Meski Pandemi, Lelang WK Migas Diminta Harus Jalan Terus

Bisnis.com; 28 Juni 2021

Bisnis.com, JAKARTA – Lelang wilayah kerja migas yang tengah digelar pemerintah dinilai harus berjalan terus kendati masih diselimuti kondisi ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Pada tahun ini, ada pemembuka penawaran 6 wilayah kerja minyak dan gas bumi (WK migas) konvensional tahap I 2021 yang terdiri atas 4 WK melalui mekanisme penawaran langsung dan 2 WK melalui mekanisme lelang reguler.

Empat WK migas yang ditawarkan melalui mekanisme penawaran langsung, antara lain South CPP yang berlokasi di Riau (onshore), Sumbagsel di Sumatra Selatan (onshore), Rangkas di Banten dan Jawa Barat (onshore), serta Liman di Jawa Timur (onshore dan offshore).

Sementara itu, untuk WK migas yang ditawarkan melalui mekanisme lelang reguler adalah Merangin III yang terletak di Sumatra Selatan dan Jambi (onshore) dan North Kangean di Jawa Timur (offshore).

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menilai akan sulit bagi pemerintah untuk menarik minat investor untuk mengikuti lelang WK migas tahun ini meski pemerintah telah mengobral insentif. Menurut dia, insentif yang telah diberikan pemerintah memang menarik bagi pelaku di industri hulu migas. Di sisi lain, kondisi yang masih belum pasti membuat investor masih lebih berhati-hati.

“Tidak ada salahnya ditawarkan, nanti hasilnya bisa jadi bahan review untuk sesi lelang berikutnya,” katanya baru baru ini. Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan faktor utama yang paling menentukan sukses atau tidaknya lelang WK migas adalah tingkat prospektivitas atau kualitas WK yang ditawarkan. Setelah itu adalah perhitungan keekonomian lapangan apakah bakal masuk atau tidak hal itu dalam strategi atau prioritas portofolio investasi para investor tersebut.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan faktor utama yang paling menentukan sukses atau tidaknya lelang WK migas adalah tingkat prospektivitas atau kualitas WK yang ditawarkan. Setelah itu adalah perhitungan keekonomian lapangan apakah bakal masuk atau tidak hal itu dalam strategi atau prioritas portofolio investasi para investor tersebut.

“Insentif apa pun bentuknya sudah pasti akan membantu keekonomian. Tapi, apakah itu masuk dalam standar keekonomian yang dikehendaki para pelaku, kita tidak tahu. Tahunya dari mana? Ya dari apakah nanti lelangnya laku diminati atau tidak,” katanya.

Dia menambahkan pelaku hulu migas sama halnya dengan WK migas yang memiliki skala dan kelasnya masing-masing. Apabila WK tidak besar, maka pelaku yang nantinya akan berminat biasanya kemungkinan besar yang kelasnya bukan perusahaan migas besar. Untuk di tahun ini, sebaiknya pemerintah tidak menyerah dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti penundaan lelang WK migas yang telah dilakukan pada tahun lalu dan menyarankan lelang WK migas tetap berjalan tahun ini.

“Bagaimana pun itu bisa menjadi salah satu tolok ukur atau indikator tingkat competitiveness iklim investasi hulu migas kita,” jelasnya.

 

 

Panas Bumi Bisa Jadi Solusi Tetap Transisi Energi di Indonesia

Duniaenergi.com; 24 Juni 2021

Jalan terjal dalam transisi energi dipastikan akan dihadapi Indonesia. Terlebih dengan masih bergantungnya Indonesia terhadap energi fosil terutama batu bara. Namun demikian cita-cita transisi energi bukan berarti tidak bisa terwujud.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan ragam pilihan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) dimiliki Indonesia dari sejumlah jenis EBT yang dimiliki, sumber energi panas bumi dapat dikatakan merupakan jenis EBT paling potensial untuk dapat mengakomodasi kebijakan transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia.

Berdasarkan data yang dihimpun, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi sekitar 29.544 MW atau setara dengan 47,30 persen dari total kapasitas pembangkit di Indonesia yang sampai dengan Desember 2020 tercatat sebesar 62.449 MW.

“Selain memiliki potensi yang besar, produksi listrik dari panas bumi dapat berperan sebagai base load sebagaimana produksi listrik yang selama ini diproduksikan dari gas dan batu bara,” kata Komaidi, Kamis (24/6).

Komaidi menilai keunggulan yang lain yang dimiliki Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) adalah Capacity Factor (CF) yang dapat mencapai kisaran 90 persen. “Yang mana lebih tinggi dari CF PLTS yang tercatat sekitar 18 persen dan PLTB sekitar 30 persen,” ujarnya.

Sebagian besar produksi listrik berbasis EBT yang diproduksikan dari selain panas bumi umumnya memiliki sejumlah kendala dan bersifat intermitensi (terputus-putus). Untuk PLTS misalnya, dalam proses produksinya akan menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang fluktuatif tergantung atau ditentukan dari intensitas cahaya matahari. Demikian pula untuk PLTB, jumlah listrik yang diproduksikan juga akan bergantung terhadap kecepatan angin.

“Karena itu, dalam pengoperasiannya dibutuhkan pembangkit cadangan yang dapat beroperasi secara fleksibel sebagai pembangkit pendukung untuk mengantisipasi ketika PLTS dan PLTB tidak dapat memproduksikan listrik akibat perubahan cuaca,” jelas Komaidi.

Namun, masih ada kendala teknis dalam implementasi EBT untuk pembangkit listrik seperti misalnya konsekuensi dari sifat intermetensi dari sebagian produksi listrik berbasis EBT memerlukan kesiapan sistem kelistrikan untuk dapat menerimannya. Di antara konsekuensi teknis dari produksi listrik EBT yang intermetensi di antaranya memerlukan penyediaan reserve margin yang cukup dan tepat, perlu dilengkapi dengan sensor cuaca yang harus terintegrasi dengan sistem komunikasi di control center sistem kelistrikan yang besar.

”Memerlukan lebih dari satu solusi agar sifat intermitensi tersebut tidak mengganggu kestabilan sistem,” kata Komaidi.(RI)

ReforMiner Institute: Panas bumi potensial dorong transisi energi

Kontan, 15 Juni 2021

ReforMiner Institute menilai sumber energi panas bumi paling potensial dalam mendorong target pemerintah untuk transisi energi dalam beberapa tahun ke depan.

Seperti diketahui, pada 2060 nanti Indonesia menargetkan zero emissions. Salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara pada 2025 mendatang.

 Selain itu, Pemerintah juga sedang menyiapkan kebijakan pajak karbon. Inisiatif kebijakan pajak karbon tertuang dalam Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022 tentang Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan upaya transisi energi khususnya disektor kelistrikan kemungkinan tidak berjalan dengan mudah.

Hal ini tercermin dari ketergantungan penyediaan listrik dari batubara yang masih mendominasi.

Porsi realisasi produksi listrik dari batubara mencapai 66,30 % dari total produksi listrik pada tahun 2020. Sejalan dengan mulai tercapainya Commercial Operating Date (COD) program 35.000 MW, porsi produksi listrik dari batubara diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 70,10% pada tahun 2024 mendatang,” kata Komaidi, Selasa (15/6).

Komaidi melanjutkan, realisasi porsi produksi listrik dari EBT yang terbesar terjadi pada tahun 2020 dimana sekitar 14% dari total produksi listrik nasional disokong dari EBT.

Peningkatan ini didorong berkurangnya produksi listrik dari gas sebesar 13.368 GWh. Kendati demikian, peningkatan dari EBT disebut hanya mencapai 4.906 GWh.

Untuk itu, tahun 2025 dinilai sebagi periode yang krusial bagi pengembangan EBT. Produksi listrik EBT ditargetkan meningkat dari 46.202 GWh pada 2024 menjadi 82.176 GWh pada 2025.

Pemenuhan produksi ini sejalan dengan penurunan produksi listrik dari pembangkit fosil yang ditargetkan bakal berkurang sebesar 14.897 GWh.

“ReforMiner menilai dari sejumlah jenis EBT yang dimiliki Indonesia, sumber energi panas bumi dapat dikatakan merupakan jenis EBT paling potensial untuk dapat mengakomodasi kebijakan transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia,” ujar Komaidi.

Potensi panas bumi di Indonesia mencapai  29.544 MW atau setara dengan 47,30 % dari total kapasitas pembangkit di Indonesia yang sampai dengan Desember 2020 tercatat sebesar 62.449 MW.

Selain itu, produksi listrik dari panas bumi dapat berperan sebagai base load sebagaimana produksi listrik yang selama ini diproduksikan dari gas dan batubara.

Keunggulan yang lain, Capacity Factor (CF) pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dapat mencapai kisaran 90 %, yang mana lebih tinggi dari CF PLTS yang tercatat sekitar 18% dan PLTB sekitar 30%.

Panas bumi masih terkendala

Meskipun memiliki potensi yang tergolong besar dan sejumlah keunggulan ketimbang jenis EBT lain, Komaidi memastikan pengembangan panas bumi masih terkendala.

Pengembangan panas bumi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1972, sayangnya pemanfaatannya baru mencapai sekitar 4%.

Adapun, upaya mendorong jenis EBT lainnya juga masih terhambat dan bersifat intermitensi (terputus-putus).

“Untuk PLTS misalnya, dalam proses produksinya akan menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang fluktuatif tergantung atau ditentukan dari intensitas cahaya matahari. Demikian pula untuk PLTB, jumlah listrik yang diproduksikan juga akan bergantung terhadap kecepatan angin,” terang Komaidi.

Dengan konsekuensi tersebut, Komaidi mengungkapkan perlunya kesiapan sistem kelistrikan. Sejumlah hal yang diperlukan meliputi penyediaan reserve margin yang cukup dan tepat, perlu dilengkapi sensor cuaca yang terintegrasi dengan sistem kelistrikan yang besar serta perlunya solusi tambahan agar sifat intermitensi tidak ganggu kestabilan sistem.

*Ilustrasi Gambar. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Pertamina Geothermal Energy
*Sumber: Kontan.co.id
Cadangan minyak bertambah 114,4 juta barel, apa artinya?

Lokadata.id, 9 Juni 2021

Indonesia berhasil menambah cadangan minyak. Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, penambahan tersebut paling tidak bisa menahan laju penurunan cadangan minyak dalam beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, gap antara produksi minyak Indonesia dan konsumsi bahan bakar minyak makin lebar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyetujui 12 Rencana Pengembangan (Plan of Development/ PoD) yang diajukan produsen migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode Januari-Mei 2021.

Dengan 12 proyek ini ini, cadangan terbukti minyak dan gas bumi (migas) nasional bertambah 114,4 juta barel setara minyak (Million Barrels of Oil Equivalent/MMBOE). Tambahan cadangan migas tersebut menghasilkan rencana investasi sebesar AS$1,34 miliar atau setara sekitar Rp19,3 triliun dengan asumsi kurs Rp14.400 per dolar.

Deputi Operasi SKK Migas merangkap Plt Deputi Perencanaan SKK Migas, Julius Wiratno mengatakan penambahan cadangan dari 12 PoD ini lebih besar dari perkiraan awal. Pada saat perencanaan, dari 12 PoD tersebut cadangan minyak diperkirakan bertambah 7,4 persen dari target penambahan cadangan 2021.

SKK Migas menetapkan target tambahan cadangan minyak sebesar 625 juta barel setara minyak (BOE). “Tetapi bersyukur ternyata hasil evaluasi menunjukkan ada penambahan cadangan sebesar 114,4 juta boe atau sekitar 18,31 persen dari target 2021,” kata Julius dalam keterangannya.

Di antara 12 proyek migas yang mendorong peningkatan cadangan tersebut adalah lapangan PoD Suko Barat yang diajukan oleh Pertamina EP, lapangan PoD Belato diajukan oleh Sele Raya Merangin Dua, dan lapangan OPL Melibur diajukan oleh EMP Malacca Strait.

Penambahan cadangan, apa artinya?

Menurut Pengamat energi dari Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto penambahan cadangan tersebut tentu positif. Tapi, kata peraih gelar Master of Science dari Colorado School Mines Amerika Serikat di bidang Ekonomi Energi dan Sumberdaya Mineral ini, tambahan cadangan 114,4 juta MMBOE dalam skala nasional tidak terlalu besar.

“Dengan target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari, angka tersebut terhitung tidak besar. Jika diasumsikan produksi 12 PoD itu untuk menggenapi target 1 juta barel, angkanya harus sekitar 315 ribu barel per hari. Kalau produksinya sebesar itu, cadangan tersebut akan habis dalam 1 tahun saja,” katanya kepada Lokadata.id, Selasa (8/6/2021).

Sarjana Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung ini menambahkan, tentu saja produksi 12 PoD tersebut tidak akan langsung 325 ribu barel per hari. “Jadi ya tidak akan habis juga dalam periode 1 tahun, tetapi tergantung pada berapa nanti tambahan produksinya per hari yang akan didapatkan dari skenario PoD tersebut,” katanya.

Pada intinya, Pri mengatakan untuk 12 PoD, angka itu bukan termasuk skala lapangan yang besar. “Atau bahkan giant sekelas Blok Cepu misalnya, tetapi berapa pun itu adalah hal yang positif dan kita perlukan untuk bisa menahan laju penurunan produksi.”

Sepanjang 2021, SKK Migas menargetkan memproses 40 PoD dengan perkiraan tambahan cadangan lebih besar dari 625 juta BOE. SKK Migas mengklaim jika target 2021 tercapai, maka selama 4 tahun berturut-turut Indonesia berhasil mendapatkan penambahan cadangan lebih tinggi dari yang diproduksikan pada tahun tersebut.

Hal itu biasanya disebut Reserve Replacement Ratio-nya (RRR) lebih dari 100 persen. Pada 2020 misalnya, RRR berada di angka 101,6 persen dengan penambahan cadangan sebesar 705,16 MMBOE. Adapun pada 2019, RRR Indonesia mencapai 354 persen atau setara 2.634 MMBOE, dan di 2018 mencapai 106 persen atau setara 831 MMBOE.

Untuk mengejar target, SKK Migas sedang menyelesaikan pembahasan PoD yang dijadwalkan selesai tahun ini. Namun, Julius Wiratno dari SKK Migas mengatakan, ada beberapa PoD yang membutuhkan insentif untuk membantu keekonomian di lapangan. “Kami sedang bahas di Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan,” kata dia.

Evaluasi PoD yang tidak membutuhkan insentif diharapkan selesai di Oktober 2021. Sedangkan, evaluasi PoD yang membutuhkan insentif membutuhkan pembahasan terlebih dahulu dan diharapkan bisa selesai November 2021. Pemerintah, misalnya sudah menyetujui insentif PoD untuk wilayah kerja Mahakam.

Upaya meningkatkan cadangan migas ini dimaksudkan untuk mengurangi impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM). Sebagai gambaran, konsumsi BBM saat ini sudah mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, sementara, produksi minyak mentah nasional hanya 700 ribu barel per hari.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi minyak bumi menunjukkan penurunan sejak 2016 hingga kuartal III/2020. Per kuartal III/2020 realisasi produksi minyak bumi mencapai 706 ribu barel per hari. Lebih rendah dibandingkan realisasi produksi pada 2019 yang sebesar 746 ribu barel per hari.

Selisih yang masih besar itu, kata Julius Wiratno, membutuhkan tambahan produksi migas nasional yang lebih tinggi, agar defisit kebutuhan migas dapat diturunkan. “Sehingga, kita bisa mengurangi impor minyak mentah. Dengan insentif itu, kita berharap produksi migas dapat ditingkatkan dan RRR tercapai tinggi.”

Pengamat: Insentif Hulu Migas Diperlukan Demi Jaga Keekonomian Lapangan

Kontan.co.id; 03 Juni 2021

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meminta insentif pajak untuk sektor hulu migas mendapat dukungan. Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro yang menilai, insentif fiskal memang diperlukan demi menjaga keekonomian lapangan migas.

Komaidi mengungkapkan, sejatinya bentuk insentif untuk tiap lapangan migas berbeda-beda. “Jika tidak ada insentif, lapangan migas tertentu teritama yang sudah tua tidak akan ekonomis untuk diproduksikan,” kata dia kepada Kontan.co.id, Kamis (3/6).

Komaidi melanjutkan, kebijakan terkait insentif fiskal bisa berdampak dua hal bagi pemerintah.
Jika Kementerian Keuangan memberikan insentif fiskal maka penerimaan pajak dan PNBP dari migas berpotensi berkurang. Akan tetapi, jika tidak diberikan, bukan tidak mungkin penerimaan pajak dan PNBP malah hilang karena tidak adanya produksi lagi.

Apalagi, pemberian insentif fiskal ini baru mungkin dirasakan dampaknya untuk jangka panjang. Komaidi mencontohkan, jika insentif diperoleh saat masa eksplorasi hingga kemudian menemukan cadangan migas maka butuh waktu lebih dari 2 tahun untuk bisa berproduksi.

Untuk itu, penurunan produksi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir dinilai Komaidi mungkin disebabkan kebijakan beberapa tahun lalu.

“Artinya jika hari ini produksi turun, berarti 4 tahun sampai 5 tahun lalu kebijakan untuk penemuan cadangan kurang diperhatikan,” pungkas Komaidi.