Lampu Kuning Industri Hulu Migas RI

(Detik.com, 26 Juli 2017)

Jakarta– Pagi hari tanggal 7 Juli 2017, para petinggi dari 52 perusahaan hulu migas berkumpul di Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Ada perwakilan dari Chevron, Exxon, Total, dan sebagainya.

Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 10.00 WIB sampai 10.45 WIB itu, Jonan menawarkan 15 Wilayah Kerja (WK/blok) migas yang dilelang tahun ini. Jonan sengaja mengumpulkan bos-bos perusahaan hulu migas itu karena lelang blok migas 2 tahun terakhir gagal total. Pada 2015 dan 2016, tidak satu pun blok migas diminati investor.

Sejurus dengan itu, investasi di sektor hulu migas Indonesia pada 2016 menurun 27% dibanding 2015, dari US$ 15,34 miliar menjadi US$ 11,15 miliar. Dengan kata lain, Indonesia kehilangan investasi sebesar US$ 4,19 miliar atau Rp 55 triliun (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.300) dari hulu migas pada tahun lalu.

Penurunan investasi ini berimplikasi pada kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru. Semakin sedikit perusahaan hulu migas yang mau mencari minyak dan gas bumi di Indonesia.

Di 2013, jumlah wilayah eksplorasi di Indonesia masih 238. Pada 2016 menyusut menjadi 199 wilayah saja, 37 di antaranya sedang dalam proses pengakhiran kontrak. Akibat sepinya eksplorasi, tak ada penemuan cadangan migas baru di Indonesia. Sementara jumlah cadangan minyak yang terbukti terus merosot dari 3,7 miliar barel pada 2013 menjadi 3,3 miliar barel saat ini.

Pekan lalu, ExxonMobil pun memutuskan untuk mengembalikan Blok East Natuna kepada pemerintah Indonesia. Perusahaan migas raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu tak mau berinvestasi lagi di ladang gas terbesar Indonesia yang memiliki cadangan sampai 46 TCF.

Pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat bahwa situasi ini bukan hanya karena jatuhnya harga minyak dunia saja, namun juga akibat iklim investasi yang tidak menarik.

“Keluarnya Exxon dari East Natuna adalah hal yang wajar. Kondisi sektor hulu migas kita sudah lama terpuruk, tapi dalam 1 tahun terakhir lebih buruk, orang mau investasi takut,” kata Pri Agung kepada detikFinance, Rabu (26/7/2017).

Ia menyebut Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang skema gross split sebagai salah satu contoh aturan baru yang menurunkan iklim investasi.

Investor makin tak nyaman karena pemerintah cenderung memaksakan kebijakan, tak mau mendengar masukan. “Seolah-olah pihak lain selalu keliru. Misalnya soal gross split, kalau dikritik tidak mau terima,” ucapnya.

Contoh lainnya, pemerintah cenderung memaksakan kehendak pada Inpex saat membahas pengembangan Blok Masela. “Masela bisa tidak jalan kalau Inpex terus didorong-dorong pemerintah tanpa win-win solution. Investor dipaksa kerja dengan IRR (Internal Rate Return) sekian persen. Padahal ini bisnis berisiko tinggi,” tukas dia.

Kalau pemerintah tak mengubah cara pandang dan sikapnya dalam memperlakukan investor hulu migas, bukan hanya ExxonMobil saja yang akan mengembalikan blok migas.

“Masela juga bisa seperti itu. Pada suatu titik, Inpex akan bersikap. Mereka sekarang masih menunggu,” katanya.

Untuk memperbaiki iklim investasi hulu migas memang tidak bisa dalam waktu singkat. Tapi pertama-tama pemerintah harus ramah pada investor, mau menerima masukan dan berkomitmen melakukan perbaikan.

“Pemerintah perlu lebih banyak mendengar, jangan melihat dari sudut pandang sendiri yang belum tentu benar. Jangan memaksakan kehendak pada investor. Memang tidak bisa instant perbaikannya, butuh confidenttinggi dari investor,” Pri Agung menyarankan.

Jika tidak ada perbaikan, proyek-proyek migas yang amat strategis seperti Masela, East Natuna, dan IDD bakal jalan di tempat terus, bisa jadi investornya cabut seperti Exxon.

“Kalau cara memperlakukan investor seperti ini, ya investor pergi,” pungkasnya

Revisi Regulasi Cost Recovery dan Pajak Hulu Migas Tidak Menjamin Perbaikan Iklim Investasi

DUNIA ENERGI; Kamis, 20 Juli 2017

JAKARTA  Pemerintah diminta konsisten menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 sebegai revisi dari PP 79 Tahun 2010 tentang cost recovery dan pajak hulu minyak dan gas. Pasalnya, pemberlakukan PP tersebut tidak serta merta akan langsung meningkatkan investasi yang selama ini diharapkan pemerintah.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, mengatakan untuk bisa merasakan manfaat dari regulasi tersebut justru ada di langkah selanjutnya, yakni dari pemerintah dalam implementasi regulasi. Apalagi beleid tersebut berhubungan dengan dua kementerian, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.

Masih akan bergantung pada kebijakan dan keputusan menteri dalam pemberian insentif di eksploitasi dan juga peraturan menkeu sebagai peraturan pelaksananya, kata Pri kepada Dunia Energi, Kamis (20/7).

Namun dia menyambut positif adanya respon dari pemerintah terhadap keluhan para pelaku usaha terhadap kondisi indusri migas tanah air.

PP itu cukup positif di dalam mengakomodasi apa yang selama ini diminta KKKS. Tetapi efeknya masih akan bergantung implementasi selanjutnya, ungkap Pri.

Ada tujuh poin utama yang merupakan insentif terbaru bagi para KKKS dalam PP 27, yakni insentif perpajakan (periode eksplorasi dan eksploitasi migas). Ada beberapa insentif perpajakan yang diberikan, yakni pembebasan bea masuk, sepeti PPN, PPnBM, PPh 22 impor (tidak dipungut) dan PBB (pengurangan 100%). Khusus untuk periode eksploitasi diberikan berdasarkan pertimbangan keekonomian.

Insentif lainnya, biaya atas sharing facilities dikecualikan dari PPh dan tidak dipungut PPN. First Tranche Petroleum (FTP) juga tidak kena pajak. Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat bukan menjadi objek PPh dan PPN.

Prinsip field basis menjadi block basis. Artinya biaya operasi dari suatu field (lapangan) migas bisa di-reimburst (cost recovery) dari lapangan migas lainnya yang sudah berproduksi, selama masih dalam satu block. Selanjutnya adalah nilai depresiasi dapat dipercepat, agar keekonomian investor membaik.

Kepastian penerapan bagi hasil dinamis (sliding scale split). Misalnya, jika harga minyak sangat tinggi, pemerintah akan mendapatkan tambahan bagi hasil. Sebaliknya jika harga minyak rendah, kontraktor yang akan mendapatkan tambahan bagi hasil sehingga lebih fair.

DMO holiday. Biasanya kontraktor wajib menjual minyak bagiannya kepada negara dengan harga 10% dari harga minyak. Tetapi dengan DMO holiday, harga minyak yang dijual kepada negara bisa tetap 100%, jadi pasti lebih menarik bagi kontraktor.

Insentif lainnya adalah kepastian investment credit. Kontraktor akan mendapat tambahan pengembalian biaya modal untuk pengembangan lapangan migas.

Kepastian atas biaya apa saja yang bisa di cost recovery dan tidak boleh di cost recovery. Misalnya, biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat (CSR) pada masa eksplorasi dan eksploitasi boleh di cost recovery.

Produksi Sulit Dinaikkan; Usia Sumur Tua dan Harga Minyak Rendah

KOMPAS; 19 Juli 2017

JAKARTA, KOMPAS Kenaikan produksi minyak siap jual atau lifting bakal sulit direalisasikan pemerintah. Penyebabnya adalah harga minyak yang rendah dan kondisi sumur minyak yang tua sehingga produktivitasnya menurun. Target lifting minyak 815.000 barrel per hari belum terpenuhi.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, berkaca pada iklim hulu migas saat ini, desakan DPR agar pemerintah mampu menaikkan lifting minyak sulit dipenuhi. Secara teknis, sulit menaikkan lifting minyak lantaran usia sumur yang tua. Dari sisi bisnis, harga minyak yang rendah tidak bisa menimbulkan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan produksi minyak.

“Dengan dua kondisi tersebut, agak sulit memenuhi permintaan DPR soal menaikkan lifting tersebut,” ujar Komaidi, Selasa (18/7), di Jakarta.

Disinggung soal pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan lifting, menurut Komaidi, hal itu belum tentu ekonomis dengan harga minyak yang masih di bawah 50 dollar AS per barrel. Apalagi, kondisi setiap lapangan minyak berbeda-beda dan memerlukan perlakuan yang tidak sama. Akibatnya, ongkos mahal dari pemanfaatan teknologi tidak terkompensasi dengan harga minyak sekarang.

Sejumlah anggota Komisi VII DPR melontarkan desakan kepada pemerintah untuk menaikkan lifting minyak setidaknya sampai akhir tahun ini. Dalam patokan APBN 2017, lifting minyak ditetapkan 815.000 barrel per hari. Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi lifting minyak sampai akhir Juni 2017 adalah 802.000 barrel per hari.

Anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Fadel Muhammad, mengatakan, jika pemerintah tidak mampu menaikkan lifting minyak, pemerintah sebaiknya mendorong BUMN migas untuk mengakuisisi perusahaan minyak luar negeri. Dengan demikian, produksi minyak dari perusahaan yang diakuisisi bisa dibawa ke Indonesia.

“Kondisi sekarang ini seolah-olah tak ada harapan untuk menaikkan produksi minyak seperti pada masa lalu. Akibatnya, Indonesia akan terus menjadi pengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Padahal, pembangunan kilang dalam negeri kemajuannya sangat lamban,” kata Fadel.

Print

Bara K Hasibuan dari Partai Amanat Nasional menambahkan, salah satu cara untuk menaikkan produksi adalah mau tidak mau dengan meningkatkan investasi melalui eksplorasi untuk menemukan cadangan baru. Namun, ia memaklumi jika iklim investasi hulu migas saat ini sedang lesu akibat anjloknya harga minyak. Untuk menarik minat investasi, pemerintah harus memberikan kemudahan berbisnis.

Terkait investasi hulu migas Indonesia, berdasarkan data SKK Migas, target tahun ini 13,8 miliar dollar AS, sedangkan realisasi semester I-2017 baru 3,98 miliar dollar AS.

Kerja sama Pertamina

Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menandatangani kerja sama dengan Repsol, perusahaan migas asal Spanyol. Kerja sama tersebut meliputi pengembangan teknologi hulu migas berbasis digital, penelitian dan pengembangan metode produksi minyak tingkat lanjut (EOR), penelitian biofuel generasi kedua, serta sejumlah riset dan pengembangan lain.

“Studi ini memperkuat komitmen Pertamina mempercepat program EOR untuk meningkatkan cadangan dan produksi minyak lebih cepat,” ujar Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dalam siaran pers.

Pemerintah Diminta Hati-hati Pangkas Anggaran Subsidi Energi

CNN Indonesia: A�Minggu, 16/07/2017 18:37 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah diminta berhati-hati dalam memasang target anggaran subsidi untuk sektor energi pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (R-APBNP) 2017 yang kembali dipangkas sekitar Rp1,9 triliun menjadi Rp101,2 triliun.

Pemangkasan anggaran subsidi tersebut karena dilatarbelakangi turunnya proyeksi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Palm Oils/ICP) dari US$50 menjadi US$48 per barel.

Pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, asumsi pemerintah tersebut harus diperhatikan dengan seksama. Pasalnya, Pri Agung melihat ICP sampai akhir tahun tak akan berubah banyak bahkan cenderung stagnan di kisaran US$45-50 per barel.

“Sebenarnya, terlalu berisiko kalau dikurangi lagi anggaran subsidinya. Apalagi, dengan asumsi bahwa harga minyak akan turun. Justru terlihat akan stagnan, tidak banyak berubah,” ujar Pri Agung kepada CNNIndonesia.com, Minggu (16/7).

Kendati begitu, pemangkasan anggaran subsidi energi yang baru saja dilakukan dirasa tak cukup besar bebannya kepada masyarakat.

Dengan catatan, pemerintah tidak sampai menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas elpiji tiga kilogram (kg) di sisa tiga bulan terakhir atau setelah menahan harga BBM dan elpiji melon di rentang Juli-September mendatang.

“Implikasinya (pengurangan anggaran) belum akan berdampak tapi bisa berdampak kalau ada kenaikan harga walau potensi kenaikan itu ada,” imbuh dia.

Oleh karena itu, ia menuturkan, pemerintah perlu memperhitungkan dengan matang target anggaran subsidi energi tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga diminta mengantisipasi pembengkakan belanja di pos lain yang selanjutnya berimplikasi pada pelebaran defisit anggaran dan penambahan utang pada APBN 2017.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah mengoreksi anggaran subsidi energi di R-APBNP 2017 menjadi Rp101,2 triliun dari sebelumnya Rp103,1 triliun.

Padahal, pekan sebelumnya, pemerintah menyampaikan kepada Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) bahwa anggaran subsidi energi akan ditambahkan sebesar Rp25,8 triliun dari Rp77,3 triliun pada APBN 2017.

Dengan koreksi tersebut, anggaran subsidi listrik turun Rp1 triliun dari semula Rp52 triliun menjadi Rp51 triliun, subsidi BBM turun Rp400 miliar dari semula Rp10,6 triliun menjadi Rp10,2 triliun, serta subsidi gas elpiji turun Rp500 miliar dari Rp40,51 triliun menjadi Rp40 triliun.

“Berdasarkan kalkulasi, tahun ini, tidak ada kenaikan harga gas elpiji dan volume solar turun 16 juta kiloliter (kl) menjadi 15,5 juta kl. Jadi, dengan perubahan Rp1,9 triliun, maka defisit anggaran tidak mengalami perubahan, tetap pada outlook 2,67 persen,” terang Sri Mulyani.

Impor Minyak Berpotensi Membengkak, Target RUEN Terancam

KATADATA; Rabu 12/7/2017, 11.01 WIB

“Saat ini dengan adanya beberapa kebijakan seperti gross split tampak menjadi disinsentif. Indikasinya industri tidak merespon dengan baik,” kata Komaidi.

Target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo terancam meleset. Penyebabnya adalah impor minyak mentah yang berpotensi membengkak karena menurunnya produksi dalam negeri.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan menurunnya produksi minyak dalam negeri ini akibat rendahnya investasi sehingga kegiatan di sektor hulu menjadi minim. Sejak awal Januari hingga akhir Juni, investasi sektor hulu hanya US$ 3,98 miliar, lebih rendah dibanding tahun lalu di periode yang sama yakni US$ 5,65 miliar.

Salah satu pemicunya rendahnya investasi migas ini menurut Komaidi adalah regulasi yang dibuat pemerintah. “Saat ini dengan adanya beberapa kebijakan seperti gross split tampak menjadi disinsentif. Indikasinya industri tidak merespon dengan baik,” kata dia kepada Katadata, Selasa (11/7).

Untuk itu perlu adanya dukungan dari pemerintah agar investasi hulu migas bisa bergairah kembali. Caranya bisa dengan memberi kemudahan investasi di sektor migas.

Jika kondisi ini dibiarkan Komaidi tidak yakin target-target di dalam RUEN bisa tercapai. “Dampaknya ada dua kemungkinan, start impor bisa lebih cepat atau lebih besar dari target di RUEN,” kata dia kepada Katadata, Selasa (11/7).

Padahal dalam dokumen RUEN, impor minyak mentah diprediksi terus meningkat hingga mencapai 4,6 juta barel per hari (bph) pada 2050. Sebaliknya produksinya semakin turun dan jika tidak ada penambahan produksi, eksplorasi atau kegiatan pengurasan sumur (Enhanced Oil Recovery/EOR) tersisa di bawah 200.000 bph di 2050. Hingga semester I tahun 2017, produksi minyak 808.800 bph.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan pemerintah harus melakukan usaha yang ekstra untuk menarik minat investor melakukan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi ini penting penting supaya produksi tidak turun.

aktivitas-eksplorasi-survei-seismik-2d-2005-2010-by-katadata

http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/08/05/aktivitas-eksplorasi-survei-seismik-2d-2005-2010

Pemerintah dapat membantu investor dengan mempermudah perizinan. Jika produksi meningkat, ketergantungan impor migas akan semakin berkurang. “Harus ada usaha keras menarik investor. Bukan tidak mungkin, kami harus bisa all out soal itu,” kata Marjolijn kepada Katadata, Selasa (11/7).

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo mengusulkan delapan cara agar produksi migas tidak turun dan dapat sesuai dengan kebijakan RUEN. Pertama, menerapkan keterbukaan data migas dan tidak menjadikan data migas sebagai obyek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kedua, melakukan riset dasar eksplorasi migas dalam rangka meningkatkan cadangan migas antara lain riset migas non-konvensional, riset sistem petroleum pra-tersier, riset sistem petroleum gunung api, dan riset gas biogenik. Ketiga, menyiapkan wilayah kerja migas konvensional minimal sembilan blok migas per tahun dan penandatangan blok migas konvensional minimal enam blok per tahun.

Keempat, melakukan survei umum migas minimal tiga wilayah per tahun. Kelima, mengoptimalkan produksi lapangan migas antara lain dengan memberlakukan kontrak bagi hasil khusus untuk kegiatan pengurasan sumur (Enhanced Oil Recovery/EOR) dan segera memutuskan status kontrak yang akan berakhir pada lapangan-lapangan yang mempunyai potensi EOR.

Keenam, mempercepat penyelesaian proyek gas bumi, antara lain Blok Sengkang, Blok Matindok, Proyek IDD, Lapangan MDA-MBH, Blok A, Lapangan Jangkrik, Lapangan Jambaran Tiung Biru, Proyek Tangguh Train-3, Lapangan Abadi (Masela), dan Blok East Natuna. Dari beberapa lapangan tersebut sudah ada beberapa yang onstream seperti Jangkrik dan Matindok.

Ketujuh, meningkatkan rasio pemulihan cadangan migas hingga mencapai 100% pada tahun 2025, dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi secara masif menjadi tiga kali lipat. Terakhir, meningkatkan keterlibatan negara dalam pendanaan kegiatan eksplorasi melalui mekanisme pendanaan dari sebagian pendapatan negara dari migas (petroleum fund) yang merupakan bagian dari premi pengurasan (depletion premium) atau dari sumber pendanaan lainnya.

Potensi Masalah Impor Migas; Kapasitas Eksplorasi Harus Dinaikkan Tiga Kali Lipat

www.kompas.com: Selasa 13 Juni 2017

JAKARTA, KOMPAS Indonesia akan berpotensi menghadapi sejumlah masalah apabila ketergantungan pada impor minyak dan gas kian besar. Impor sulit dihindari seiring terus membesarnya konsumsi minyak dan gas bumi, sedangkan produksi di dalam negeri terus merosot.

Oleh karena itu, perlu terobosan untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Demikian mengemuka dalam diskusi bertema Implementing Indonesia Energy Plan (RUEN): Status Update of Oil and Gas Exploration and Enchanced Oil Recovery , Senin (12/6), di Jakarta. Diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) dan harian Kompas ini menghadirkan nara sumber anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Andang Bachtiar dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Andang, yang sedang di luar negeri, berbicara melalui video jarak jauh.

Berdasar dokumen Rencana Umum Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, kebutuhan minyak mentah Indonesia pada 2040 diproyeksikan 4,5 juta barrel per hari (BOPD). Adapun produksi dalam negeri diperkirakan 600.000 BOPD.

Kebutuhan gas bumi di Indonesia pada 2050 diperkirakan sekitar 25.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedangkan produksi dalam negeri di tahun yang sama 5.000 MMSCFD. Selisih kebutuhan minyak dan gas tersebut harus dipenuhi lewat impor.

Ketergantungan terhadap impor patut diwaspadai. Impor migas yang membesar berpotensi menggerus cadangan devisa Indonesia, ujar Komaidi.

A Tony Prasetiantono, salah satu peserta diskusi, menanggapi, impor akan semakin pelik apabila harga minyak mentah naik. Yang akan menjadi persoalan kemudian adalah masalah keterjangkauan. Harga beli yang tinggi dapat mengurangi kemampuan negara mendapatkan pasokan energi.

Selain soal keterjangkauan, harga minyak yang tinggi berpotensi membengkakkan subsidi energi. Pada masa lalu, saat harga minyak 100 dollar AS per barrel, subsidi energi Rp 350 triliun per tahun, ucap Tony.

Eksplorasi

Andang mengatakan, salah satu solusi mengurangi tekanan impor migas Indonesia adalah dengan meningkatkan kapasitas eksplorasi sedikitnya tiga kali lipat dari sekarang. Apalagi, dalam RUEN ditegaskan rasio penggantian cadangan minyak bumi harus 100 persen pada 2025. Artinya, penemuan cadangan minyak yang baru harus setara dengan setiap barrel minyak yang dikuras.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, industri migas tetap dipandang penting oleh pemerintah. Meskipun penerimaan negara dari sektor migas terus merosot dalam beberapa tahun terakhir, dampak ganda sektor ini masih sangat besar bagi perekonomian nasional.

Secara terpisah, Corporate Affairs Director PT Donggi-Senoro LNG Aditya Mandala mengatakan, pihaknya telah mengantongi kontrak pengiriman gas alam cair ke luar negeri hingga 2027. Untuk 2017 saja, yang telah terkontrak jangka panjang ada 40 kargo gas alam cair. Namun, tidak menutup kemungkinan gas alam cair dijual ke pasar dalam negeri jika ada yang memerlukan.

Pemerintah Harus Tambah Split Pertamina di Delapan Blok Terminasi

www.dunia-energi.com; Senin, 12 Juni 2017 – 16:07

JAKARTA  Pemberian tambahan split dinilai menjadi solusi agar delapan blok terminasi tetap bisa dikelola PT Pertamina (Persero) seiring perubahan skema kontrak bagi hasil dari cost recovery menjadi gross split.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, mengatakan keputusan pemerintah yang ditengah jalan merubah skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dari cost recovery menjadi gross split seharusnya dikompensasi dalam bentuk split tambahan bagi Pertamina. Pasalnya perusahaan plat merah tersebut sudah terlanjur menyatakan kesiapan untuk mengelola kedelapan blok dengan menggunakan skema cost recovery.

Inti masalahnya dihitungan keekonomian yang belum pasti, sebagai akibat dari keharusan menggunakan gross split dan keharusan untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan kontraktor lama, kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Senin (12/6).

Pertamina telah meminta tambahan waktu kepada pemerintah untuk menghitung ulang keekonomian delapan blok yang diserahkan pengelolaannya ke Pertamina pada 2018.

Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengatakan tambahan waktu diperlukan karena Pertamina harus menghitung ulang nilai keekonomian masing-masing lapangan. Pasalnya keekonomian yang ada berdasarkan perhitungan dengan skema cost recovery.

Kita minta tambahan waktu kira-kira satu bulan, akhir Juni ini mudah-mudahan sudah ada keekonomiannya, kata Syamsu.

Penggunaan skema gross split dengan tidak adanya penggantian biaya investasi karena ditanggung seluruhnya oleh kontraktor dinilai memberatkan kontraktor. Apalagi kebijakan baru lain yakni kewajiban kontraktor baru di suatu blok migas harus mengganti biaya investasi kontraktor lama yang telah masuk masa terminasi atau habis masa kontrak. Hal itu dilakukan agar produksi di blok yang masuk masa terminasi tidak turun.

Menurut Pri Agung, keharusan untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor lama membuat posisi Pertamina untuk mengelola keseluruhan blok menjadi tidak realistis.

Karena kontraktor lama kan ketika bekerja tidak melibatkan Pertamina, tetapi biaya nantinya menjadi beban Pertamina, ungkap dia.

Potensi keberadaan calon investor baru untuk mengelola delapan blok juga bukan solusi utama dalam pemecahan masalah karena calon investor baru yang disebut pemerintah berminat belum tentu menawarkan dan bisa berkomitmen lebih baik dari Pertamina.

Pri mengungkapkan untuk posisi Indonesia sekarang ini tidak bisa hanya menjanjikan cost yang lebih rendah, tetapi juga komitmen menghasilkan penemuan cadangan dan meningkatkan produksi.

Tidak tertutup kemungkinan jika nanti ada investor menyatakan sanggup tetapi setelah blok diserahkan justru kembali meminta tambahan split dan insentif lain yang pada akhirnya permintaan tersebut melebihi yang diminta Pertamina, kata dia.(RI)

Arab Saudi Cs Ceraikan Qatar, Harga Minyak Malah Bisa Jatuh

www.detik.com: Selasa 06 Juni 2017, 12:02 WIB

JAKARTA- Kenaikan harga minyak pasca pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Yaman, dan Libya dengan Qatar hanya bersifat sementara saja. Dalam jangka panjang, harga minyak justru bisa makin turun.

Harga minyak kemarin langsung naik karena faktor psikologis saja. Nyatanya, surplus pasokan minyak mentah di pasar masih terjadi.

“Secara fundamental, kelebihan suplai minyak mentah masih terjadi. Tidak hanya tahun ini tapi juga berpotensi berlanjut ke tahun depan,” kata Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, kepada detikFinance, Selasa (6/6/2017).

Pri Agung menjelaskan, ketegangan politik antara Qatar dengan Arab Saudi dan sekutunya dapat mengganggu kesepakatan pemangkasan produksi minyak OPEC sebesar 1,2 juta barel per hari (bph).

Qatar selama ini termasuk sekutu Arab Saudi di OPEC. Dengan pemutusan hubungan diplomatik ini, Qatar akan lebih merapat ke Iran yang berada di kubu seberang.

OPEC makin tak solid karena UEA yang juga termasuk anggota OPEC turut memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.

“Putusnya hubungan diplomatik tersebut akan membuat, paling tidak untuk sementara waktu, Qatar akan lebih condong ke arah Iran. Dengan polarisasi tersebut, sulit diharapkan OPEC bisa terus bersepakat menahan level produksi mereka,” ujar Pri Agung.

“Artinya, banjir suplai minyak dunia justru berpotensi bertambah lagi ke depannya jika konflik hubungan diplomatis terus berlanjut,” dia mengimbuhkan.

Ia menambahkan, konflik antara Arab Saudi Cs dan Qatar ini kecil kemungkinannya berujung pada ketegangan militer. Dengan demikian, harga minyak tak akan banyak terpengaruh.

“Jika hanya sebatas konflik diplomatik dan tanpa aksi militer, harga tidak akan banyak terpengaruh. Cenderung stagnan,” tukasnya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa soliditas OPEC bisa makin hancur bila Qatar ditendang dari OPEC. Tentu pasokan minyak dunia makin tak terkendali, saat ini produksi minyak Qatar sekitar 2 juta bph atau kurang lebih 6% dari total produksi minyak negara-negara OPEC yang sebesar 32 juta bph.

“Sampai sejauh ini yang lebih dominan adalah efek psikologis, kecuali jika nantinya Arab dapat memaksa anggota lain untuk mengeluarkan Qatar dari keanggotaan OPEC,” tutupnya.

Kepentingan AS di Balik Ketegangan Arab Saudi-Qatar

www.detik.com; Selasa 06 Jun 2017, 13:33 WIB

JAKARTA– Amerika Serikat (AS) diduga mengambil keuntungan dari kisruh hubungan diplomatik Arab Saudi cs dan Qatar. Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Libya memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar per 5 Juni 2017 kemarin.

Ketegangan diplomatik terjadi hanya 2 minggu pasca kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi pada 20 Mei 2017 lalu.

Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengungkapkan bahwa AS diuntungkan bila Qatar dikucilkan. Sebab, Qatar adalah produsen gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) terbesar di dunia, pesaing AS yang sedang mencari pasar ekspor untuk produksi shale gas di dalam negerinya.

“Perlu dilihat dalam konteks ini peran AS, dalam hal ini Trump. Trump sebelum ini melakukan kunjungan ke Arab Saudi dan mencapai beberapa kesepakatan tentunya. Ini tidak lepas dari kepentingan Trump untuk memelihara industri shale gas mereka tetap bisa hidup dan bersama-sama Saudi menguasai pasar dunia,” papar Pri Agung kepada detikFinance, Selasa (6/6/2017).

“Qatar adalah eksportir LNG terbesar dunia. Tentunya ini menjadi pesaing utama dari shale gas AS yang memang sedang booming produksinya dan butuh pasar di luar domestik,” Pri Agung menambahkan.

Setelah mengisolasi Qatar, kemungkinan langkah selanjutnya yang akan dilakukan AS adalah bekerja sama dengan OPEC untuk menjaga harga minyak dunia.

“Jika sebelum ini AS dan OPEC kerap berseberangan, Trump lebih bisa bekerja sama,” ucapnya.

Tujuannya adalah menjaga harga minyak di level yang memberikan ruang hidup bagi industri shale oil dan shale gas AS.

“Sepanjang level harga sudah bisa memberikan ruang untuk shale oil dan shale gas AS tetap hidup, di sisi lain kepentingan ekonomi Saudi dari minyak juga tetap bisa terjaga, keseimbangan harga akan terbentuk,” ujar Pri Agung.

Konflik negara-negara Arab dengan Qatar, diprediksi tidak akan berlanjut sampai ketegangan militer. Dengan demikian, dampaknya terhadap harga minyak tak akan signifikan.

“Secara fundamental, surplus pasokan minyak di pasar global masih terjadi. Harga kemungkinan hanya ada di kisaran US$ 45-55 per barel saja,” pungkasnya.

Harga Minyak Dunia 2017 Tak Akan Lebih dari USD55/Barel

SINDONEWS.COM; Selasa, 16 Mei 2017 – 13:09 WIB

JAKARTA– Pengamat Migas dari ReforMiner Institut Pri Agung Rakhmanto menilai, harga minyak dunia tahun ini masih belum akan bergerak dari level rendah. Harga minyak dunia diprediksi hanya akan berada di kisaran USD50 hingga USD55 per barel.

Dia mengungkapkan, harga minyak dunia sudah menyusut sejak pertengahan 2014. Namun, hingga saat ini harganya belum akan membaik mesipun Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC) telah memangkas produksi minyaknya.

“2017 masih akan bertahan rendah, belum akan melebihi USD60. Masih di angka USD50-USD55. Sudah agak naik karena OPEC memutuskan memangkas produksinya. Kira-kira kalau naik gradient-nya enggak langsung tinggi. Tidak jauh dari USD50-USD55. Kecuali ada gejolak luar biasa seperti perang itu bisa jadi naik luar biasa,” katanya di kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Menurutnya, hal ini lantaran dunia telah mengalami kelebihan pasokan sejak lama. Bahkan, pasokan minyak dunia saat ini telah melebihi permintaan yang ada. “Jadi, harga minyak masih akan bertahan rendah dalam jangka waktu cukup lama,” tutur dia.

Meskipun OPEC bukan satu-satunya penentu kenaikan harga minyak dunia, namun perangai organisasi tersebut tetap memiliki pengaruh signifikan mengingat OPEC menguasai 30% produksi minyak dunia.

Sayangnya, perilaku negara-negara anggota OPEC selama ini selalu memproduksi minyak melebihi dari permintaan. Sehingga, implikasinya membuat harga minyak dunia tidak bisa naik secara signifikan.

“Kalau dia berbaik hati mau turunkan produksinya, mungkin harga minyak naik. Tapi dia enggak mau kalau harga minyak dunia terlalu tinggi. Jadi sekarang politis saja, hanya menjaga balance saja. Itu sebabnya kenapa mereka akan selalu memberikan sinyal kepada pasar harga di kisaran yang mereka kehendaki,” tutur dia.

Akibatnya, tambah Pri Agung, investasi di sektor hulu migas dunia pun mengalami kemerosotan cukup dalam. Bahkan, saat ini investasi di sektor tersebut hanya sekitar USD11 miliar.

“Implikasinya, sejak 2014 investasi di semua negara turun, Indonesia juga turun. 2016 hanya USD11 miliar investasi hulu migas, sebelumnya USD15-USD20 miliar. Ini faktor sangat signifikan,” terangnya.