Bahan Bakar Nabati Dievaluasi;Pencampuran Biodiesel ke Solar Bermasalah

Kompas; 13 Oktober 2017

TARGET BAURAN ENERGI DALAM RUEN/RUED (APO)

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah akhirnya mengevaluasi kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati di dalam negeri. Dari sejumlah laporan dan temuan, kebijakan pemanfaatan biodiesel dan bioetanol mengalami kendala di lapangan.

Dalam sidang anggota ke-23 Dewan Energi Nasional (DEN), Kamis (12/10), di Jakarta, salah satu topik yang dibahas adalah evaluasi pengembangan bahan bakar nabati. Salah satu kebijakan yang mengatur bahan bakar nabati adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Anggota DEN, Achdiat Atmawinata, mengatakan, penerapan pencampuran biodiesel ke dalam solar menimbulkan masalah teknis untuk mesin-mesin pada alat berat, seperti kereta api serta mesin pada alat utama sistem persenjataan (alutsista). Masalah tersebut berupa timbulnya kerak pada ruang pembakaran.

Penggunaan biosolar (biodiesel bercampur solar) pada alat berat menimbulkan endapan yang berubah menjadi kerak di ruang pembakaran. Akibatnya, ongkos perawatan membengkak karena penggantian filter menjadi lebih sering, kata Achdiat.

New Doc 2017-10-13

Syamsir Abduh, anggota DEN, mengatakan, permasalahan di lapangan terkait pencampuran biodiesel ke dalam solar segera dikaji dan dievaluasi. Ada kemungkinan penerapan kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar sebanyak 30 persen (B30) yang dimulai pada 2030 akan ditangguhkan jika masalah tersebut belum bisa dituntaskan.

Harga jual

Dalam Peraturan Menteri ESDM No 12/2015, kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar dimulai April 2015 sebanyak 15 persen (B15). Selanjutnya, Januari 2016 sampai akhir 2019 adalah 20 persen (B20). Angka pencampuran naik menjadi 30 persen (B30) terhitung Januari 2020.

Sekretaris Jenderal DEN Saleh Abdurrahman mengatakan, kewajiban pencampuran bioetanol ke dalam bahan bakar selain solar akan menyebabkan harga jual membengkak. Pemerintah sudah memutuskan untuk mengkaji ulang kebijakan itu dengan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perhubungan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan bahan bakar nabati di Indonesia tersebut terbilang tepat. Namun, sering kali kebijakan tak disertai dengan kajian akademis dan riset pasar. Apabila sampai ditangguhkan, hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian di masa depan pada industri pembuatan biodiesel yang sudah berjalan selama ini.

Hulu Migas dan Ekonomi Nasional

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)

Kompas; 7 Oktober 2017

Di saat harga minyak sedang rendah seperti sekarang ini, terasa ada nuansa dan pandangan bahwa posisi dan peran sektor hulu migas terhadap perekonomian Indonesia relatif tidak penting lagi.

Hal ini terutama didasarkan atas relatif kecilnya kontribusi hulu migas terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dalam beberapa tahun terakhir hanya berkisar 3-5 persen. Nuansa dan pandangan semacam itu dapat dimengerti, tetapi perlu diimbangi dengan melihat peran dan posisi hulu migas terhadap perekonomian nasional secara lebih menyeluruh.

Meskipun kontribusi hulu migas terhadap penerimaan negara secara langsung menurun, sektor ini tetap memiliki posisi dan peran penting terhadap hampir seluruh aspek perekonomian Indonesia. Beberapa hal berikut kiranya penting menjadi perhatian para pengambil kebijakan.

Pertama, sektor hulu migas masih tetap tercatat sebagai salah satu sektor dengan kemampuan (besaran) investasi terbesar di Indonesia. Sejak awal pelaksanaan pembangunan sampai saat ini, investasi hulu migas tercatat memiliki peran penting dalam dunia investasi di Indonesia. Pada 2014, saat total nilai investasi nasional (penanaman modal dalam negeri plus penanaman modal asing) di luar sektor hulu migas kurang lebih Rp 541,28 triliun, nilai investasi hulu migas Rp 275,4 triliun.

Rasio di antara keduanya kurang lebih 2:1. Pada 2015, saat total nilai investasi nasional Rp 574,69 triliun, investasi hulu migas kurang lebih Rp 206,55 triliun, atau perbandingan keduanya mendekati 3:1. Sementara pada 2016, nilai keduanya kurang lebih Rp 607,25 triliun dan Rp 151,2 triliun, yang berarti 4:1 dalam rasionya. Dalam lima tahun terakhir, porsi investasi industri hulu migas rata-rata mencapai 30,50 persen dari total realisasi investasi di Indonesia. Realisasi investasi kumulatif di sektor hulu migas selama lima tahun terakhir tercatat Rp 990,79 triliun.

Kontribusi ke ekonomi

Kedua, industri hulu migas memiliki keterkaitan sektoral yang sangat luas dengan sektor-sektor ekonomi pendukung dan penggunanya. Industri hulu migas terkait dengan 75 sektor pendukung dan 45 sektor penggunanya. Sektor pendukung hulu migas tersebut menguasai sekitar 55,99 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia dan menyerap sekitar 61,53 persen tenaga kerja Indonesia. Sementara sektor penggunanya menguasai sekitar 27,27 persen PDB dan menyerap sekitar 19,34 persen tenaga kerja.

Simulasi ReforMiner Institute menemukan, potensi nilai tambah ekonomi yang tercipta dari investasi di hulu migas cukup besar. Transaksi industri hulu migas dengan sektor pendukungnya senilai Rp 1 triliun akan menciptakan nilai tambah ekonomi sekitar Rp 3,72 triliun. Kegiatan transaksi sebesar itu berkorelasi dengan penyerapan sekitar 13.600 tenaga kerja.

Ketiga, meskipun porsi penerimaannya turun, penerimaan dari sektor hulu migas (pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP) tetap memiliki peran penting terhadap penerimaan negara. Data rasio pajak industri hulu migas dalam lima tahun terakhir rata-rata 19,42 persen, masih lebih tinggi dari rata-rata rasio pajak Indonesia pada periode yang sama yaitu 11,23 persen. Ini mengindikasikan sektor hulu migas tetap berkontribusi penting dalam mengangkat (rasio) penerimaan perpajakan nasional secara keseluruhan.

Dalam hal PNBP dibandingkan dengan PNBP sumber daya alam (SDA) lain, sektor hulu migas juga tetap masih berperan penting. Ketika harga minyak tinggi, porsi PNBP hulu migas mencapai sekitar 90 persen dari total PNBP SDA yang lain di APBN. Sementara pada kondisi harga minyak rendah, porsi PNBP hulu migas masih tetap signifikan, yaitu sekitar 68 persen dari total PNBP SDA.

Keempat, tingkat produksi migas di sektor hulu akan turut memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Sebagaimana diketahui, salah satu kebutuhan devisa impor Indonesia yang terbesar adalah untuk impor minyak mentah, BBM, dan LPG. Data yang ada menunjukkan, seiring dengan terus menurunnya produksi minyak, dalam lima tahun terakhir neraca perdagangan migas Indonesia selalu defisit.

Defisit berpotensi terus meningkat karena jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, produksi migas nasional akan terus menurun. Dengan asumsi harga minyak 70 dollar AS per barrel, kebutuhan devisa untuk impor minyak mentah dan BBM pada 2025 dapat mencapai 60 miliar dollar AS-95 miliar dollar AS setiap tahun.

Peningkatan kegiatan usaha hulu migas untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas adalah hal yang harus dilakukan pemerintah untuk menekan kebutuhan devisa untuk impor minyak mentah, BBM, dan LPG. Kondisi ini akan memberikan dampak terhadap nilai tukar rupiah yang lebih sehat.

Berdasar hal-hal di atas, meski sudah terjadi pergeseran perannya dalam menopang penerimaan APBN, cara penanganan dan pengelolaan sektor hulu migas pada dasarnya masih tetap harus sejalan dengan amanat konstitusi UUD 1945. Peran dan posisi sektor hulu migas tak hanya penting bagi perekonomian nasional, tetapi juga strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Peran sektor hulu migas sebagai jangkar dan lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menarik 75 sektor ekonomi pendukung dan mendorong 45 sektor ekonomi penggunanya jelas tak dapat diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Di tengah pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor lain, sektor ini tetap perlu dapat perhatian khusus dan penanganan yang serius dari pemerintah.

Migas Sebagai Penggerak Ekonomi

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)
Bisnis Indonesia: Kamis 05 Oktober 2017

Zaman telah dan terus berubah. Jika di awal masa pembangunan, khususnya pada periode 1973-1983, lebih dari 60% porsi penerimaan negara rata – rata bersumber dari penerimaan migas, saat ini kurang lebih 85% penerimaan negara bersumber dari pajak.

US$48 per barel, total penerimaan migas, yang terdiri dari Penerimaan Negara Bukan PaJak (PBP) dan Penerimaan Pajak Migas dalam RAPBN 2018 diperkirakan hanya akan mencapai Rp113,1 triliun. Ini kurang lebih setara dengan 6 dari total penerimaan negara yang ditargetkan mencapai Rp1 .878,4 triliun.

Ada beberapa hal yang dapat kita baca dari beberapa angka di atas. Pertama, migas saat ini bukan lagi sumber penerimaan negara yang utama. ltu sangat jelas. Kedua, sektor-sektor ekonomi lain di luar migas telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga memberikan kontribusi ekonomi, dalam bentuk pajak salah satunya yang kemudian menggantikan peran sektor migas sebagai penerimaan negara yang utama. lni juga relatif cukup jelas.

Ketiga, yang barangkali tidak cukup jelas terbaca adalah bahwa sektor migas, baik melalui penerimaan negara yang disumbangkannya selama ini, dan khususnya di awal masa pembangunan. Maupun melalui keberadaannya dengan segala multiplier effect yang ditimbulkannya, telah “berjasa” menjadi penggerak mula perekonomian nasional serara keseluruhan hingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi seperti sekarang ini.

Sektor hulu migas misalnya, memiliki keterkaitan sektoral yang sangat luas dengan sektor-sektor ekonomi pendukung dan penggunaanya. Industri hulu migas terkait dengan 75 sektor pendukung dan 45 sektor pengguna. Sektor pendukung hulu migas tersebut menguasai sekitar 55.99 PDB Indonesia dan menyerap sekitar 61,53% tenaga kerja Indonesia.

Sementara sektor penggunanya menguasai sekitar 27,27 PDB dan memcrap sek1tar 19,34% tenaga kerja. Simulasi ReforMiner menemukan bahwa potensi nilai tambah ekonomi yang tercipta dari investasi hulu migas cukup besar. Transaksi industri hulu migas dengan sektor pendukungnya senilai Rp1 triliun akan menciptakan nilai tambah ekonomi sekitar Rp3,72 triliun. Kegiatan transaksi tersebut juga akan menyerap tenaga kerja sekitar 13.600 tenaga kerja.

Oleh karenanya. di saat fungsi sektor migas sebagai smber penerimaan negara sudah tergantikan oleh sektor- sektor yang lain, hal itu memang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Dan manjadi sangat beralasan ketika Presiden Jokowidodo, sepanjang yang saya cermati, tidak pernah rasanya menekankan agar pengelolaan sektor migas ini difokuskan untuk meningkatkan penerimaan negara.

lnstruksi kebijakan BBM satu harga, misalnya. dapat dianikan agar migas dapat lebih menjadi penggerak perekunomian dengan harga yang lebih terjangkau di wilayah – wilayah yang selama ini perekonomiannya berkembang lebih lambat.

lnstruksi penurunan harga gas domestik juga berarti agar harga migas di dalam negeri lebih diarahkan untuk menggerakkan sektor – sektor industri penggunanya agar dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian secara keseluruhan.

KEMUDAHAN INVESTASI

Hal yang selalu ditekankan oleh Presiden Joko Widodo adalah hagaimana agar pengelolaan dan kebijakan di semua sektor, termasuk migas, memberi kemudahan bagi investasi dan mempercepat eksekusi pelaksanaannya.

Dengan kata lain paradigma pengelolaan migas sekarang memang (seharusnya) sudah berubah Migas bukan lagi ditekankan sebagai sumber penerimaan negara, tetapi migas lebih sebagai penggerak perekonomian.

Maka. penerjemahan visi dan instruksi Presiden Joko Widodo ke dalam kebijakan-kebijakan di sektor migas ini juga harus sejalan. Penurunan harga gas domestik, misalnya, mestinya dapat segera dijalankan dengan cara mengurangi porsi bagian negara dalam kontrak bagi hasil.

Penerimaan negara dari gas akan sedikit berkurang pada awalnya, tetapi perekonomian dalam skala yang Jebih luas akan bergerak sehingga secara tidak langsung nantinya hal itu akan terkompensasi.

Dalam hat pengelolaan dan pengusahaan wilayah kerja migas, pendekatan yang dipakai mestinya adalah prinsip ekonomi (perdagangan) sederhana. Lebih baik negara tidak mengambil untung terlalu banyak dari hanya dari satu-dua wilayah kerja tertentu yang tergarap, tetapi akan lebih menguntungkan secara ekonomi ke depanya jika jumlah wilayah kerja yang “laku terjual” dan tergarap lebih banyak.

Arah kebijakan di hulu migas saat ini, yang cenderung menekankan efisiensi tetapi dalam arti yang sempit, yaitu menekan cost (baca: investasi), menurut saya, perlu dikoreksi karena cenderung masih lebih menekankan pada migas sebagai sumber penerimaan negara, dan bukan migas sebagai penggerak ekonomi.

Penanganan pada proyek – proyek strategis migas seperti pengembangan lapangan gas Masela. lapangan gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD), lapangan gas Jambaran-Tiung Biru. atupun proyek-proyek kilang BBM dan LNG di hilir, sebaiknya juga jangan secara sempit menggunakan pendekatan efisiensi hanya dalam bentuk bagaimana menekan biaya dan mengendalikan rate of return proyek.

Di dalam ekonomi (bisnis). apalagi seperti di sektor migas dimana negara tidak melakukan investasi sendiri, ada yang namanya momentum, yang jika terlewatkan justru malah bisa menyebabkan proyek tersebut dapat tidak berjalan.

Pengembangan lapangan gas East Natuna, yang sudah ditemukan sejak sebelum 1990, hingga kini menjadi tidak jelas nasibnya karena kehilangan momentum tersebut. Jangan sampai hal yang sama terjadi untuk lapangan gas Masela atau lapangan migas yang lain. Jika proyek tersebut tidak berjalan, tidak akan ada juga efisiensi yang dimaksudkan.

Maka, para penyelenggara negara dan pemerintahan yang memegang otoritas di sektor migas, sebaiknya lebih cerdas dan tidak sempit di dalam menerjemahkan instruksi Presiden Joko Widodo.

Pasalnya, di balik instruksi itu sesungguhnya ada visi dan paradigma (baru) yang sangat jelas di dalam bagaimana semestinya kita mengelola sektor migas saat ini dan ke depan, yaitu migas sebagai penggerak ekonomi.

Risiko Defisit Diatasi; Harga Premium dan Solar Subsidi Tidak Berubah

Kompas; Selasa 3 Oktober 2017

JAKARTA, KOMPAS  PT Pertamina (Persero) akan menanggung risiko tidak berubahnya harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi sampai akhir tahun ini. Dari catatan pemerintah, penjualan premium diperkirakan menim bulkan defisit Rp 6,5 triliun dan pada solar bersubsidi Rp 18 triliun sepanjang tahun ini.

Akhir pekan lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan harga premium tetap Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Dengan keputusan tersebut, praktis tidak ada perubahan harga untuk jenis premium dan solar bersubsidi sepanjang tahun ini. Di satu sisi, harga minyak mentah dunia terus naik di atas 50 dollar AS per barrel.

Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan, tidak ada jalan keluar lain atas keputusan pemerintah tidak mengubah harga bahan bakar jenis premium dan solar bersubsidi di tengah kenaikan harga minyak dunia. Mau tidak mau, Pertamina akan menanggung selisih lonjakan harga minyak mentah dengan harga jual bahan bakar minyak (BBM).

Penambahan subsidi juga tampaknya tidak memungkinkan karena ruang fiskal kita sangat terbatas, kata Satya, Senin (2/10), di Jakarta.

DPR sebetulnya sudah memberikan persetujuan kepada pemerintah untuk mengkaji harga BBM setiap tiga bulan, yaitu untuk jenis premium, solar bersubsidi, dan minyak tanah. Pertimbangan kajian harga tersebut, selain pergerakan harga minyak dunia, adalah kondisi sosial ekonomi dan daya beli masyarakat.

Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, sepanjang harga BBM tak berubah dan besaran subsidi sudah ditentukan, Pertamina akan menanggung selisih harga jual dengan harga keekonomian.

Tidak hanya Pertamina yang akan kena getahnya, tetapi tata kelola energi nasional, khususnya dalam hal kebijakan harga BBM, akan mentah kembali, ujar Pri Agung.

Kebijakan pemerintah mengenai harga BBM yang dievaluasi setiap tiga bulan, ujar Pri Agung, sudah tepat. Meski demikian, persoalan subsidi BBM bisa menjadi lebih baik karena harga jual ke masyarakat mempertimbangkan pergerakan harga minyak dunia.

Fungsi penugasan

Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan, Pertamina tidak akan membicarakan untung dan rugi dalam penjualan BBM, khususnya BBM jenis penugasan (premium) dan BBM jenis tertentu (solar bersubsidi).

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Pertamina mendapat penugasan untuk menyediakan kedua jenis bahan bakar tersebut.

Pertamina memang sebuah badan usaha yang harus mendapat untung, tetapi kami juga mendapat tugas dalam pelayanan publik. Pertamina akan tetap mematuhi patokan harga bahan bakar yang sudah ditetapkan pemerintah, kata Adiatma.

kompas

Pertamina, kata Adiatma, akan terus menerapkan efisiensi di segala lini. Cara ini ditempuh sebagai jalan keluar apabila timbul defisit yang harus ditanggung Pertamina.

Sebelumnya, dalam paparan kinerja Pertamina triwulan I-2017, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, terdapat selisih harga dalam penjualan BBM oleh Pertamina. Jenis BBM itu adalah premium dan solar bersubsidi yang harga jualnya ditetapkan pemerintah.

Saat ini, harga premium adalah Rp 6.450 per liter, sedangkan solar bersubsidi dijual Rp 5.150 per liter.

Jadi, kalau melihat selisih harga formula (harga keekonomian) dengan apa yang ditetapkan pemerintah, premium sekitar Rp 400 per liter di bawah harga formula, sedangkan solar Rp 1.150 per liter di bawah formula, ujar Arief (Kompas, 26/5).

Dalam APBN Perubahan 2017, pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia sebesar 45 dollar AS per barrel. Sampai September 2017, harga jual minyak mentah Indonesia mencapai 48,36 dollar AS per barrel.

Gas Jambaran-Tiung Biru Berdampak Positif Untuk Ekonomi

www.tribunnews.com; Sabtu, 23 September 2017 15:12 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif ReforMiner Institue Komaidi Notonegoro menilai, kesepakatan harga gas antara Pertamina dan PLN di Jambaran-Tiung Biru, sangat positif dan bernilai strategis tinggi. Banyak dampak ekonomi dihasilkan, mulai sektor tenaga kerja hingga industri.

Sangat strategis dan positif. Banyak mulitiplier effect sektor ekonomi yang bisa digerakkan, kata Komaidi, Sabtu (22/9/2017).

Menurut Komaidi, dampak ekonomi yang dihasilkan memang luar biasa. Termasuk di antaranya, bahwa pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru sangat vital untuk memenuhi kebutuhan gas di Indonesia, khususnya listrik dan industri di Jawa.

Listrik juga akan menggerakkan sektor-sektor lain. Di sektor pertanian, misalnya, akan memberi nilai tambah industri pupuk dan petrokimia, jelas Komaidi.

Komaidi pun yakin Hambaran-Tiung Biru bisa mempercepat utilisasi pipa gas Gresik-Semarang, sehingga proyek-proyek yang sempat tetunda dan keekonomiannya diragukan, semua akan kembali berjalan satu per satu.

Khusus sektor industri, Jambaran-Tiung Biru menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pasokan gas. Benar bahwa saat ini LNG sedang melimpah, karena kilang minyak di beberapa negara, seperti Qatar, Australia, dan Papua Nugini sedang banyak. Tetapi Komaidi mengingatkan, bahwa industri tidak boleh berpikir terlalu mikro dan jangka pendek.

Gas yang sedang banyak ini hanya bertahan hingga 2018. Padahal, industri harus berpikir hingga 2025-2030. Artinya, industri pun membutuhkan pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru, papar Komaidi.

Kesepakatan Harga Pertamina-PLN pada Jambaran-Tiung Baru Positif

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

INVERTORDAILY: Jumat, 22 September 2017 | 9:54

JAKARTA– Kesepakatan Pertamina-PLN atas harga gas dari lapangan Jambaran-Tiung Biru sangat positif dan bernilai strategis tinggi, mengingat dampak ekonomi yang dihasilkan mulai sektor tenaga kerja hingga industri, kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro.

“Sangat strategis dan positif. Banyakmulitiplier effectsektor ekonomi yang bisa digerakkan,” kata Komaidi di Jakarta, Jumat.

Menurut Komaidi, pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru sangat vital untuk memenuhi kebutuhan gas di Indonesia, khususnya listrik dan industri di Jawa.

“Jangan lupa, industri di Jawa Timur akan terus bertumbuh. Belum lagi listrik yang interkoneksi, sehingga hasil pembangkit di Jatim bisa untuk Jawa Tengah dan Bali. Listrik juga akan menggerakkan sektor-sektor lain. Di sektor pertanian, misalnya, akan memberi nilai tambah industri pupuk dan petrokimia,” kata dia.

Komaidi juga meyakini, Jambaran-Tiung Biru bisa mempercepat utilisasi pipa gas Gresik-Semarang, sehingga pemanfaatan gas bisa diperluas. Dengan demikian, proyek-proyek yang sempat tertunda dan keekonomiannya diragukan, semua akan kembali berjalan satu per satu.

Khusus sektor industri, lapangan Jambaran-Tiung Biru menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pasokan gas. Diakuinya, saat ini LNG sedang melimpah karena kilang minyak di beberapa negara, seperti Qatar, Australia, dan Papua Nugini sedang banyak. Tetapi Komaidi mengingatkan bahwa industri tidak boleh berpikir terlalu mikro dan jangka pendek.

“Gas yang sedang banyak ini hanya bertahan hingga 2018. Padahal, industri harus berpikir hingga 2025-2030. Artinya, industri pun membutuhkan pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru,” kata dia.

Tidak kalah penting, adalah penyerapan tenaga kerja yang sangat luar biasa. Dengan pertumbuhan yang terus meningkat, industri juga semakin membutuhkan banyak tenaga kerja baik yang terkait langsung, maupun industri penunjang seperti pipa hingga makanan.

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diyakini pula bisa terimbas positif operasional lapangan Jambaran-Tiung Biru, kata Komaidi.

PLN dan Pertamina pada 8 Agustus 2017, menandatangani Perjanjian Jual Beli Gas lapangan Jambaran-Tiung Biru. PLN membeli gas bumi Jambaran-Tiung Baru dari Pertamina sebanyak 100 MMSCFD dengan harga US$ 7,6 /MMBTU.

Lapangan Jambaran-Tiung Biru merupakan unitisasi dua lapangan dari dua wilayah kerja berbeda. Lapangan Jambaran merupakan bagian dari Wilayah Kerja Blok Cepu dan Lapangan Tiung Biru yang menjadi bagian dari wilayah kerja kelolaan PT Pertamina EP.

PLN membeli gas Jambaran-Tiung Biru untuk pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-Bali 3 dengan kapasitas 500 Megawatt (MW). Sekaligus menjadi alternatif pasokan bagi PLTGU Tambak Lorok apabila pasokan gas dari lapangan Kepodang milik Petronas Carigali Sdn Bhd selesai lebih cepat.

Pemerintah Perlu Tingkatkan Kapasitas Infrastruktur Gas

www.republika.co.id; 17 September 2017, 17:51 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Salah satu alasan mengapa Indonesia membuka kerja sama dengan Singapura dalam tata kelola gas adalah masih kurangnya infrastuktur gas dalam negeri. Tiga infrastuktur gas mulai dari regasifikasi, tempat penyimpanan dan pipa penyaluran hanya ada di wilayah timur Indonesia.

Hal ini dinilai menjadi poin evaluasi terhadap pemerintah sehingga kedepan pemerintah harus bisa meningkatkan kapasitas infrastruktur gas. Pengamat Energi, Reforminer, Pri Agung Rakhmanto menilai pemerintah bisa melakukan penambahan infrastruktur gas di dalam negeri dengan menggandeng BUMN dan perusahaan energi domestik. Ia melihat, hal ini lebih penting ketimbang harus bekerjasama dengan Singapura yang hanya menjadi penyalur.

“Kalau tidak ada jaminan bahwa Singapura bisa memberi harga lebih murah,  kenapa harus bersama singapura kerja samanya. Kalau memang alasan untuk menekan harga, maka mestinya pemerintah juga perlu membenahi infrastuktur gas yang selama ini membuat harga gas yang diterima konsumen gas lebih murah,” ujar Pri Agung saat dihubungi Republika, Ahad (17/9).

Pri Agung mengatakan, Singapura sendiri tidak mempunyai produksi gas, mereka hanya memiliki fasilitas yang memadai sehingga bisa menyuplai kebutuhan gas di wilayah barat Indonesia. Bahkan LNG yang digunakan oleh Singapura juga kemungkinan berasal dari LNG dalam negeri Indonesia.

“Harga landed price masih 6 sampai 7 dolar per mmbtu, belum biaya regasifikasi. Maka kenapa kita tidak lebih baik yang membangun infrastruktur itu. Hal ini tentu akan memberikan efek perekonomian yang lebih besar dibandingkan jika yang melakukan pihak Singapura dan dibangun atau menggunakan infrastruktur milik mereka,” ujar Pri Agung.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan sempat mengusulkan membuka kerja sama dengan Singapura untuk pembangunan infrastruktur gas dan distribusi gas yang lebih murah. Kebijakan ini diambil Luhut, sebab menurutnya, harga gas di Sumatra dan Kalimantan masih mahal dibandingkan di wilayah timur Indonesia.

Luhut menjelaskan, pilihan distribusi LNG dari dua perusahaan Singapura tersebut karena lokasinya yang lebih dekat dengan terminal regasifikasi. Alhasil, harga LNG yang didistribusi diprediksi dapat menjadi lebih murah.

Selama ini, LNG yang dimiliki Indonesia sebagian besar berasal dari wilayah bagian Timur. Jika didistribusikan ke lokasi regasifikasi maka harganya dapat melonjak. “Kalau kita mau terang-terangan juga sebagian besar gas kita kan datang dari Indonesia Timur. Sehingga mahal kalau mau ditarik sampai ke Nias,” ujar Luhut pekan lalu.

Pertimbangkan Impor LNG; Optimalkan Gas dari Dalam Negeri

Kompas: 12 September 2017 (APO/INA)

JAKARTA, KOMPAS  PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tengah menjajaki rencana pembangunan infrastruktur gas alam cair di Natuna dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dengan perusahaan asal Singapura. Sementara rencana impor gas alam cair perlu matang dipertimbangkan.

Direktur PLN Amir Rosidin membenarkan pihaknya sudah menandatangani pokok-pokok perjanjian dengan Pavilion Gas Pte Ltd dan Keppel Offshore & Marine Limited di Singapura beberapa waktu lalu. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah studi bersama untuk kesiapan pembangunan infrastruktur gas alam cair (LNG) di wilayah Natuna dan Tanjung Pinang.

Masih sebatas studi bersama yang berlaku sampai enam bulan ke depan. Pilihannya, apakah membangun terminal LNG atau terminal regasifikasi terapung belum diputuskan, kata Amir, Senin (11/9), di Jakarta.

Amir menambahkan, dalam perjanjian itu sama sekali tidak disinggung rencana jual beli LNG dengan perusahaan asal Singapura tersebut. Namun, menurut Amir, tidak tertutup kemungkinan untuk itu. Apabila harga LNG yang ditawarkan perusahaan itu lebih murah daripada harga LNG dalam negeri, PLN siap membeli.

Jadi, perjanjian tersebut bukan jual beli LNG. Hanya studi persiapan infrastruktur mini LNG untuk mendapat solusi yang paling efisien. Apabila dari hasil studi diperoleh biaya yang lebih tinggi, studi berakhir tanpa tindak lanjut, ucap Amir.

Dalam laman Pavilion, perusahaan tersebut bergerak di bidang infrastruktur LNG, distribusi, dan jual beli gas. Adapun Keppel lebih banyak bergerak di bidang jasa desain, konstruksi, dan pemeliharaan fasilitas kilang LNG di lepas pantai.

Dalam keterangan resmi Pavilion Energy, kerja sama ini terkait dengan pengadaan dan distribusi LNG ke wilayah Indonesia bagian barat, terutama daerah pedalaman dan pulau-pulau terpencil. LNG akan diangkut ke terminal LNG terapung ataupun terminal LNG di darat menggunakan kapal kecil. Pasokan LNG tersebut cocok untuk pembangkit-pembangkit listrik PLN dengan kapasitas 25 megawatt sampai 100 megawatt.

Pasokan melimpah

Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengaku heran dengan kerja sama tersebut. Menurut dia, pasokan LNG di dalam negeri terbilang melimpah sehingga PLN tak perlu impor. Apalagi, impor LNG dari Singapura yang tidak punya sumber daya gas.

Padahal, gas dari Tangguh masih belum ada kepastian pembelinya. Jika dengan alasan lebih murah impor, sumber daya LNG, kan, milik negara. Seharusnya bukan sebuah masalah bagi negara untuk menurunkan harga, ucap Achmad.

Selain itu, lanjut Achmad, apabila persoalannya adalah infrastruktur, ada terminal regasifikasi Arun di Aceh yang bisa dimanfaatkan. Cara itu lebih efisien ketimbang membangun infrastruktur baru di Natuna dan Tanjung Pinang.

Pengajar pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, impor LNG memang tak menyalahi aturan. Pasalnya, pilihan impor tersebut juga berlandaskan aturan. Namun, alasan harga LNG impor lebih murah ketimbang harga LNG di dalam negeri sebaiknya dipertimbangkan masak-masak.

Singapura, kan, tidak memiliki sumber daya gas. Jangan sampai gas tersebut berasal dari Indonesia yang dijual lagi ke kita. Ini akan terasa aneh di akal, kata Pri Agung.

Mengenai harga LNG, imbuh Pri Agung, pemerintah sebenarnya bisa menurunkan harganya dengan cara mengurangi bagian penerimaan negara di hulu. Pemerintah juga bisa menurunkan ongkos pengangkutan gas melalui pipa.

PLN membangun infrastruktur LNG untuk pembangkit listrik di Natuna dan Tanjung Pinang dengan pertimbangan untuk memperkuat pasokan listrik di kedua wilayah tersebut.

Saat ini, pasokan listrik di Natuna menggunakan tenaga diesel, sedangkan listrik di Tanjung Pinang dipasok dari Batam lewat kabel bawah laut. Apalagi, Natuna termasuk wilayah yang akan dikembangkan pada masa mendatang.

Diperkirakan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik di Natuna dan Tanjung Pinang adalah 40 juta british thermal unit per hari. Sejauh ini, porsi tenaga gas dalam bauran energi pembangkit PLN mencapai 25 persen atau setara 1.100 miliar british thermal unit per hari.

Gross Split Baru Belum Bikin Iklim Investasi Hulu Migas Menarik

www.bisnis.com; September 10, 2017 16:25 WIB

Bisnis.com, JAKARTA Upaya pemerintah memperluas penambahan bagi hasil kontraktor melalui Peraturan Menteri No.52/2017 belum berpengaruh secara signifikan untuk menaikkan iklim investasi hulu migas.

Dalam kaitannya dengan daya tarik dari segi fiskal, Lead Extractives Specialist World Bank Bryan C Land belum bisa menyebut apakah perubahan tersebut cukup menaikkan daya tarik Indonesia sebagai tujuan penanaman modal. Bila dibandingkan dengan skema sebelumnya, katanya, pemerintah telah melakukan perbaikan. Namun, dia menuturkan perubahan itu belum bisa menegaskan apakah posisi Indonesia lebih layak menjadi tujuan investasi atau belum. Alasannya, ujar Bryan, upaya yang sama sedang dilakukan negara lainnya.

Dari 12 lapangan yang menjadi acuan, penerapan gross split baru memberikan tambahan angka pengembalian investasi (internal rate of return/IRR). Dengan rentang penambahan IRR terendah sebesar 2,1% hingga yang tertinggi yakni 15,7%, rata-rata penambahan IRR melalui skema gross split baru lebih besar 6,5% dari gross split lama.

Dengan demikian, rerata IRR yang didapatkan pada gross split baru sebesar 28,8% atau lebih tinggi dari rerata IRR pada PSC cost recovery yakni 24,8%. Berdasarkan data Wood Mackenzie, IRR di Indonesia tidak lebih tinggi dari negara lain seperti Australia dengan 30,4%, Papua Nugini 38,2%, Irlandia 40,3% dan Inggris 41,5%.

“Negara-negara lain dengan iklim investasi yang sama tengah berupaya membuat ketentuan-ketentuan yang lebih menarik. Jadi kami harus melihat. Tapi kami memiliki kemampuan untuk membuat perbandingan itu dan bila kementerian tertarik untuk mendapatkan saran dari kami, kami mau membagikannya,” katanya.

Seperti diketahui, pemerintah menambah bobot split dan variabel baru yang bisa meningkatkan keekonomian melalui Permen 52/2017. Selain itu, tambahan split pun didapatkan di fase-fase awal pengembangan ketika kontraktor belum bisa menikmati hasil produksi. Kemudian, ruang tambahan split dari diskresi menteri pun tak lagi dibatasi sebesar 5%.

Pengamat Energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan untuk bisa memperbaiki iklim investasi, pemerintah perlu menyelesaikan masalah kemudahan berusaha (ease of doing business). Sebagai contoh, dia menyebut perizinan, birokrasi, konsistensi peraturan dan menghormati kontrak yang berjalan (sanctity of contract). Menurutnya, perubahan ini masih terlalu kecil dampaknya karena hanya menggunakan kondisi sebelumnya yakni Permen 8/2017 sebagai pembanding.

“Untuk sampai ke tahap menarik dan mendatangkan investasi lagi, menurut saya, masih perlu pembuktian dan penyelesaian hal-hal atau masalah lain yang menjadi kunci ease of doing business,” katanya.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengatakan perubahan yang dilakukan pemerintah diharapkan membawa angin segar terhadap investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi. Kendati demikian, kerja pemerintah belum usai karena split akhir yang didapatkan kontraktor belum termasuk pajak.

Menurutnya, faktor pajak yang belum pasti bisa menggoyah upaya pemerintah untuk memperbaiki keekonomian pengembangan lapangan melalui penambahan split.

“Kami meminta agar mekanisme perpajakan diperjelas dan meminta pemerintah agar tak menambah ruang ketidakpastian lainnya yang bisa bertentangan dengan kinerja positif yang telah dilakukan pada gross split,” katanya.

Gross Split Jamin Return Lebih Tinggi

Jawa Pos; 11 September 2017

JAKARTA Kementerian Energi dan Sumber Daya Mine ral ( ESDM) telah merevisi peraturan menteri tentang bagi hasil migas. Pemerintah memberikan delapan insentif kepada kontraktor migas agar investasi di hulu migas lebih atraktif.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, revisi aturan tentang gross split tersebut memberikan sentimen positif bagi iklim investasi migas. Perbedaan terletak pada sisi perputaran uang yang diperoleh kontraktor.

Meski demikian, peraturan baru itu memberikan jaminan tingkat pengembalian biaya investasi ( internal rate of return/ IRR) yang lebih baik sehingga masih menarik investor untuk melakukan eksplorasi lapangan migas baru.

Memang (balik modal dengan metode gross split) tidak secepat cost recovery. Tapi, kalau di peraturan baru dikatakan bahwa IRR akan positif, saya kira kontraktor sudah dapat jaminan akan untung, imbuh Komaidi.

Pemerintah dan kontraktor, tegas dia, memang harus diuntungkan dalam investasi migas. Dari sisi pemerintah, penerimaan negara bertambah, sedangkan kontraktor tetap mendapat keuntungan dari investasi di sektor hulu migas agar tetap mau mengeksplorasi ladang minyak baru.

Kalau hanya melihat sisi eksploitasi yang menjadi sumber penerimaan pajak dan tidak memikirkan kepentingan investor, penerimaan pajak dari migas akan tetap seret, jelas Komaidi.

Pemerintah memang telah melakukan kalibrasi terhadap 12 lapangan migas untuk memberikan IRR yang lebih tinggi. Tingkat IRR terendah ditetapkan 2,1 persen hingga yang tertinggi 15,7 persen. Penambahan IRR dilakukan melalui skema gross split yang lebih besar 6,5 persen dari gross split lama.

Dengan begitu, rata-rata IRR yang didapatkan pada gross split baru sebesar 28,8 persen. IRR tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata IRR saat menggunakan sistem cost recovery yang hanya 24,8 persen.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengapresiasi revisi aturan tersebut. Menurut dia, investasi migas terkait erat dengan iklim usaha, kepastian hukum, dan persoalan fiskal yang kompetitif.

Penurunan tingkat keuntungan dari bisnis migas membuat investor semakin selektif menanamkan modalnya. Hanya proyek migas dengan imbal hasil kompetitif yang akan dikerjakan.

Dengan perubahan aturan tentang bagi hasil tersebut, Christina meyakini daya saing industri migas di Indonesia semakin meningkat. Apresiasi juga diberikan untuk kenaikan insentif kepada kontraktor, penambahan progressive split (dalam harga gas), serta kenaikan progressive split pada tahap awal produksi.

Christina juga mengapresiasi adanya insentif untuk pengembangan lapangan di luar rencana pengembangan ( plan of development) awal. Kami juga senang opsi tipe kontrak untuk PSC perpanjangan masih dipertahankan, imbuhnya.

Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menilai, skema baru gross split lebih menarik dibandingkan sebelumnya. Namun, kontraktor masih melakukan kalkulasi ulang jika dibandingkan dengan cost recovery. Setiap lapangan kan beda. Ada yang lebih bagus, ada yang lebih rendah, ada yang besar, jelasnya.