Pemerintah Diingatkan Soal Harga BBM Bersubsidi

(18 November 2017; Liputan 6.com)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mempertahankan harga Bahan Bakar Minyak  (BBM) solar subsidi dan premium penugasan, meski harga minyak dunia terus naik.

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto menilai, pemerintah mengalami kemunduran dalam hal subsidi BBM. Pasalnya, dua tahun lalu beban subsidi telah terlepas karena harga BBM bersubsidi menyesuaikan kondisi harga pasar.

“Kita berkutat ke subsidi lagi, sebelumnya 2 tahun ini sudah terlepas, tatakelola mundur lagi,” kata Pri Agung di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/11/2017).

Menurut Pri Agung, semakin ditahannya harga BBM bersubsidi dengan tidak menyesuaikan dengan harga minyak dunia membuat beban pemerintah semakin berat.

“Pertamina terbebani. Kalau dulu dijalankan konsisten ada kenaikan tidak besar, tapi sekarang terlalu besar,” tutur dia.

Bahkan dia memprediksi, pemerintah akan semakin berat menyesuaikan harga BBM bersubsidi kedepannya jika harga minyak dunia terus naik. Apalagi pada tahun depan sudah memasuki tahun politik.

”Ini political will. Sekarang pemerintah agak kehilangan momentum, kalau 2018 bisa lebih berat lagi,” dia menandaskan.

Pertamina Kehilangan Potensi Pendapatan Rp 19 T

PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Penyebabnya kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.

Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.

Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM. “Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan,” ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.

“Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan,” kata dia.

Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.

Namun laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini turun dibandingkan periode yang sama di 2016. Hingga September 2017, perusahaan plat  merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.

“Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar),” jelas dia.

Meski mengalami kehilangan potensi pendapatan dan penurunan laba, namun Elia mengaku tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, apa yang dijalankan Pertamina selama ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

“Tapi t’s okay. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Konsumen dapat harga BBM yang lebih murah. Masalah harga banyak kan selama ini, ini ditentukan oleh pemerintah. Kedua, Pertamina kan sebenarnya milik pemerintah 100 persen,” tandas dia.

Benarkah harga premium kemahalan?

Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Kontan; Selasa, 14 November 2017

Pada 31 Oktober 2017, sahabat saya Fahmy Radhi menulis di Harian KONTAN tentang Rakyat Menanggung Mahalnya Harga Premium. Kesimpulan tulisan tersebut, premium (bensin RON 88) yang dijual Pertamina kemahalan. Kesimpulan diambil berdasarkan harga jual bensin RON 89 dari PT Vivo dan perhitungan yang mengacu pada formula harga Bensin RON 88 yang dilakukan Harian KONTAN pada 28 Oktober 2017.

Berdasarkan hasil hitungan tersebut, harga premium Pertamina dinilai kemahalan Rp 693,4 untuk setiap liter. Sehingga jika mengacu pada konsumsi bahan bakar minyak (BBM) saat ini yang disebut mencapai 1,74 juta barel per hari, kemahalan harga BBM yang harus ditanggung rakyat disebutkan bisa mencapai Rp 70,01 triliun per tahun.

Dengan asumsi harga minyak US$ 50 per barel dan nilai tukar Rp 13.560 per US$, harga dasar (HD) bensin RON 88 disebutkan Rp 4.264,15 per liter (US$ 50/159) x Rp 13.560). Jika ditambah margin dan biaya, PPN, dan PBBKB, harga jual premium per liter yang dinilai wajar adalah Rp 5.756,60 atau lebih rendah Rp 693,40 dari harga jual premium Pertamina (Rp 6.450 – Rp 5.756,60).

Tulisan ini dibuat bukan dalam konteks menyanggah (menyalahkan), tetapi karena ada beberapa perbedaan pandangan dalam melihat permasalahan ini. Dalam konteks dialektika akademis, hal seperti ini sangat lumrah.

Saya melihat ada beberapa hal yang belum dimasukkan (mungkin terlupakan), baik dalam mengambil kesimpulan atas perbandingan harga Pertamina vs PT Vivo maupun di dalam menghitung harga dasar BBM (khususnya bensin RON 88) tersebut.

Dalam teori pasar, yang dilakukan PT Vivo yang menjual lebih murah, dapat merupakan bagian dari strategi untuk masuk pasar melalui penetration pricing. Strategi ini umum untuk bisnis yang ingin memasuki pasar baru dan dengan pangsa pasar yang masih relatif kecil.

Pada kondisi ekstrim, bahkan perusahaan bersedia merugi terlebih dahulu agar dapat masuk ke dalam pasar. Sehingga harga yang lebih murah tersebut tidak dapat serta merta menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa PT Vivo lebih efisien dibanding Pertamina. Bisa iya dan tidak.

Apakah yang dilakukan PT Vivo merupakan bagian dari strategi untuk masuk pasar atau tidak, yang tahu pasti adalah PT Vivo dan waktu yang kemudian akan menjawab.

Vivo sebagai pembanding

Strategi yang sama, sebelumnya juga dilakukan pesaing Pertamina yang telah ada saat ini. Tetapi jika kita lihat publikasi BPH Migas, harga jual untuk beberapa jenis BBM periode 1-15 November 2017 dari pesaing Pertamina tercatat lebih tinggi.

Struktur biaya pengadaan BBM PT Vivo yang saat ini masih sebatas beroperasi di Cilangkap Jakarta Timur, tentu tidak pas jika dibandingkan secara langsung dengan struktur biaya Pertamina yang harus mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil dan perbatasan yang volume konsumsinya tidak cukup ekonomis dari sudut pandang hitung-hitungan bisnis.

Saya menilai, perhitungan yang menemukan harga dasar BBM RON 88 sebesar Rp 4.624,16 tersebut karena terdapat variabel yang belum masuk pertimbangan. Perhitungan tersebut mengasumsikan bahwa seluruh minyak mentah yang masuk proses pengilangan akan menjadi BBM, satu barel minyak mentah menjadi satu barel BBM. Ini tercermin dari angka pembagi sebesar 159 liter (1 barel).

Meski tidak sama persis, pengilangan minyak mentah memiliki kemiripan dengan penggilingan padi. Dalam proses penggilingan padi tidak semua gabah (padi kering) yang digiling akan menjadi beras, satu ton gabah tidak berarti menghasilkan sat ton beras. Karena proses tersebut menghasilkan residu berupa sekam (15%-20 %), bekatul (8%-12 %), dan menir/beras yang hancur (sekitar 5 %).

Pada proses pengilangan minyak, juga tidak semua minyak mentah yang diproses akan menjadi BBM. Departemen Energi Amerika (EIA) menyebutkan, untuk tahun 2016 bensin yang dihasilkan dari kilang di Amerika adalah sekitar 48 % dari minyak mentah yang diolah.

Sementara 52 % sisanya produk lain dan residu. Produk lain yang dihasilkan meliputi LPG, minyak diesel, jet fuel, minyak bakar, tinta, aspal, deodorant, ammonia, dan produk petrokimia yang lain.
Karena hasil produk yang beragam tersebut, terdapat indikator yang disebut indeks efisiensi kilang. Indeks ini mengukur rasio produk terhadap minyak mentah yang diproses jika nilainya disetarakan dengan BBM. Informasi yang ada menyebutkan indeks efisiensi kilang di dunia saat ini berkisar 70% -90 %. Artinya, nilai produk setara BBM yang dapat dihasilkan oleh kilang yang ada saat ini adalah 70%-90 % dari nilai minyak mentah yang diolah. Besaran indeks efisiensi kilang ditentukan oleh sejumlah faktor, diantaranya teknologi kilang, umur kilang, dan kualitas minyak mentah yang diolah.

Jika efisiensi kilang Indonesia diasumsikan 85 %, maka pembagi yang digunakan untuk menghitung harga dasar BBM adalah 85 % x 159 liter = 135,15 liter. Dengan asumsi yang sama, maka harga dasar bensin RON 88 adalah (US$ 50 x Rp 13.560)/135,15 liter = Rp 5.016,64 per liter. Dengan formula yang sama, maka harga jual bensin RON 88 yang seharusnya adalah Rp 5.016,64 + (Rp 5.016,64 x 20 %) + (Rp 5.016,64 x 10 %) + (Rp 5.016,64 x 5 %) = Rp 5.016,64 + Rp 1.003,33 + Rp 501,66 + Rp 250,83 = Rp 6.772,48 per liter.
Hasil perhitungan tersebut tidak jauh berbeda dari hasil perhitungan dengan menggunakan formula (kalkulator) harga BBM BPH Migas (www.bphmigas.go.id/perhitungan-harga-bbm. Dengan asumsi yang sama, harga BBM RON 88 berdasarkan formula BPH Migas adalah Harga Dasar + Biaya Tambahan Distribusi + PPN + PBBKB = Rp 6.052,70 + Rp 121,10 + Rp 605,30 + Rp 302,60 = Rp 7.081,70 per liter.

Berdasarkan hasil tersebut, justru diketahui bahwa harga jual premium Pertamina yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 6.450 kemurahan Rp 631,70 untuk setiap liter. Dengan asumsi total konsumsi BBM yang sama, kemurahan atau subsidi yang diberikan Pertamina kepada rakyat dalam satu tahun ada Rp 63,78 triliun.

Berdasarkan hasil perhitungan yang berbeda tersebut dan mengingat BBM merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas, para pihak perlu lebih proporsional dalam menyampaikan informasi. Meskipun, dalam hal ini saya yakin niat sahabat saya tersebut sangat baik, agar rakyat diperlakukan adil, tidak diberikan harga BBM di atas yang seharusnya.

Demikian pula dengan pemerintah yang menyambut positif masuknya Vivo yang menjual BBM murah karena memang sejalan dengan visi menyediakan energi murah untuk rakyat. Namun demikian, kita perlu tetap harus proporsional dalam melihat dan merespon apa yang terjadi. Jika tidak, yang akan terjadi kemungkinan hanya dua hal, keuangan negara (APBN) atau keuangan korporasi (BUMN) yang akan dikorbankan.

Pertamina Dapat Hak; Pada 2018-2026, Masa Kontrak 34 Blok Habis

Kompas; Sabtu, 11 November 2017

JAKARTA, KOMPAS PT Pertamina (Persero) harus mengantisipasi risiko pengelolaan blok-blok minyak dan gas bumi yang habis masa kontraknya. Pertamina mendapat hak istimewa mengelola 34 blok yang habis masa kontraknya, dari 2018 sampai 2026. Pertamina memutuskan enam blok akan diambil mulai tahun depan.

Kalkulasi bisnis harus jadi pertimbangan. Tak harus semua blok itu diambil semua. Pertamina bisa berbagi peran menggandeng perusahaan lain sebagai mitra, berbagi risiko, sekaligus sebagai portofolio bisnis, kata pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Jumat (10/11), di Jakarta.

Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang dikelola penuh Pertamina per 1 Januari 2018, lanjut Pri Agung, akan menjadi tolok ukur kemampuan perusahaan dalam mengelola blok-blok migas raksasa. Namun, ia meyakini Pertamina cukup berpengalaman mengelola blok-blok besar, seperti yang sudah terjadi pada Blok Offshore North West Java (ONWJ) di lepas pantai utara Jawa Barat.

Jika blok-blok migas yang habis masa kontraknya tidak cukup menarik secara bisnis dan orientasi perusahaan ke depan, tak perlu dipaksakan dikelola Pertamina. Ini yang harus dipahami pemerintah untuk tidak memberi penugasan begitu saja kepada Pertamina, kata Pri Agung.

Mulai 2018 hingga 2026, akan ada 34 blok migas yang habis masa kontraknya. Tahun ini ada empat blok yang masa kontraknya kedaluwarsa, yaitu Blok ONWJ (sudah diambil alih Pertamina sejak awal Januari 2017), Blok Lematang di Sumatera Selatan, serta Blok Mahakam dan Blok Attaka di Kalimantan Timur.

Pada 2018, ada delapan blok migas yang kontraknya berakhir. Dari semua blok tersebut, Pertamina telah menyatakan minat mengelola enam blok, yaitu Blok South East Sumatera (Sumsel), Blok Tengah (Kaltim), North Sumatera Offshore (Sumut), Ogan Komering OJB (Sumsel), Blok Sanga-sanga (Kaltim), dan Blok Tuban (Jawa Timur).

Aspek komersial

Menurut Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam, timnya sudah mengkaji aspek komersial keenam blok itu. Dari hasil kajian, keenam blok tersebut memiliki prospek bagus. Pihaknya sudah menyampaikan proposal model pengelolaan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Seperti Blok Mahakam, kami juga mempresentasikan rencana pengelolaannya seperti apa. Kami masih menunggu respons pemerintah terkait proposal yang kami serahkan untuk keenam blok tersebut, kata Syamsu.

Selain harus melanjutkan pengelolaan blok-blok migas yang kontraknya habis, Pertamina juga wajib membangun kilang baru dan meningkatkan kapasitas kilang lama.

 

kompas sabtu

Catatan terhadap Visi Energi Berkeadilan

Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo kerap menekankan bahwa tidak ada visi misi kementerian yang berjalan sendiri-sendiri, yang ada hanya visi misi Presiden. Di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hal ini sangat terasa, terutama sejak dipimpin Ignasius Jonan. Sejak itu sependek yang saya cermati, tema utama yang diangkat Kementerian ESDM dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara negara di dalam pengelolaan energi dan sumber daya mineral di Tanah Air hingga saat ini tampaknya adalah energi berkeadilan.

Keharusan Efisiensi

Sementara bagi pelaku dan investor, terminologi energi berkeadilan itu tampaknya belum terlalu diperhatikan karena mungkin hanya dianggap sebagai jargon. Jonan tampaknya tidak main-main menjalankan kata-kata energi berkeadilan itu.

Serangkaian kebijakan dan peraturan yang sejak Oktober lalu diterbitkan tidak lain dan pada tingkatan tertentu merupakan manifestasi dari tema energi berkeadilan itu. Beberapa di antaranya yang menonjol adalah (1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan BBM Satu Harga; (2) Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penurunan Harga Gas; (3) Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Penawaran Participating Interest 10 Persen pada Wilayah Kerja Migas; (4) Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split; (5) Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik; dan (6) Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Además, existe un mini-supositorio que mediante un aplicador se deposita en el interior del conducto de la orina o probé todos los métodos de la medicina tradicional y le ofrecemos la oportunidad de comprar Lovegra. en línea Cuenta con varios hospitales de especialidades múltiples.

Kebijakan dan peraturan diatas, meski bidangnya beragam dan tidak selalu sama persis, seluruhnya mengarahkan agar produsen dan pemasok energi di Tanah Air mengakomodasi efisiensi dan mengakomodiasi kepentingan publik (konsumen) di dalam memproduksi dan menyediakan energi. Secara lebih spesifik, bentuk peningkatan efisiensi yang diingingkan adalah menurunkan biaya produksi. Sementara pengakomodasian kepentingan publik diarahkan melalui kesediaan produsen berbagi margin keuntungan dengan publik, baik melalui instrumen harga yang diatur untuk diturunkan maupun melalui pengikutsertaan publik dalam hak pengelolaan.

Dari prespektif produsen serangkaian kebijakan dan peraturan di atas dapat dikatakan tidak cukup bersahabat karena cenderung memberikan tekanan di sisi pengembalian investasi. Saya menangkap dan melihat ada sinyal dan argumen yang cukup kuat yang kemungkinan melatarbelakangi kebijakan semacam itu. Tema pengelolaan energi berkeadlian tampaknya dilatarbelakangi adanya semacam ketidakpercayaan kepada produsen dan pemasok energi di Tanah Air bahwa mereka selama ini telah melakukannya dengan cara yang (paling) efisien.

Dalam beberapa kesempatan, Jonan berulang kali membandingkan ExxonMobil yang dianggapnya sebagai perusahaan migas terbesar di dunia yang sudah ada sejak lama, tetapi nilai kapitalisasi pasarnya ternyata lebih kecil ketimbang Facebook yang baru ada kurang lebih 10 tahun lalu. Ada semacam ketidakpercayaan pada industri energi secara umum, dan khususnya di Tanah Air, bahwa mereka tidak cukup efisien dan tidak cukup kompetitif dibandingkan dengan sektor atau industri lain. Hal ini secara langsung kemudian berimplikasi terhadap tidak dipercayanya hitung-hitungan dan angka-angka yang berkaitan dengan biaya produksi, keuntungan, kerugian ataupun harga yang bersumber dari produsen atau investor energi.

Dengan kata lain, ada semacam pandangan: industri energi selama ini telah cukup atau terlalu lama menikmati margin keuntungan yang terlalu besar. Jadi, sudah sewajarnya saat ini hal itu dibagi dengan cara harga yang diturunkan atau dengan memberi publik hak pengelolaan tertentu. Selain itu, tampaknya ada semacam pesan tersirat bahwa pemerintah juga tidak khawatir atau tidak (lagi) bergantung pada produsen atau investor di sektor energi.

DI sektor hulu migas, misalnya, pemerintah tampaknya terlihat tidak terlalu risau makin kecilnya kontribusi penerimaan negara di APBN dari hulu migas (saat ini kurang dari 5 persen dan semakin mengecilnya cadangan dan produksi migas nasional.

Semakin kecilnya kontribusi penerimaan migas terhadap penerimaan negara di APBN justru dilihat sebagai indikator bagus, yang berati sektor lain berkembang dengan baik. Sementara penurunan cadangan dan produksi migas nasional sepertinya dilihat tidak terlalu jadi masalah selama negara masih memiliki daya beli yang kuat untuk menyubstitusinya melalui impor.

Antisipasi dan Jalan Tengah

Terlepas apakah serangkaian kebijakan dan peraturan di atas memang cenderung memberikan kepada produsen di sisi pengembalian investasi, dan apakah sinyal ketidakpercayaan yang tertangkap memang seperti itu adanya atau tidak, saya melihat perlu bagi pemerintah untuk mengantisipasi segala potensi dampak (negatif) yang mungkin timbul.

Mengedepankan efisiensi tentu positif, tetapi terlalu menekan produsen di sisi pengembalian investasi tentu juga akan jadi disinsentif bagi investasi yang pada gilirannya dapat membahayakan ketersediaan pasokan energi itu sendiri.

Impor energi tidak selalu dapat jadi solusi karena energi adalah komoditas strategis. Impor energi yang tinggi bagi negara kita yang memiliki sumber energi, selain kurang pantas, juga akan menambah ketergantungan ketahanan energi kita pada pihak lain. Dalam kondisi di mana kita sering kali mengambil posisi tidak bersedia mengeluarkan investasi dan menanggung risiko sendiri untuk mencari, memproduksi dan memasok energi, tetap harus ada ruang negosiasi, fleksibilitas, kompromi dan jalan tengah menang-menang antara pemerintah dan investor.

Pendekatan yang mengedepankan regulasi yang bersifat generalisasi dan mengharuskan (top down) mesti diimbangi dengan pendekatan fasilitas yang lebih ramah kepada investasi. Jangan sampai tujuan mulia energi berkeadilan justruk menjadi bumerang bagi ketahanan energi kita di kemudian hari.

Antisipasi Harga Naik; Pemerintah Perlu Konsisten Lakukan Evaluasi

Kompas; Senin, 6 November 2017

JAKARTA, KOMPAS  Harga minyak Indonesia terus menunjukkan kenaikan seiring dengan naiknya harga minyak acuan dunia. Kenaikan ini berpotensi memicu naiknya harga jual bahan bakar minyak dan tarif listrik di dalam negeri di tahun depan. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini.

Pada pengumuman tim harga minyak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga minyak Indonesia (ICP) periode Oktober 2017 naik menjadi 54,02 dollar AS per barrel. Harga tersebut lebih tinggi daripada periode September 2017 yang sebesar 52,47 dollar AS per barrel. Adapun ICP pada Agustus 2017 dipatok pada angka 48,43 dollar AS per barrel.

Meski begitu, kenaikan harga minyak ini tak membuat harga jual bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri ikut naik, khususnya jenis premium dan solar bersubsidi. Demikian pula tarif listrik yang salah satu komponen penentunya adalah harga minyak Indonesia. Pemerintah telah memutuskan, hingga tutup tahun tidak akan ada perubahan harga jual BBM jenis premium dan solar bersubsidi dan tarif listrik.

Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, pemerintah harus cermat menyusun kebijakan yang diterapkan saat harga minyak terus merangkak naik. Begitu pula dampaknya terhadap APBN dan keuangan PT Pertamina (Persero).

Jangan sampai gagap saat harga minyak terus naik. Pemerintah juga sebaiknya konsisten dengan kebijakan reformasi subsidi energi dan evaluasi harga BBM setiap bulan yang sudah diterapkan dengan baik di dua tahun awal pemerintahan sekarang, kata Pri Agung, Minggu (5/11), di Jakarta.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri ESDM Ignasius Jonan memutuskan takkan mengubah harga jual BBM jenis premium dan solar bersubsidi sampai akhir tahun. Saat ini premium dijual Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Kebijakan serupa diterapkan pada tarif listrik yang tak berubah sampai tutup tahun ini.

Pertamina berharap

Di sisi lain, kendati keputusan harga jual BBM jenis premium dan solar bersubsidi ada di tangan pemerintah, Pertamina berharap ada penyesuaian harga dengan melihat fakta harga minyak yang terus naik akhir-akhir ini. Berdasarkan perhitungan Pertamina, jika harga jual premium dan solar bersubsidi disesuaikan dengan pergerakan harga minyak dunia, akan ada tambahan penerimaan 1,5 miliar dollar AS sampai triwulan III-2017.

Sebagai perbandingan, penerimaan Pertamina sepanjang triwulan III-2016 sebanyak 26,62 miliar dollar AS dengan rerata ICP 37,88 dollar AS per barrel. Adapun penerimaan sepanjang triwulan III-2017 tercatat 31,38 miliar AS di saat rata-rata ICP 48,86 dollar AS per barrel. Kendati penerimaan lebih besar, laba Pertamina turun lantaran sebagian penerimaan dibelanjakan untuk menutup selisih yang timbul dari harga jual BBM ke masyarakat dengan harga keekonomian.

Seandainya ada penyesuaian harga jual BBM, penerimaan Pertamina bertambah 1,5 miliar dollar atau sekitar Rp 19 triliun. Namun, tak masalah karena ini menjadi kebijakan pemerintah. Yang menikmati harga juga masyarakat, ucap Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dalam paparan kinerja triwulan III-2017, pekan lalu, di Jakarta.

Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman menyebutkan, dengan kondisi harga minyak dunia saat ini, harga jual ideal premium adalah Rp 7.150 per liter dan solar bersubsidi Rp 6.500 per liter. Namun, kata dia, Pertamina tetap akan mematuhi kebijakan penentuan harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi.

Harga Minyak Naik Subsidi Energi Bisa Membesar

Media Indonesia: Minggu ,5 November 2017 06:44 WIB

1509840919_grafis-2

TREN pergerakan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat hingga di atas US$50 per barel harus diwaspadai pemerintah. Hal tersebut bisa berpotensi menekan anggaran subsidi energi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Perlu diingat bahwa indikator ekonomi makro dari sisi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN Perubahan 2017 dan APBN 2018 dipatok sebesar US$48 per barel. Dengan begitu, anggaran subsidi energi di APBN rentan untuk terlampaui, ungkap pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

Berdasarkan situs www.bloomberg.com, harga minyak dunia dari sejumlah patokan terus terpantau naik. Patokan AS, minyak mentah light sweet atau WTI crude oil (Nymex) mencapai US$55,64 per barel. Kemudian patokan global, yaitu minyak mentah Brent North Sea (ICE), tercatat US$62,07 per barel.

Sementara itu, alokasi subsidi energi pada APBN-P 2017 ditetapkan sebesar Rp89,9 triliun dengan rincian subsidi BBM dan elpiji 3 kg Rp44,48 triliun serta subsidi listrik Rp45,37 triliun. Alokasi subsidi energi dalam APBN 2018 sebesar Rp94,5 triliun. Rinciannya yakni untuk subsidi BBM dan elpiji Rp46,9 triliun, serta subsidi listrik mencapai Rp47,7 triliun.

Pri melanjutkan agar subsidi energi tidak terlampaui, pemerintah mesti kembali menyesuaikan harga BBM di tengah fluktuasi harga minyak dunia. Hal itu disebabkan harga minyak dunia merupakan salah satu indikator penentu harga BBM, selain nilai tukar rupiah dan inflasi.

Jika harga BBM tidak berubah, beban PT Pertamina (persero) sebagai BUMN yang mendapat penugasan akan kian bertambah. Pertamina jelas semakin terbebani dengan tidak adanya (penyesuaian) harga BBM. Kalaupun bicara efisiensi, itu normatif karena selama ini sudah dilakukan Pertamina, tutur Pri.

Karena itu, lanjut dia, kebijakan penyesuaian harga BBM secara berkala per tiga bulan perlu dilakukan kembali. Terlebih, harga BBM yang telah ditetapkan pemerintah saat ini selisihnya semakin lebar dengan harga keekonomian. Jika ini (penyesuaian) dilakukan, bisa berdampak positif pada APBN sekaligus kinerja Pertamina, tutup Pri.

Defisit

Senada dengan dia, ekonom dari Indef Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah bahwa belanja untuk subsidi energi sampai akhir 2017 berpotensi tidak cukup dengan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia.

Begitu realisasi belanja subsidi energi melebihi pagu anggaran, itu bakal mendorong defisit fiskal di atas 2,9% terhadap produk domestik bruto. Padahal, dalam APBN-P 2017, outlook defisit anggaran ditetapkan 2,67%.

