Friday, December 6, 2024
HomeReforminer di Media2017Pengembangan Memerlukan Dukungan

Pengembangan Memerlukan Dukungan

KOMPAS; 14 Agustus 2017

JAKARTA, KOMPAS  Pengembangan energi terbarukan di Indonesia perlu keberpihakan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan secara ekonomis. Tanpa terobosan, target porsi energi terbarukan 23 persen di 2025 dalam bauran energi nasional terbilang sulit diwujudkan. Faktor murahnya harga minyak dunia turut menjadi penghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor keekonomian bisnis tersebut. Sementara itu, faktor keekonomian sangat bergantung pada kebijakan yang dibuat pemerintah. Menurut dia, pengembangan energi terbarukan di Indonesia saat ini belum bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Masalahnya cukup mendasar, yaitu keekonomian pengembangan energi terbarukan itu sendiri. Turunannya adalah dibutuhkan insentif tertentu dan dukungan kuat pemerintah lewat kebijakan. Tanpa itu, pengembangan energi terbarukan akan jalan di tempat, kata Komaidi, Minggu (13/8), di Jakarta.

Target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025 setara dengan pembangkit listrik 45.000 megawatt dari energi terbarukan. Sementara itu, capaian porsi energi terbarukan saat ini baru berkisar 7-8 persen. Artinya, dalam kurun 8 tahun ke depan harus ada peningkatan porsi energi terbarukan sebesar tiga kali lipat dari sekarang. Jadi, memang diperlukan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pengembangan energi terbarukan, ujar Komaidi.

Menurut Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, selain masalah kebijakan atau insentif, pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan kurang ekonomis lantaran skalanya kecil. Ia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di Uni Emirat Arab (UEA) yang kapasitasnya mencapai ribuan megawatt. Dengan pengembangan sebesar itu, harga jualnya bisa murah dan ekonomis bagi pengembang.

Di Indonesia belum bisa sebesar itu. Paling hanya sekitar puluhan megawatt dan letaknya pun tersebar. Akibatnya adalah kurang ekonomis bagi pengembang karena biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan penjualan tenaga listriknya tidak menguntungkan. Di UEA harga jualnya bisa hanya 3 sen dollar AS per kilowatt jam. Angka itu belum memungkinkan diterapkan di Indonesia, ucap Fabby.

Bahan bakar nabati

Nasib serupa dialami bahan bakar nabati, terutama jenis bioetanol. Kebijakan pemerintah lewat kewajiban pencampuran pada bahan bakar minyak sebanyak 2 persen tidak berjalan. Bahkan, peraturan menteri mengenai bioetanol, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain dinyatakan dilonggarkan.

Penyebabnya adalah biaya pengembangan bioetanol lebih mahal daripada bahan bakar minyak jenis premium. Apabila bioetanol dicampurkan ke dalam premium, harga jual premium akan membengkak.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments