Pemerintah Diminta Hapus Tender Pengadaan BBM PSO

PETROMINER; 6 September 2017

Jakarta, Petrominer Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mendesak Pemerintah untuk menghentikan kebijakan tender pengadaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Alasannya, kebijakan tender pengadaan BBM PSO itu sudah tidak relevan lagi diterapkan.

Seperti diketahui, BPH Migas tengah melakukan proses tender pengadaan BBM PSO untuk tahun 2018. Namun, BBM sebagai kebutuhan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak layak apabila swasta yang melakukan pengadaannya. Sebab, swasta selalu berorientasi pada keuntungan.

Harga BBM PSO itu ditetapkan Pemerintah, namun menjadi tidak relevan jika proses pengadaan dan penetapan harganya dilakukan melalui proses tender, kata Marwan dalam diskusi Menyoal Kebijakan Tender Pengadaan BBM PSO, Rabu (6/9).

Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro. Dia mengatakan dasar hukum pelaksanaan tender BBM PSO sudah selayaknya direvisi. Apalagi, kebijakan tender ini diduga sudah ada muatan kepentingan dari pihak-pihak tertentu.

Pemerintah harus melihat secara keseluruhan jangan hanya mengacu pada regulasi saja, kalau emang regulasi ini salah direvisi, kata Komaidi.

Dalam kesempatan itu, Marwan mengakui penetapan tender itu memang memiliki dasar hukumnya yaitu UU Migas no 22/2001, PP No 36/2004 dan Peraturan BPH Migas No 09/P/BPH Migas/XII/2005. Namun menurutnya dasar hukum ini sudah selayaknya direvisi secara tegas agar tidak lagi membebani PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang memiliki kompetensi dalam memproduksi hingga menyalurkan BBM PSO.

Dia menilai kebijakan ini tidak lepas dari upaya pemerintah yang saat ini berkuasa untuk mendapatkan pencitraan yang baik. Pemerintah seolah-olah ingin diakui telah melakukan intervensi pada penetapan harga BBM PSO. Namun disisi lain faktanya, Pertamina sebagai distributor dan penyedia BBM PSO harus nombok akibat harga yang ditetapkan Pemerintah dianggap membebani BUMN ini.

Problem ada dit tangan Pemerintah yang sikapnya abu-abu, ini tidak lepas dari pencitraan yang tidak mau buruk tapi BUMN jadi korban. BUMN yang manapun itu termasuk Pertamina bukan milik pemerintah yang berkuasa, itu semua milik rakyat, kita ingatkan pemerintah harus menyadari bahwa ini perusahaan negara yang harus dilindungi, ucap Marwan.

Idealnya dalam pengadaan BBM PSO yang harusnya dilakukan oleh Pemerintah adalah pengadaan LPG 3 Kg. Tanpa melibatkan swasta dalam pengadaannya, terbukti penyaluran gas melon ini berjalan cukup baik dan tidak merugikan Pertamina.

Ini memang kebijakan yang benar dan relevan sesuai dengan amanat UU. Kan status BBM PSO sama dengan LPG 3 KG maka sepantasnya dalam proses pengadaaannya jua sama tanpa tender, papar Marwan.

Ada revisi, gross split dinilai tetap tak menarik

KONTAN: Minggu, 03 September 2017A� 22:35 WIB

KONTAN.CO.ID –  Tengoklah angka realisasi investasi hulu migas hingga semester I 2017 yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hingga akhir Juni 2017, investasi hulu migas hanya mencapai US$ 4,8 miliar. Sementara target investasi migas yang ditetapkan pemerinrah tahun ini sebesar US$ 22,2 miliar.

Revisi aturan gross split yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 52 Tahun 2017 pun dianggap tidak akan mampu meningkatkan investasi hulu migas Indonesia yang tengah dalam kondisi kritis.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan revisi gross split saat ini memang relatif lebih baik daripada aturan mengenai gross split yang tertuang dalam Permen nomor 8 tahun 2017.

Dalam revisi aturan gross split, pemerintah memang mencoba untuk lebih fleksibel dalam menyesuaikan variabel untuk tambahan bagi hasil (split).

Namun jika dibandingkan dengan skema cost recovery, revisi gross split masih kurang menarik. “Kalau dibanding cost recovery, dari sisi cash flow tetap tidak kompetitif. Yang satu negara yang membiayai, kalau ini sepenuhnya dibiayai kontraktor.Kecepatan cash flow belum bisa bersaing,”kata Komaidi ke KONTAN pada Minggu (3/9).

Menurut Komaidi, kontraktor kontrak kerja sama sampai saat ini masih mempertimbangkan cash flow. Sehingga skema yang paling tepat digunakan tetaplah cost recovery.

Apalagi resiko dalam skema cost recovery relatif sedikit dibanding skema gross split. Terutama dengan banyaknya masalah investasi di Indonesia yang tak kunjung selesai seperti maslaah kepastian hukum, perizinan yang kompleks, hingga masalah lahan.

Pengorbanan pemerintah untuk mengurangi bagiannya dalam bagi hasil pun dianggap tidak berhasil menarik investor ke hulu migas Indonesia. “Pemerintah berkorban, bagiannya sudah berkurang banyak, tapi belum membuat kontraktor tertarik,”imbuh Komaidi.

Untuk itu Komaidi menyarankan agar pemerintah tidak memaksakan investor untuk menggunakan gross split. Pemerintah sebaiknya membuat investor untuk memilih skema yang tepat untuk mengelola blok-blok migas di Indonesia.

“Silahkan jalan dua-duanya, karena sebanyak apapun intensif variabel diubah, sepanjang cash flow masih jadi perhatian utama K3S, maka gross split tidak menarik. Tapi untuk pengelolaan wilayah kerja yang sudah tidak perhatikan cash flow, maka gross split lebih menarik karena lebih simple,”jelasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pengamat Migas dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi yang mengatakan revisi gross split yang hanya menaikkan presentase untuk kontraktor tidak akan mampu menarik kontraktor mengikuti lelang SK Migas tahun ini.

“Bagi kontraktor yang sudah nyaman dengan PSC, membutuhkan waktu memperhitungkan keuntungan dalam menggunakan gross split. Mestinya, pemerintah memberikan opsi bagi kontraktor untuk memilih PSC atau gross split selama lima tahun. Setelah 5 tahun, Pemerintah baru mewajibkan penggunaan gross split,”kata Fahmy.

Sementara itu, Indonesia Petroleum Association (IPA) masih belum mau berkomentar terkait revisi gross split tersebut. “Tunggu besok jawaban kami ya, sedang dipelajari,”ungkap Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong.

 

Masihkah Industri Hulu Migas Berperan Penting untuk Pembangunan?

Kompas.com – 28/08/2017, 11:21 WIB

KOMPAS.com  Reforminer Institute mencatat, pada periode 1979-1984 industri migas menyumbangkan penerimaan negari sebesar 62,88 persen. Namun, kini porsi penerimaan negara dari industri tersebut hanya 4,7 persen. Lalu, masihkah industri ini memiliki peran besar bagi pembangungan nasional?

Pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, industri hulu migas masih jadi salah satu penopang pembangunan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Republik yang stabil pada rentang 5-6 persen per tahun membutuhkan pasokan energi yang dapat diandalkan dan berkelanjutan.

Produksi dan cadangan migas yang cukup diperlukan untuk menjamin ketersediaan energi nasional dan mengurangi ketergantungan energi nasional dari impor, ujar Rakhmanto saat dihubungi Kompas.com, Jumat (21/7/2017).

Selain menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, industri hulu migas nasional kini berperan pula sebagai pendorong kegiatan perekonomian nasional.

Manajer Pemberdayaan Nasional Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Bayu Murbandono membenarkan hal itu. Menurut dia, keadaan tersebut bisa terjadi karena aktivitas di sektor migas memberikan multiplier effect atau efek berganda pada industri lain.

Industri ini membutuhkan banyak tenaga kerja mulai dari level buruh sampai tenaga ahli. Industri ini juga membutuhkan pengadaan barang dan jasa yang melibatkan sektor lain, kata Bayu pada Kamis (8/6/2017).

Hasil studi SKK migas bersama Universitas Indonesia pada 2015 mendapati fakta, setiap investasi 1 juta dollar AS mampu menciptakan nilai tambah 1,6 juta dollar AS. Lalu, meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) 0,7 juta dollar AS dan membuka lapangan kerja baru sebanyak 100 orang.

Hal itu terjadi karena SKK Migas mengeluarkan Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur pengelolaan rantai suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) di hulu migas. Dalam PTK ini, KKS wajib melibatkan perusahaan dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa.

Maka dari itu, jangan heran kalau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di industri hulu migas pada 2015 mencapai 68 persen atau senilai 7,9 juta dollar AS. Capaian itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni 54 persen.

Tak ada naik BBM di 2018, ini tanggapan pengamat

www.kontan.co.id; Senin, 21 Agustus 2017 21:15 WIB

KONTAN.CO.ID – Asumsi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tahun depan dinilai masuk akal. Sebab, harga minyak mentah tahun depan diperkirakan tidak akan bergerak jauh dari saat ini.

Peneliti dan Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto memperkirakan, harga minyak mentah 2018, kemungkinan masih akan bergerak stagnan di kisaran US$ 45-US$ 50 per barel. Kisaran itu masih sesuai dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang dipatok pemerintah dalam Nota Keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2018 sebesar US$ 48 per barel.

“Jadi, asumsi pemerintah saat ini (bahwa tidak ada kenaikan harga BBM tahun depan) sebenarnya cukup masuk akal,” kata Pri Agung kepada KONTAN, Senin (21/8).

Meski demikian, pemerintah perlu memperhatikan aspek keuangan PT Pertamina. Sebab, di level harga BBM saat ini saja perusahaan pelat merah tersebut telah menalangi selisih harga yang seharusnya telah disesuaikan sejak beberapa bulan lalu.

Dalam RAPBN 2018, pemerintah mematok asumsi ICP sebesar US$ 48 per barel. Dengan asumsi ICP tahun depan yang sama dengan tahun ini, pemerintah menargetkan anggaran subsidi energi 2018 sebesar Rp 103,4 triliun. Jumlah itu terdiri dari subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram (kg) sebesar Rp 51,1 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 52,2 triliun.

“Subsidi energi tahun depan dengan asumsi tidak ada kenaikan BBM, tidak ada kenaikan elpiji, dan kenaikan listrik,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2018 di kantornya, Jakarta, Senin (21/8).

Aneh, RI Mau Impor LNG dari Singapura yang Tak Punya Ladang Gas

www.detik.com: Rabu 23 Aug 2017, 09:48 WIB

Jakarta– Perusahaan asal Singapura, Keppel Offshore and Marine, pekan lalu datang ke Kantor Kemenko Kemaritiman untuk menawarkan pasokan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) kepada pemerintah Indonesia.

LNG tersebut rencananya untuk bahan bakar pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas di beberapa wilayah Indonesia. Harga gas dari Singapura diklaim cukup kompetitif sehingga dipertimbangkan oleh pemerintah.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, heran dengan rencana tersebut. Ini aneh karena Singapura adalah negara yang sama sekali tidak punya cadangan minyak dan gas bumi.

“Agak lucu Singapura ekspor gas ke kita, mereka kan enggak punya sumber gas sama sekali,” kata Komaidi kepada detikFinance, Rabu (23/8/2017).

Apalagi, Indonesia adalah negara eksportir gas. Sampai saat ini pun Indonesia masih mengekspor gas ke Singapura.

“Enggak logis juga, mereka (Singapura) kan selama ini beli dari kita. Jangan-jangan gas kita sendiri mau dijual lagi ke sini,” ujarnya.

Memang ada perkiraan bahwa Indonesia sudah membutuhkan gas impor sekitar tahun 2019-2020 karena adanya peningkatan kebutuhan di dalam negeri, terutama untuk kelistrikan.

Tapi, sebaiknya Indonesia membeli langsung dari negara produsen gas, bukan dari Singapura yang hanya perantara saja. Tentu harganya bisa lebih efisien.

“Harusnya beli langsung ke produsen. Rencana ini perlu dikaji ulang untuk kepentingan jangka panjang,” tutupnya.

Target Lifting Minyak Bumi Tahun Depan Semakin Rendah

KATADATA: Jum’at 18/8/2017, 17.41 WIB

Para investor ini menilai sebagian regulasi ini bukan memfasilitasi, melainkan menghambat. Salah satu yang dikeluhkan adalah peraturan menteri mengenai Gross Split, ujar Komaidi.

Pemerintah telah menetapkan target capaian produksi siap jual (lifting) minyak bumi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sebesar 800 ribu barel per hari (bph). Target tersebut lebih rendah dari tahun ini.

Adapun tahun ini, target lifting dalam APBN dan APBNP 2017 dipatok 815 ribu bph. Sementara itu, sejak awal Januari hingga akhir Juni lalu, capaiannya masih 802 ribu bph.

Di sisi lain, target lifting gas dalam RAPBN 2018 lebih tinggi dari tahun ini. Tahun depan, pemerintah mematok target lifting gas 1,2 juta barel setara minyak per hari (bsmph). Sedangkan tahun ini 1,15 juta bsmph.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan target lifting minyak yang lebih rendah dan gas yang lebih tinggi ini memang menjadi salah satu fenomena yang wajar. Apalagi temuan cadangan baru sangat minim. Secara relatif cadangan gas Indonesia saat ini lebih besar dibandingkan minyak, kata dia kepada Katadata, Jumat (18/10).

Untuk meningkatkan lifting minyak itu, salah satu kuncinya adalah eksplorasi. Namun, eksplorasi juga tidak mudah karena butuh perangkat regulasi dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada iklim investasi.

rapbn-2018-target-lifting-minyak-makin-turun-by-katadata

Namun, menurut Komaidi, beberapa regulasi yang ada di Indonesia masih banyak dikeluhkan oleh kontraktor migas. Para investor ini menilai sebagian regulasi ini bukan memfasilitasi, melainkan menghambat. Salah satu yang dikeluhkan adalah peraturan menteri mengenai Gross Split, ujar dia.

Sejak awal Januari hingga akhir Juni, investasi hulu migas mencapai US$ 3,98 miliar, dengan rincian US$ 3,96 untuk blok eksploitasi, sisanya eksplorasi. Sedangkan target dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) tahun ini adalah US$ 13,80 miliar.

Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, capaian tersebut juga masih rendah. Sepanjang semester I tahun 2016, realisasi hulu migas mencapai US$ 5,65 miliar. Rinciannya investasi di blok eksploitasi sebesar US$ 5,51 miliar, sisanya blok eksplorasi.

Pengembangan Memerlukan Dukungan

KOMPAS; 14 Agustus 2017

JAKARTA, KOMPAS  Pengembangan energi terbarukan di Indonesia perlu keberpihakan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan secara ekonomis. Tanpa terobosan, target porsi energi terbarukan 23 persen di 2025 dalam bauran energi nasional terbilang sulit diwujudkan. Faktor murahnya harga minyak dunia turut menjadi penghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor keekonomian bisnis tersebut. Sementara itu, faktor keekonomian sangat bergantung pada kebijakan yang dibuat pemerintah. Menurut dia, pengembangan energi terbarukan di Indonesia saat ini belum bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Masalahnya cukup mendasar, yaitu keekonomian pengembangan energi terbarukan itu sendiri. Turunannya adalah dibutuhkan insentif tertentu dan dukungan kuat pemerintah lewat kebijakan. Tanpa itu, pengembangan energi terbarukan akan jalan di tempat, kata Komaidi, Minggu (13/8), di Jakarta.

Target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025 setara dengan pembangkit listrik 45.000 megawatt dari energi terbarukan. Sementara itu, capaian porsi energi terbarukan saat ini baru berkisar 7-8 persen. Artinya, dalam kurun 8 tahun ke depan harus ada peningkatan porsi energi terbarukan sebesar tiga kali lipat dari sekarang. Jadi, memang diperlukan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pengembangan energi terbarukan, ujar Komaidi.

Menurut Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, selain masalah kebijakan atau insentif, pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan kurang ekonomis lantaran skalanya kecil. Ia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di Uni Emirat Arab (UEA) yang kapasitasnya mencapai ribuan megawatt. Dengan pengembangan sebesar itu, harga jualnya bisa murah dan ekonomis bagi pengembang.

Di Indonesia belum bisa sebesar itu. Paling hanya sekitar puluhan megawatt dan letaknya pun tersebar. Akibatnya adalah kurang ekonomis bagi pengembang karena biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan penjualan tenaga listriknya tidak menguntungkan. Di UEA harga jualnya bisa hanya 3 sen dollar AS per kilowatt jam. Angka itu belum memungkinkan diterapkan di Indonesia, ucap Fabby.

Bahan bakar nabati

Nasib serupa dialami bahan bakar nabati, terutama jenis bioetanol. Kebijakan pemerintah lewat kewajiban pencampuran pada bahan bakar minyak sebanyak 2 persen tidak berjalan. Bahkan, peraturan menteri mengenai bioetanol, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain dinyatakan dilonggarkan.

Penyebabnya adalah biaya pengembangan bioetanol lebih mahal daripada bahan bakar minyak jenis premium. Apabila bioetanol dicampurkan ke dalam premium, harga jual premium akan membengkak.

Biaya Manfaat Kebijakan Gross Split
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Anggaran subsidi energi terlalu mepet

www.kontan.co.id: Minggu, 30 Juli 2017 / 14:23 WIB

JAKARTA. Anggaran subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 diperkirakan cukup terbatas. Apalagi pemerintah telah memastikan tidak adanya perubahan harga energi hingga September dan akhir tahun ini.

Dalam APBN-P 2017, pagu anggaran subsidi energi dipatok hanya sebesar Rp 89,86 triliun, yang terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji tiga kilo gram (kg) Rp 44,49 triliun serta subsidi listrik sebesar Rp 45,38 triliun.

Jumlah ini turun dari usulan awal pemerintah dalam nota keuangan Rancangan APBN-P 2017 sebesar Rp 103,1 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM dan elpiji tiga kg Rp 51,11 triliun serta subsidi listrik Rp 51,99 triliun.

Penurunan tersebut sejalan dengan penurunan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 48 per barel dari usulan awal US$ 50 per barel. Namun, pagu anggaran final itu lebih rendah dari kesepakatan antara pantia kerja (panja) belanja sebelumnya yang sebesar Rp 101,19 triliun.

Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sebelumnya memastikan bahwa hingga 30 September nanti, tidak akan ada kenaikan harga BBM dan elpiji tiga kg. Jonan juga memastikan, tidak ada kenaikan tarif listrik hingga akhir tahun 2017.

Peneliti dan Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, anggaran subsidi energi tersebut mepet dan berpotensi membengkak walaupun tidak terlalu besar. Ia memperkirakan, pembengkakan anggaran itu masih kurang dari Rp 5 triliun.

Pri Agung mengatakan, jika asumsi ICP sesuai perkiraan pemerintah atau akan stabil di kisaran US$ 45-US$ 50 per barel, maka asumsi kebijakan lain yang digunakan pemerintah dalam menyusun anggaran itu perlu menjadi perhatian.

“Khususnya tentang tarif listrik untuk golongan 900 volt ampere (VA). Apakah akan ada pengurangan jumlah pelanggan lagi di golongan ini yang menerima subsidi atau tidak?” kata Pri Agung kepada KONTAN, Jumat (28/7) lalu.

Tak hanya itu, potensi pembengkakan anggaran juga bisa terjadi pada subsidi elpiji 3 kg. Sebab, pemerintah masih menerapkan kebijakan distribusi elpiji 3 kg secara terbuka.

Di sisi lain, ia mengaku memahami pemerintah yang harus menyeimbangkan postur APBN secara keseluruhan. Sebab, pemerintah ingin menjaga defisit anggaran yang berpotensi muncul dari anggaran lain.

Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani memastikan, anggaran subsidi energi tersebut tetap memperhitungkan kebijakan pemerintah. Misalnya, untuk kebijakan tarif listrik.

“Bahwa yang (golongan) 450 volt ampere tetap dikasih (subsidi) dan 900 volt ampere yang dinilai miskin tetap dikasih subsidi dengan penambahan 2,4 juta pelanggan,” kata Askolani beberapa waktu lalu.

lnvestasi Hulu Migas & Krisis Kepercayaan
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

Bisnis Indonesia; Senin 31 Juli 2017

Pertumbuhan ekonomi yang stabil pada rentang 5%-6% per tahun atau lebih memerlukan investasi dan pasokan energi yang dapat diandalkan dan berkelanjutan.

Sektor hulu migas, yang aktifitas utamanya terdiri dari kegiatan eksplorasi, pengembangan dan produksi, memiliki peran penting untuk kedua elemen tersebut, yaitu melalui investasi dan melalui penyediaan energi migas sebagai bahan bakar primer.

Keduanya menggerakkan roda perekonominan dalam arti sesungguhnya. Kontribusi hulu migas nasional ke penerimaan negara saat ini memang tidak lagi signifikan, kurang dari 5% dari keseluruhan total penerimaan negara di APBN. Namun, tidak lalu berarti bahwa sektor ini tidak lagi penting.

Adalah keliru jika menganggap sektor hulu migas tidak lagi penting bagi perekonomian nasional hanya dengan melihat kontribusinya terhadap penerimaan negara yang saat ini rendah.

Besaran nilai investasi hulu migas adalah sangat signifikan secara relatif terhadap besaran nilai investasi nasional total secara keseluruhan.

Pada 2014, saat total nilai investasi nasional diluar sektor hulu migas sekitar Rp541,28 triliun, nilai investasi hulu migas adalah Rp275,4 triliun. Rasia diantara keduanya sekitar 2:1. Pada 2015, saat total nilai investasi nasional adalah Rp574,69 triliun, investasi hulu migas sekitar Rp206,55 triliun atau perbandingan keduanya mendekati 3: 1.

Sementara pada 2016, nilai keduanya sekitar Rp607,25 triliun dan Rp151,2 triliun, yang berarti 4:1 dalam rasionya. Dari angka-angka di atas, kita bisa melihat setidaknya dua hal.

Pertama, besaran investasi di hulu migas jelas tidak bisa dianggap remeh. Nilai investasi yang berputar di sektor hulu migas selalu dalam skala ratusan triliun rupiah, sama dengan skala ratusan triliun rupiah untuk total investasi nasional secara keseluruhan.

Jelas bahwa magnitude investasi hulu migas tidak main-main. Efek berganda yang dihasilkannya dalam perekonomian nasional cukup signifikan. Berdasarkan angka dari SKK Migas dan Bank Indonesia, Produk Domestik Bruto (PDB) hulu migas pada 2016 adalah US$23,7 miliar atau berkontribusi sekitar 3,3% terhadap PDB keseluruhan. Setiap US$1 juta investasi di hulu migas memiliki angka pengganda 1,6 kali lipat, atau menciptakan nilai tambah US$1,6 juta dan menghasilkan tambahan PDB sebesar US$0,7 juta.

Kedua, ada penurunan yang sangat signifikan dalam hal besaran investasi hulu migas selama periode 2014-2016 tersebut. Penurunan pada periode 2014-2015 adalah Rp68,8 trilliun atau turun 25%.

Pada 2015-2016 investasi hulu migas kembali turun Rp5S,4 triliun atau turun 26,8%. Terhadap nilai investasi pada 2014, nilai investasi hulu migas pada 2016 telah turun Rp124,2 triliun atau turun sekitar 45%.

Jika beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo sempat kecewa karena Raja Salman hanya membawa investasi Rp89 triliun, sebenarnya angka itu masih kalah dengan nilai investasi hulu migas yang hilang pada 2015-2016 itu.

Hilangnya investasi yang sebelumnya sudah berputar di Indonesia sebesar itu dalam waktu yang sangat singkat, bukan hanya sekadar mengecewakan tetapi menyedihkan.

Ironis, karena Presiden Joko Widodo kemana-mana dan dalam setiap kesempatan selalu berupaya mendatangkan dan menarik investasi, tetapi malah investasi yang sudah ada di dalam dan di depan mata kita sendiri seperti dibiarkan pergi begitu saja.

Akan halnya yang terjadi di tahun ini, kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Hingga akhir Juni 2017, dari rencana investasi huiu migas yang dianggarkan dalam program kerja para kontraktor hulu migas sebesar US$13,8 miliar, yang terealisasi baru US$3,98 miliar atau hanya sekitar 29%.

kita lebih tidak mampu lagi dalam menjaga dan menarik investasi di hulu migas. Jika kita mengasumsikan pola yang sama akan berlanjut di paruh kedua, tahun ini realisasi investasi hulu migas bisa jadi hanya US$8 miliar atau sekitar Rp 108 triliun.

Ini berarti akan turun lagi sekitar Rp43,2 triliun atau 28,6% dari 2016.

MINIM PEMINAT

Gejala dan tanda ke arah itu terlihat sangat jelas. Dari 14 wilayah kerja migas yang dilelang sejak tahun lalu, hanya satu yang diminati investor. Dari investasi yang dibelanjakan kontraktor untuk kegiatan eksplorasi, besaran dan porsinya dari tahun ke tahun selalu sangat kecil dan terus mengecil.

Dari hanya US$1, 1 miliar pada 2014, turun menjadi US$500 juta pada 2015, dan turun lagi menjadi hanya sekitar US$100 juta hingga November 2016 lalu (tidak sampai 1% dari total investasi hulu migas).

Padahal, investasi untuk eksplorasi adalah indikator utama dalam melihat seberapa tertarik para kontraktor migas akan menanamkan investasinya dan hal itu akan menentukan investasi di tahapan selanjutnya.

Jika eksplorasi saja hampir tidak ada, penemuan lapangan migas baru yang signifikan juga tidak akan ada. Tidak akan ada pula investasi lanjutan di kegiatan pengembangan lapangan dan produksi.

Pemberlakuan kontrak bagi hasil sistem Gross Split yang diterapkan sejak awal 2017, menurut saya akan makin memperburuk keadaan. Gross Split sangat lebih tidak menarik untuk mendorong investasi eksplorasi dibandingkan kontrak bagi hasil biasa, karena kontraktor harus menanggung secara penuh risiko investasi selama masa kontrak.

Apalagi, persoalan perizinan yang sangat banyak dengan alur yang sangat panjang juga masih belum tersentuh. Jika pemerintah mengklaim telah menyederhanan perizinan dari 104 perizinan migas hingga hanya menjadi 6 perizinan ( 4 hilir dan 2 hulu), diantaranya melalui Permen ESDM No. 29/2017, hal itu tidaklah konkret.

Dua perizinan hulu migas yang disasar dalam peraturan ini hanyalah perizinan yang sifatnya administratif yang hanya berkaitan dengan penyiapan wilayah kerja migas di lingkup kerja Ditjen Migas saja.

Sementara perizinan hulu migas yang sifatnya lebih operasional, di wilayah kerja migas yang telah dioperasikan untuk aktifitas eksplorasi, pengembangan, dan produksi, jumlahnya masih tetap 341 perizinan dan tersebar di sekitar 19 kementerian/lembaga/instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah. Saat ini, jumlah itu disinyalir bahkan bertambah menjadi 373 perizinan.

Dengan kondisi seperti itu, saya tidak bisa membayangkan entah berapa triliun rupiah lagi investasi hulu migas yang akan terus menerus hilang. Harga minyak yang rendah bukan (lagi) alasan yang tepat, karena investasi hulu migas di tingkat global sebenarnya telah menunjukkan gejala peningkatan, yang pada tahun ini diproyeksikan naik US$450 miliar.

Peringkat investment grade ekonomi Indonesia tampaknya sama sekali tidak terefleksikan di sektor hulu migas. Menurut saya, sudah saatnya Presiden Joko Widodo perlu melakukan blusukan langsung di sektor hulu migas untuk menarik kembali investasi ratusan triliun rupiah yang terbang dari perekonomian nasional.

Terus menurunnya investasi hulu migas bukan hanya sekadar hilangnya angka-angka itu saja tetapi adalah indikasi kuat hilangnya (terjadinya krisis) kepercayaan kepada negara dan pemerintah kita.