Saturday, December 7, 2024
HomeReforminer di Media2017Masihkah Industri Hulu Migas Berperan Penting untuk Pembangunan?

Masihkah Industri Hulu Migas Berperan Penting untuk Pembangunan?

Kompas.com – 28/08/2017, 11:21 WIB

KOMPAS.com  Reforminer Institute mencatat, pada periode 1979-1984 industri migas menyumbangkan penerimaan negari sebesar 62,88 persen. Namun, kini porsi penerimaan negara dari industri tersebut hanya 4,7 persen. Lalu, masihkah industri ini memiliki peran besar bagi pembangungan nasional?

Pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, industri hulu migas masih jadi salah satu penopang pembangunan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Republik yang stabil pada rentang 5-6 persen per tahun membutuhkan pasokan energi yang dapat diandalkan dan berkelanjutan.

Produksi dan cadangan migas yang cukup diperlukan untuk menjamin ketersediaan energi nasional dan mengurangi ketergantungan energi nasional dari impor, ujar Rakhmanto saat dihubungi Kompas.com, Jumat (21/7/2017).

Selain menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, industri hulu migas nasional kini berperan pula sebagai pendorong kegiatan perekonomian nasional.

Manajer Pemberdayaan Nasional Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Bayu Murbandono membenarkan hal itu. Menurut dia, keadaan tersebut bisa terjadi karena aktivitas di sektor migas memberikan multiplier effect atau efek berganda pada industri lain.

Industri ini membutuhkan banyak tenaga kerja mulai dari level buruh sampai tenaga ahli. Industri ini juga membutuhkan pengadaan barang dan jasa yang melibatkan sektor lain, kata Bayu pada Kamis (8/6/2017).

Hasil studi SKK migas bersama Universitas Indonesia pada 2015 mendapati fakta, setiap investasi 1 juta dollar AS mampu menciptakan nilai tambah 1,6 juta dollar AS. Lalu, meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) 0,7 juta dollar AS dan membuka lapangan kerja baru sebanyak 100 orang.

Hal itu terjadi karena SKK Migas mengeluarkan Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur pengelolaan rantai suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) di hulu migas. Dalam PTK ini, KKS wajib melibatkan perusahaan dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa.

Maka dari itu, jangan heran kalau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di industri hulu migas pada 2015 mencapai 68 persen atau senilai 7,9 juta dollar AS. Capaian itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni 54 persen.

0853545780x390-211780x390

Aktivitas pekerja di Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur(Dok SKK Migas)

Manfaat lain kehadiran industri hulu migas adalah soal alih teknologi. Seperti diketahui bahwa sektor hulu migas adalah industri berteknologi tinggi. Keadaan itu tentu berdampak positif bagi tenaga lokal yang bekerja di sana.

Pri Agung Rakhmanto mengatakan, saat ini lebih dari 70 persen sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan hulu migas asing di negeri ini merupakan anak bangsa.

Bahkan, perusahaan hulu migas nasional pun sudah menguasai teknologi pengembangan lapangan migas di onshore (darat) dan offshore (laut).

Bahwa ada teknologi yang belum sepenuhnya dikuasai anak bangsa tentu saja ada, tetapi alih teknologi itu terjadi dan terus berjalan, ungkap Rakhmanto.

Cadangan migas terus menurun

Meski memiliki peran penting bagi pembangunan, tetapi kondisi industri hulu migas sebenarnya sedang dalam keadaan kurang baik. Penurunan harga minyak dunia dalam tiga tahun terakhir dan menipisnya cadangan migas nasional adalah beberapa penyebabnya.

Menurut SKK Migas, penurunan cadangan migas adalah hal yang wajar terjadi mengingat migas bukanlah energi yang terbarukan.

Data SKK Migas menyebutkan, cadangan minyak terbukti negeri ini selama kurun waktu 2012-2016 ada pada kisaran 3600-3700 million stock tank barrel (MMSTB). Angka itu menurun bila dibandingkan dengan tahun 2000 – 2006 yaitu mencapai 4100 – 5088 MMSTB.

Adapun produksi minyak bumi di Indonesia hanya 831.000 barrel per hari. Angka ini jauh dari kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1,6 juta barrel per hari.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah melakukan impor. Itu yang membuat Indonesia menyandang status sebagai net importer minyak sejak 2004.

Bagaimana dengan gas?

Sumber yang sama mencatat cadangan terbukti gas Indonesia pada 2015 sebesar 97.989 billion standar cubic feet (BSCF). Padahal, enam tahun sebelumnya angka cadangan gas masih berada dikisaran 100.000  112.473 BSCF.

Indonesia belum menjadi negara net importer gas karena produksi gas dalam negeri ini masih lebih besar daripada konsumsi. Akan tetapi tak berarti kemungkinan itu ada. Tren pemakaian gas meningkat dari tahun ke tahun.

Sebagai contoh pada 2011, pemakaian gas nasional sebesar 3,15 miliar kaki kubik per hari. Lalu, pada 2016 meningkat menjadi 3,85 miliar kaki kubik per hari. Sudah begitu, kebutuhan pasokan gas ke depannya juga akan semakin besar.

Potensi cadangan migas baru

Indonesia sebenarnya bisa terlepas dari status sebagai net importer minyak dan terhindar menjadi net importer gas karena punya sejumlah potensi cadangan migas baru.

1141496gambar-peta-minyak780x390

Sumber dan potensi cadangan minyak dan gas bumi Indonesia(Dok SKK Migas)

Namun, sayangnya seperti dimuat Kompas.com Senin (29/5/2017), dari 128 potensi cekungan hidrokarbon yang telah diketahui, baru sekitar 40 persen yang dieksplorasi. Sementara itu, sisanya belum sama sekali.

Butuh teknologi dan biaya lebih tinggi untuk mengeksplorasi. Lokasi potensi cadangan baru tersebut kebanyakan berada di kawasan timur Indonesia dan cenderung di laut dalam.

Maka dari itu, butuh sejumlah dukungan dari berbagai pihak agar investor tertarik mengeksplorasi. Dukungan dapat berupa kemudahan untuk proses perijinan dan membuat kebijakan fiskal yang menarik bagi pelaku industri hulu migas.

Dengan begitu, kegiatan eksplorasi bertambah dan cadangan migas dapat meningkat. Alhasil peran industri hulu migas nasional sebagai penopang dan pendorong kegiataan perekonomian di negeri ini dapat berjalan maksimal.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments