Defisit Migas Perlu Diatasi dengan Pembenahan Fundamental

Medcom, 12 Juli 2019

Jakarta: Defisit migas merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditepis. Pasalnya dalam beberapa tahun terakhir defisit migas makin menganga.

Hal tersebut tentu ditenggarai oleh impor migas yang lebih besar dibandingkan produksi dalam negeri yang juga mepengaruhi kinerja ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam tiga tahun terakhir impor dan defisit migas membengkak.

Data impor dan defisit migas di antaranya:
2014 Impor USD43,46 miliar – defisit USD13.44 miliar.
2015 Impor USD24,61 miliar – defisit USD6,04 miliar.
2016 Impor USD18,74 miliar – defisit USD5,63 miliar.
2017 Impor USD24,32 miliar – defisit USD8,57 miliar.
2018 Impor USD29,87 miliar – defisit USD12,69 miliar.
2019 Impor (Januari-Mei) USD9,09 miliar – defisit USD3,75 miliar.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan tidak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk bisa mengurangi tekanan defisit tersebut selain membenahi fundamental di sektor bisnis hulu migas.

Komaidi mengatakan sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya jangka pendek untuk mengurangi tekanan impor yakni melalui mandatori biodiesel 20 persen (B20). Namun, dia bilang kebijakan di sektor energi adalah kebijakan jangka panjang.

“Sehingga jika tidak ada upaya yang mengarah pada penyelesaian fundamental, masalah defisit akan semakin besar dan akan terulang di setiap tahunnya,” kata Komaidi pada Medcom.id, Jumat, 12 Juli 2019.

Komaidi mengatakan perbaikan iklim investasi di sektor hulu migas perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi minyak mentah domestik. Produksi minyak yang saat ini cenderung menurun dikarenakan ketergantungan pada lapangan-lapangan yang sudah tua.

Secara alamiah lapangan migas yang sudah lanjut usia akan mengalami penurunan produksi terus menerus. Sehingga sepanjang belum ada lapangan baru sebagai pengganti, maka produksi akan terus terun dan tak ada harapan untuk ditingkatkan.

Komaidi mengatakan pembenahan fundamental yang dimaksud yakni terkait kepastian hukum yang cenderung mengalami perubahan di tengah jalan. Padahal bisnis migas merupakan bisnis yang memiliki risiko tinggi dalam artian perlu dana besar dan perlu waktu yang panjang.

“Masalah kompleksitas perizinan dan kepastian hukum adalah penghambat utama,” ucap Komaidi.

Selain itu, yang juga tidak kalah penting dan mendesak yakni menata bentuk atau tata kelembaan hulu migas dalam hal ini Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Posisi SKK Migas perlu diperjelas. Saat ini SKK Migas hanya mengginakan regulasi di bawah UU Migas yang rawan secara hukum. Hal itu membuat kewenangan SKK Migas mengalami keterbatasan untuk menjalankan perannya mengurusi sektor hulu.

“Kurang pas suatu lembaga yang mewakili negara berkontrak dengan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) hanya dibentuk berdasarkan regulasi di bawah UU,” jelas Komoidi.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memperingatkan menteri Kabinet Kerja meningkatkan kinerja di sektor ekonomi. Pasalnya, defisit neraca perdagangan Indonesia dari Januari hingga Mei 2019 mencapai USD2,14 miliar.

Secara khusus, pesan tersebut ditujukan Jokowi kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

“Januari-Mei ada defisit USD2,14 miliar. Coba dicermati angka ini dari mana, kenapa impor sangat tinggi. Migas juga naiknya besar sekali. Hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, Bu Menteri BUMN, karena paling banyak ada di situ,” kata Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, Senin, 8 Juli 2019.

RI Defisit Migas Sejak 2004, Bisakah Sembuh Tiba-Tiba?

CNBC Indonesia; Rabu,10 July 2019 15:08

Jakarta, CNBC Indonesia- Defisit migas RI kembali jadi sorotan setelah disinggung oleh Presiden Joko Widodo kemarin lusa.Masalahnya, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) defisit migas terjadi sejak 2004 sehingga jadi pertanyaan apakah bisa dibenahi dalam waktu 1 atau 2 tahun?.

Kondisi permintaan dan pasokan minyak RI bisa dibilang penyebab utamanya. Konsumsi bisa mencapai 1,4 juta hingga 1,6 juta barel sehari. Sementara, produksi hanya di kisaran 750 ribu sehari. Artinya ada ratusan ribu barel yang mesti diimpor oleh RI untuk penuhi kebutuhan nasional.

Selama bertahun-tahun, alih-alih mengatasi masalah ini yang terjadi adalah pembiaran dengan; tak berjalannya pembangunan dan perluasan kilang, kebijakan diversifikasi energi yang bergonta-ganti, menerapkan harga murah untuk bensin beroktan rendah, dan hal lainnya yang membuat konsumsi makin tinggi.

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani April lalu, tingginya konsumsi memang tak bisa dihindari. “Kita tidak bisa meminta supaya volume turun, karena dengan pertumbuhan di atas 5% tidak akan mungkin permintaan terhadap energi turun, pasti akan meningkat,” katanya saat dijumpai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Bagaimana atasinya?

Menurut pengamat migas dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, kekhawatiran Presiden soal defisit migas ini sebenarnya tak salah.

Ia mengatakan, defisit migas pada dasarnya adalah masalah struktural, akut, dan terjadinya sudah sejak lama. Tidak perlu kaget sebenarnya karena defisit itu memang masih akan terus terjadi, tidak akan hilang atau menjadi positif dalam waktu singkat hanya karena kebijakan tertentu.

“Dalam bulan atau periode tertentu akan naik signifikan atau kadang-kadang sedikit menurun, itu lebih karena fluktuasi volume ekspor-impor terkait jadwal ekspor-impor dan inventoris minyak mentah dan BBM dalam negeri saja. Lalu juga karena pergerakan harga minyak dan nilai tukar dolar AS,” tambahnya.

Apalagi, lanjutnya, dari segi hulu migas, produksi terus turun, sedangkan di midstream sampai sekarang belum ada penambahan kapasitas kilang yang signifikan, ditambah dari sisi hilir, harga BBM masih ditahan pemerintah.

“Permasalahan mendasar di sektor hulu migas ini yang mestinya ditangani secara struktural, fundamental dan serius oleh pemerintah. Sudah lama kan itu, sejak 2004 sudah nett importer minyak. Sejak 2011 kita juga sudah selalu negatif juga kok dalam neraca perdagangan migas. Hanya tidak diatasi sungguh-sungguh ya makin lama akan makin besar pasti,” jelas Pri Agung.

Genjot Tekan Defisit

Sebenarnya, kinerja perdagangan sektor migas sudah mulai membaik. Mengutip data BPS, impor migas di Mei 2019 mencapai US$ 2,09 miliar atau setara Rp 29,6 triliun turun 6,41% dibanding April yang menyentuh US$ 2,23 miliar atau setara Rp 31 triliun.

Penurunan impor migas dipicu oleh turunnya nilai impor hasil minyak atau BBM sebesar US$ 263,6 juta atau 18,29% dan impor gas turun US$ 59,5 juta atau 18,13%.

Dari Januari hingga Mei 2019, impor migas tercatat menurun hingga 23,77%. Lebih lanjut penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1.766,5 juta (43,74%), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44%), dan gas US$24,2 juta (2,14%).

Tetapi, memang masih terdapat impor yang naik signifikan yakni minyak mentah atau crude sebanyak 38,59%. Impor minyak mentah di Mei 2019 naik jadi US$ 645,4 juta dari sebelumnya US$ 465,7.

Sebenarnya sektor migas sudah menunjukkan perbaikan. Pada empat bulan pertama di 2019, defisit neraca migas hanya sebesar US$ 2,76 miliar, sudah mengecil dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 3,89 miliar.

Penurunan ini terbantu oleh upaya pemerintah dalam menurunkan impor, misalnya melalui kebijakan yang memberi mandat kepada Pertamina untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya dijual ke luar negeri. Hanya saja, hal ini juga membuat ekspor migas mengalami penurunan.

PT Pertamina (Persero) mencatat hingga Juni 2019 telah membeli 116,9 ribu barel per hari minyak mentah atau crude.

Angka ini naik signifikan sejak diinstruksikan pada 2018 lalu, yang awal-awalnya bisa menyerap 12,8 ribu barel sehari.

Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan, volume minyak tersebut merupakan hasil kesepakatan dengan 37 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia.

“Dengan mengambil minyak mentah dari dalam negeri, maka semakin mendukung upaya kami untuk mengamankan pasokan bahan baku untuk kilang-kilang Pertamina,” ujar Fajriyah melalui keterangan resminya, Selasa (2/7/2019).

Bahkan, hingga kini Pertamina sudah tidak lagi mengimpor minyak mentah jenis heavy dan super heavy dan hanya mengimpor jenis light and medium crude dengan kebijakan ini.

Lebih lanjut, ia mengatakan, perusahaan akan terus memperluas kerja sama berdasarkan dengan kesepakatan bersama masing-masing KKKS. Dengan semakin banyak serapan minyak mentah dan kondensat dalam negeri, lanjut Fajriyah, maka akan berdampak pada pengurangan impor minyak mentah.

Selain itu, program B20 juga berperan mengurangi kebutuhan minyak impor. Sebagai informasi, dalam program B20, pemerintah memberi ketentuan porsi campuran sawit pada biosolar sebanyak 20%.

Kendati demikian, menurut pengamat migas dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, solusi yang sebenarnya yang harus dilakukan pemerintah adalah benahi sektor migas secara mendasar. Selesaikan revisi UU Migas, sehingga bisa menarik investasi baik di hulu, maupun midstream untuk pembangunan kilang. Tidak sekedar dengan mendorong kebijakan seperti gross split.

“Solusi-solusi yang ditawarkan sekarang ini seperti B-20, membeli minyak KKKS itu cenderung reaktif saja. Apa tidak ada manfaatnya? Ada, tentu, tapi terbatas dan tidak akan cukup menutup defisit neraca perdagangan migas yang ada. Jadi, intinya, benahi sektor migas secara komprehensif dari hulu-hillir lah,” pungkas Pri Agung.

331ab293-e40d-4654-9982-15ea7824000c

‘Impor Memang Membaik, Tapi Defisit Migas RI Masih Akut’

CNBC Indonesia, 09 July 2019

Presiden Joko Widodo kembali menyinggung soal defisit migas yang masih tinggi.

“Coba dicermati angka-angka ini, kenapa impor begitu sangat tinggi. Migas naiknya gede sekali, hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, Bu Menteri BUMN yang terkait dengan ini,” singgung Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).

Padahal, kalau melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja perdagangan sektor migas periode Mei 2019 tercatat sudah mulai membaik. Namun, bukan berarti defisit migas RI bisa diabaikan begitu saja.

Menurut pengamat migas dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, kekhawatiran Presiden dalam hal ini benar dan sangat mendasar. Meskipun katakanlah ada data penurunan impor migas, secara fundamental belum tentu menandakan bahwa sudah ada perbaikan mendasar di dalam masalah defisit neraca migas.

“Bisa saja hanya karena penjadwalan impor di periode tertentu,” ujar Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (9/7/2019).

Lebih lanjut, ia mengatakan, defisit migas pada dasarnya adalah masalah struktural, akut, dan terjadinya sudah sejak lama. Tidak perlu kaget sebenarnya karena defisit itu memang masih akan terus terjadi, tidak akan hilang atau menjadi positif dalam waktu singkat hanya karena kebijakan tertentu.

“Dalam bulan atau periode tertentu akan naik signifikan atau kadang-kadang sedikit menurun, itu lebih karena fluktuasi volume ekspor-impor terkait jadwal ekspor-impor dan inventoris minyak mentah dan BBM dalam negeri saja. Lalu juga karena pergerakan harga minyak dan nilai tukar dolar AS,” tambahnya.

Apalagi, lanjutnya, dari segi hulu migas, produksi terus turun, sedangkan di midstream sampai sekarang belum ada penambahan kapasitas kilang yang signifikan, ditambah dari sisi hilir, harga BBM masih ditahan pemerintah.

“Permasalahan mendasar di sektor hulu migas ini yang mestinya ditangani secara struktural, fundamental dan serius oleh pemerintah. Sudah lama kan itu, sejak 2004 sudah nett importer minyak. Sejak 2011 kita juga sudah selalu negatif juga kok dalam neraca perdagangan migas. Hanya tidak diatasi sungguh-sungguh ya makin lama akan makin besar pasti,” jelas Pri Agung.

Untuk itu, solusi yang sebenarnya ya benahi sektor migas secara mendasar. Selesaikan revisi UU Migas, sehingga bisa menarik investasi baik di hulu, maupun midstream untuk pembangunan kilang. Tidak sekedar dengan mendorong kebijakan seperti gross split.

“Solusi-solusi yang ditawarkan sekarang ini seperti B-20, membeli minyak KKKS itu cenderung reaktif saja. Apa tidak ada manfaatnya? Ada, tentu, tapi terbatas dan tidak akan cukup menutup defisit neraca perdagangan migas yg ada. Jadi, intinya, benahi sektor migas secara komprehensif dari hulu-hillir lah,” pungkas Pri Agung. (gus)

Regulasi Berdaya Saing Global, Kunci Genjot Investasi Hulu Migas Indonesia

Dunia Energi.com; 5 Juli 2019

JAKARTA – Industri hulu migas Indonesia kembali harus mendapatkan perhatian. Apalagi di negara lain masa keterpurukan yang diakibatkan anjloknya harga minyak dunia sudah berakhir dan industri migas kembali menggeliat mulai 2017. Namun di Indonesia, kegiatan industri hulu migas tidak terlalu meningkat signifikan.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan kunci utama yang perlu menjadi perhatian untuk menghadirkan investasi hulu migas adalah meningkatkan kualitas regulasi berdaya saing global. “Mungkin kita telah banyak melakukan deregulasi, tapi mungkin juga belum kompetitif. Nah, bagaimana dapat menarik eksplorasi, salah satunya fleksibilitas lebih ditingkatkan. Dampak eksplorasi yang paling konkret adalah ketahanan energi itu sendiri,” kata Pri Agung di Jakarta, baru-baru ini.

