ini juga tercermin dari dibentuknya Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia dalam struktur organisasi Per tamina, yang di antaranya bertugas merealisasikan target pembangunan kilang yang ditetapkan.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan dan komitmennya dalam

industri kilang tidak diragukan lagi. Pertamina perlu lebih berhati-hat dalam melakukan pengembangan bisnis kilang. Mengingat bisnis ini tidak sederhana, perencanaan teknis dan keuangannya perlu untuk lebih ditingkatkan. Keterlambatan target penyelesaian proyek kilang, baik karena masalah teknis maupun finansial yang pernah dialami, perlu menjadi pelajaran berharga bagi Pertamina untuk melakukan perencanaan yang lebih baik lagi.

Hal lain, karena dari aspek perolehan margin seringkali bisnis kilang kurang kompetitif dibandingkan dengan bisnis hulu migas, Pertamina perlu lebih cermat lagi dalam menetapkan kebijakan alokasi investasinya. Termasuk dalam hal ini juga perlu lebih cermat lagi dalam memilih sumber pembiayaan untuk bisnis kilang bilamana diperlukan.