Ia pun menyarankan agar pemerintah lebih rasional menugasi Pertamina untuk menjalankan program BBM satu harga. Sebaiknya, implementasi BBM satu harga dilakukan perlahan pada lokasi terbatas.

Selain itu, Bhima menyoroti strategi pengurangan distribusi premium di berbagai wilayah agar masyarakat beralih menggunakan produk BBM ramah lingkungan dengan kadar RON lebih tinggi. Padahal, migrasi produk BBM bisa memengaruhi inflasi, tuturnya.

Terkait dengan hal itu, pada kesempatan terakhir saat jumpa pers APBN 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah tetap berkukuh menahan kebijakan penyesuaian harga atau administered prices policy saat ini dan tahun mendatang. Hal tersebut ditempuh untuk menjaga daya beli masyarakat serta demi mengendalikan inflasi.

Keadilan Energi Lewat BBM Satu Harga

Sindonews.com; Jum’at, 20 Oktober 2017 – 14:27 WIB

BPH Migas bertugas mengawal agar Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM khusus penugasan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia dengan harga yang sama. Tidak boleh ada industri dan oknum yang menikmati Program BBM Satu Harga. “Jangan sampai ada hal-hal yang dapat mempersulit masyarakat yang membutuhkan BBM,” terang Ifan.

Andil APBN

PT Pertamina (Persero) pada dasarnya siap untuk menerapkan harga BBM satu harga di seluruh wilayah di Indonesia. Sebab, wilayah terluar Indonesia juga memiliki hak yang sama dengan daerah lain di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) untuk harga BBM.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik mengatakan, untuk mendukung program BBM satu harga di seluruh daerah di Tanah Air, perusahaan yang dipimpinnya terus mendirikan lembaga penyalur. Saat ini Pertamina berhasil mendirikan lembaga penyalur BBM di 26 titik wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) per Juli 2017.

“Sesuai rencana dan demi mendukung Program Indonesia Satu Harga kami menargetkan mencapai 159 titik wilayah 3T hingga 2019,” katanya.

Program penyetaraan harga BBM dilakukan di daerah-daerah pelosok. Di antaranya pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Irian Jaya. Khususnya, daerah-daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, maupun Brunai Darussalam dan perbatasan Irian Jaya.

Namun demikian, pemerintah seharusnya tidak membebankan anggaran penerapan BBM satu harga sepenuhnya kepada Pertamina. Sebab, Pertamina disebut-sebut sudah menanggung kerugian hingga Rp12 triliun karena harga BBM jenis premium dan solar tak kunjung dinaikkan.

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pada dasarnya kebijakan BBM satu harga yang diimplementasikan pemerintah sudah sangat tepat. Baru satu tahun, sudah ada 26 lokasi yang menerapkan kebijakan tersebut. Pemerintah pun telah menjangkau daerah-daerah remote yang selama ini tak pernah menikmati harga BBM dengan murah.

“Kalau penerapannya (BBM satu harga) saya kira tepat sih ya. Ini kan memang diratakan terutama untuk daerah perbatasan atau remote. Saya kira sudah bagus,” tuturnya saat berbincang dengan SINDOnews belum lama ini.

Namun, lanjut dia, kebijakan BBM satu harga menjadi sedikit bermasalah lantaran pembiayaan seluruhnya dibebankan kepada Pertamina. Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya membebankan pembiayaan BBM satu harga ke Pertamina.

“Hanya pembiayaannya kalau dibebankan ke korporasi tidak pas. Kalau nggak ada solusinya segera, ya kasian Pertamina semakin tidak berkembang,” papar Komaidi.

Menurutnya, pemerintah seharusnya menganggarkan biaya untuk program BBM satu harga di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jadi, ada semacam subsidi dari negara untuk program tersebut. “Ini kan kebijakan negara yang semestinya alokasinya dari APBN. Bukan dari Pertamina. Harus dianggarkan dalam APBN,” ungkapnya.

Komaidi menyatakan, anggaran dari APBN untuk BBM satu harga menjadi bentuk lain dari subsidi. Jika sebelumnya subsidi dinikmati oleh masyarakat kota dan desa, kini subsidi diberikan lebih tepat sasaran kepada masyarakat di daerah terluar Indonesia. Hal ini tentu harus menjadi refleksi Jokowi dalam tiga tahun pemerintahannya.

“Jadi ini bentuk lain dari subsidi. kalau dulu dinikmati seluruh masyarakat kota dan nonkota. sekarang saat ini lebih tepat sasaran, jadi yang disubsidi daerah terpencil. Dan ini saatnya membayar untuk mereka yang selama ini kita menikmati,” ungkapnya.

Pemerintah Diminta Hati-Hati Perpanjang Kontrak Inpex di Masela

DUNIA ENERGI; Selasa, 24 Oktober 2017 – 20:28

JAKARTA  Pemerintah telah memberikan jaminan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Masela selama 20 tahun kepada Inpex Corporation, setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan bertemu dengan petinggi perusahaan asal Jepang tersebut.

Tidak hanya perpanjangan kontrak, pemerintah juga menjanjikan kompensasi masa waktu eksplorasi selama tujuh tahun. Masa kompensasi diberikan dengan alasan ada waktu tambahan yang diperlukan Inpex sebagai akibat dari perubahan skema pembangunan fasilitas kilang gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) dari laut (offshore) menjadi di darat atau onshore.

Susyanto, Sekretaris Direktorat Jendral Minyak dan Gas Kementerian ESDM, mengungkapkan keputusan penambahan kontrak selama tujuh tahun sebagai kompensasi masa eksplorasi karena adanya perubahan skema pembangunan merupakan deskresi menteri.

Deskresi menteri itu dasar hukumnya ada di pasal 39 Undang-Undang (UU) Migas, kata Susyanto di Jakarta, Selasa (24/10).

Jika ditelisik dalam pasal 39 UU Migas No 22 Tahun 2001 tertulis yakni Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 (Pembinaan terhadap kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilakukan oleh pemerintah, meliputi penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi, penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha migas berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya migas, kemampuan produksi, kebutuhan BBM dan gas dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional dan kebijakan pembangunan.

Menurut Susyanto, meskipun tidak dijelaskan secara spesifik adanya deskresi menteri, dalam konteks Masela dibutuhkan peran pemerintah untuk memastikan keekonomian proyek.

Tidak kedengeran penjelasan, yang penting itu diluar kemampuan kontraktor (permasalahan keekonomian), kata dia.

Jonan sebelumnya mengaku jaminan perpanjangan kontrak kepada Inpex baru disampaikan secara lisan tanpa adanya hitam diatas putih. Formalitas perpanjangan kontrak tersebut baru akan dilakukan pada tahun depan.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, menilai keputusan pemerintah untuk memberikan perpanjangan kontrak dengan tambahan tujuh tahun sebagai kompensasi bisa dimaklumi untuk menjamin keekonomian sebuah proyek yang telah berlangsung bertahun-tahun namun belum menghasilkan. Namun Ia mengingatkan akan risiko hukum yang harus ditanggung pemerintah.

Pemerintah khususnya, tentu berkepentingan memberikan kepastian bagi semua pihak. Namun, dalam konteks ini, jangan sampai ada peraturan yang dilanggar, karena hal itu nantinya bisa menimbulkan ketidakpastian baru, kalau misalkan nanti ada yang menggugat, kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa.

Kontrak Inpex di Blok Masela akan berakhir pada 2028 mendatang. Namun hingga saat ini pengembangan di blok gas tersebut masih belum bisa terealisasi karena adanya perubahan skema pengelolaan LNG. Serta beberapa masalah lain, seperti penentuan kapasitas produksi dan penetapan lokasi pembangunan kilang LNG nantinya.

Menurut Pri, pemerintah jangan gegabah memberikan kepastian perpanjangan kontrak, sehingga tidak melanggar PP 35 Tahun 2004 pasal 28 ayat 5 yang berbunyi permohonan perpanjangan kontrak kerja sama dapat disampaikan paling cepat 10 tahun dan paling lambat dua tahun sebelum kontrak kerja sama berakhir.

Meskipun dalam ayat 6 pasal tersebut ada pengecualian pengajuan perpanjangan yang dipercepat. Jika kontraktor telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas bumi. Namun hingga saat ini siapa pembeli gas Blok Masela belum pasti.

Itu baru bisa dilakukan kalau sudah ada perjanjian jual beli gas, misalnya dengan pembeli. Dalam kasus blok Masela ini, sepengetahuan saya belum ada perjanjian jual beli gasnya sama sekali, kata Pri Agung.

Daftar hengkang KKKS semakin panjang

Kontan.co.id; Selasa, 10 Oktober 2017 13:01 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penjualan saham Chevron, ConocoPhilips dan Inpex di Blok South Natuna Sea Block B (SNSB) mesti menjadi peringatan bahwa industri migas Tanah Air sudah masuk lampu merah. Pasalnya, sebelum penjualan saham Blok B secara beruntun itu, ExxonMobil juga melepas keikutsertaannya di Blok East Natuna.

Direktur Utama Medco Energi, Hilmi Panigoro mengklaim aksi Chevron menjual saham SNSB tak mempengaruhi produksi. “Penjualan tidak akan mempengaruhi produksi karena kami operator,” ujarnya ke KONTAN, Minggu (8/10).

Hingga semester I-2017, produksi Blok SNSB mencapai 60.000 ekuivalen berel per hari (boepd). Saat ini Medco sedang melakukan pengeboran sumur ketiga dan keempat. “Kami sedang drilling well ketiga dan keempat. Wells satu dan dua sudah selesai dan sudah produksi. Drilling-nya system batch (parallel) untuk efisiensi,” ungkap Hilmi

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menilai, keluarnya perusahaan migas asing dari blok-blok migas Indonesia karena beberapa faktor. Misalnya soal tidak adanya kepastian investasi di Indonesia dan masalah perizinan yang hingga kini belum juga terpecahkan. “Selama ini, industri migas termasuk Chevron mengeluhkan adanya sejumlah hambatan investasi yang salah satunya masalah perizinan,” ujar Komaidi kepada KONTAN pada Senin (9/10).

Menurut dia, masalah-masalah tersebut membuat iklim investasi Indonesia kurang menarik jika dibandingkan negara-negara lain. “Masalah utama iklim investasi. Kemudian mereka punya pilihan investasi yang lebih menarik, termasuk di negara mereka sendiri (Amerika Serikat) yaitu mengembangkan Shale Oil atau Gas,” jelasnya.