Pemerintah dinilai harus lebih membuka diri kepada investor agar mereka berminat melakukan eksplorasi. Salah satu cara, bisa dengan memberikan opsi skema kontrak yang ada.

“Harusnya kita membuka ruang, tidak terpaku pada pola lama. Misalnya, Production Sharing Contract (PSC) konvensional diterapkan, antara eksplorasi dan eksploitasi bisa menjadi kesatuan ataupun dipisah. Esensinya kita harus berani keluar dari pola yang sudah dijalankan
saja,” kata Pri Agung.

Pemerintah juga diharapkan tidak banyak menghasilkan kebijakan yang justru berpotensi mengganggu kesepakatan kontrak yang disepakati sebelumnya. Selain itu, dalam menerbitkan kebijakan, pemerintah perlu memperhatikan apakah hal tersebut akan menarik bagi investor atau justru sebaliknya. Dalam laporan kinerja Ditjen Migas 2018, pemerintah mengakui bahwa faktor internal yang mempengaruhi realisasi penandatanganan wilayah kerja migas adalah faktor terms and conditions yang dinilai kurang menarik.

Tumbur Parlindungan, Praktisi Migas yang juga mantan Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) mengatakan investor migas juga membutuhkan contract sanctity atau pengakuan terhadap kesucian kontrak yang disepakati sebelumnya.

“Contract sanctity, itu yang paling utama. Investasi migas bersifat puluhan tahun maka investor tidak bisa melakukan evaluasi kalau kontraknya dapat berubah-ubah setiap saat. Itu list teratas permasalahan,” kata Tumbur.(RI)

IPA Convex Gelar Diskusi Panel Migas

BeritaSatu.com

INDONESIAN PETROLEUM ASSOCIATION (IPA) Convex 2019 menggelar diskusi panel bertajuk “Eksplorasi Tanpa Investasi Migas?” sebagai pra acara sebelum dimulainya IPA Convex pada 4-6 September 2019, Jakarta, Rabu 7 Juli 2019. Diskusi ini mengundang para praktisi dan pengamat migas Indonesia untuk memberikan perkembangan terkini industri migas di Indonesia.

IPA 1

IPA 2

IPA 3

BeritaSatu Photo / Emral Firdiansyah

Pacu Investasi Hulu Migas, Pemerintah Diminta Beri Kepastian Kontrak

Katadata.co.id, 3 Juli 2019

Jangan ada peraturan-peraturan baru yang bertentangan dengan kontrak setelah penandatanganan kontrak,” kata Tumbur Parlindungan.

Praktisi dan pengamat migas menekankan pentingnya kepastian kontrak hingga insentif, untuk menggairahkan kembali investasi hulu migas. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi mencatat investasi hulu migas hanya sebesar US$ 11,99 miliar pada 2018, merosot separuh dari masa puncak 2013 dan 2014 yang menembus US$ 20 miliar. Mantan Direktur Utama Saka Energy Tumbur Parlindungan mengatakan, kepastian kontrak penting untuk membuat investor nyaman. “Jangan ada peraturan-peraturan baru yang bertentangan dengan kontrak setelah penandatanganan kontrak,” ujar dia dalam diskusi bersama awak media di Jakarta, Rabu (3/7).

Ia mengingatkan bahwa investor memiliki beragam pilihan negara untuk menanamkan modalnya. Maka itu, pemerintah Indonesia harus bisa membenahi aspek hukum untuk meningkatkan daya saing. “Investor punya pilihan, kita enggak. Mereka kalau enggak bisa masuk, bisa ke negara lain,” kata dia. Ia pun memastikan investasi hulu migas memiliki dampak besar terhadap perekonomian nasional, di antaranya dalam penyerapan tenaga kerja. “Satu pengeboran well di offshore itu 1.000 orang yang bekerja. Kalau 10, kalikan saja,” ujarnya.

Di sisi lain, Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengusulkan agar pemerintah membuka beragam pilihan kontrak bagi hasil migas. Ini agar investor memiliki keleluasaan untuk memilih. “Sebab setiap lapangan membutuhkan pendekatan yang tidak seragam,” kata dia.

Ia pun menyambut positif pilihan kontrak cost recovery. Ia menilai skema ini brilian dalam menarik investor khususnya untuk kegiatan eksplorasi. Selain pilihan kontrak bagi hasil, ia menyarankan penambahan insentif.

Pri juga mendorong agar revisi Undang-Undang Migas segera diselesaikan. “Karena tak kunjung rampung, banyak aturan yang muncul untuk menambal lubang di UU Migas, tapi malah banyak yang tidak sesuai dengan kontrak,” ujarnya.