Terobosan Mewujudkan Kemandirian Energi Nasional

Koran Sindo: Kamis, 19 Oktober 2017 – 13:54 WIB

JAKARTA– Langkah kabinet Jokowi-JK menuju visi Kemandirian Energi Nasional dinilai sudah pada jalur yang tepat, kendati pelaksanaannya tidak semudah membalik telapak tangan.

Kebijakan energi pemerintahan Jokowi-JK yang berdampak besar, antara lain ketika mengubah pola subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan penetapan harganya. Selain itu, program BBM Satu Harga juga membantu menurunkan tekanan inflasi, terutama di wilayah yang jauh dari Jakarta. Di lain pihak, kebijakan BBM Satu Harga menimbulkan beban biaya bagi Pertamina. PT Pertamina (Persero) mencatatkan pendapatan sebesar USD20,5 miliar pada semester I/2017 atau meningkat 19% dibanding semester I/2016 yang tercatat USD17,2 miliar. Namun, peningkatan itu tidak sejalan dengan laba bersih perseroan yang anjlok 24% menjadi USD1,4 miliar.

Direktur Utama Pertamina Elia Masa Manik mengatakan, penurunan laba disebabkan fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung meningkat sehingga berdampak pada harga keekonomian BBM. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia pada semester I/2017 tercatat USD48,9 per barel, naik 35,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pemerintah dinilai cukup konservatif dalam menetapkan asumsi harga minyak di APBNP 2017 dan APBN 2018. Asumsi lifting juga dirasa terlalu tinggi karena per September 2017 realisasinya 729.000 barel per hari.

Terkait produksi minyak bumi, pemerintah memperkirakan hingga akhir 2017 lifting minyak hanya mencapai 98% dari target. “Target kita 815.000 bph, sekarang rata-rata di bawah 800.000 bph. Sampai akhir tahun outlook-nya di bawah 815.000 bph,” sebut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Meski lifting minyak tidak mencapai target, pencapaian lifting gas diyakini lebih baik, diperkirakan sampai akhir tahun mencapai 6.960 MMSCFD, lebih tinggi dari target APBPN 2017 sebesar 6.440 MMSCFD. Penerimaan negara dari sektor migas juga diperkirakan sesuai target. Hingga September 2017, kontribusi sektor migas terhadap penerimaan negara Rp92,43 triliun atau lebih besar 10,25% dibanding pada periode yang sama 2016. Poin positif juga harus diberikan dalam pencapaian pemerintah di sektor minerba, yaitu penggantian kontrak karya Freeport di Indonesia.

Pengamat energi UGM Fahmy Radhi mengatakan, perundingan dengan Freeport merupakan proses signifikan. Sejak awal pemerintah ingin mengubah dari kontrak karya. Meskipun Freeeport menolak, Menteri ESDM tidak gentar dalam berunding. “Akhirnya Freeport berubah menyetujui, meskipun dalam penetapan harga saham. Di bidang minerba ini cukup bagus,” ujarnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengapresiasi langkah pemerintah merevisi banyak regulasi. “Sudah banyak aturan baru dan revisi yang diterbitkan. Ini bukti respons cepat pemerintah membenahi sektor energi,” ucapnya.

Komaidi menilai, langkah pemerintah dalam tiga tahun sudah berada di jalur yang tepat, meskipun ada kekurangan dalam hal eksekusi. Proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) juga menjadi sorotan. Sebelumnya, pemerintah berkomitmen merealisasikan penyediaan listrik 35.000 MW dalam jangka lima tahun (2014-2019). Namun, proyek ini diperkirakan molor dari target awal. Program ini sebelumnya dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia 7% per tahun, tapi realisasinya hanya di kisaran 5%. Jadi, target 35.000 MW hingga 2019 juga harus disesuaikan.

Presiden Jokowi pun merestui penurunan target penyelesaian proyek 35.000 MW. Pembangunan infrastruktur listrik sudah seharusnya disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi, di samping menjaga kondisi keuangan PT PLN (Persero). Menurut Jokowi, kebutuhan listrik sampai 2019 akan meningkat, walaupun jika dihitung tidak sampai 35.000 MW.

Presiden ingin penyediaan listrik terus ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan listrik nasional. Sementara PLN tetap berkomitmen melaksanakan proyek 35.000 MW dan 46.000 kms transmisi. Hanya saja, PLN akan menyesuaikan penyelesaian proyek 35.000 MW dengan mengkaji beban biaya yang harus ditanggung.

Adapun kemajuan proyek 35.000 MW, yaitu 773 MW pembangkit telah beroperasi secara komersial, sebesar 15.266 MW tengah dalam tahap konstruksi, dan sebanyak 10.255 MW telah melakukan perjanjian jual beli listrik namun belum konstruksi. Di samping itu, 4.563 MW tengah dalam proses pengadaan dan 6.970 MW dalam tahap perencanaan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, selain faktor pertumbuhan ekonomi, laju konsumsi listrik juga tidak terlalu tinggi karena pembangunan smelter dan kawasan industri tidak secepat yang dibayangkan, dan ada rasionalisasi konsumsi listrik oleh konsumen industri.