Pemerintah belum Memberi Perhatian Serius pada Ketahanan Energi

Koranbernas.id; 05 November 2021

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Pemerintah Indonesia belum memberikan perhatian yang cukup untuk membangun kemandirian energi. Padahal, energi adalah pilar penting dalam kehidupan. Ibarat kata, energi adalah kehidupan itu sendiri. Industri hulu minyak dan gas di Indonesia, dalam dua dasa warsa terakhir nyaris kurang mendapat perhatian.

Pemerintah enggan berinvestasi untuk membangun industri hulu migas. Dalam perekonomian Indonesia, minyak dan gas bumi masih berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) serta penyediaan lapangan kerja.

“Sekitar 80 persen PDB dan penyediaan lapangan kerja, dihasilkan dari perdagangan minyak dan gas bumi!”

Pernyataan itu dikemukakan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, menjawab pertanyaan koranbernas.id dalam acara Nongkrong Bareng Pertamina di Hotel Marriot Yogyakarta, Sleman, Jumat pagi (5/11/2021). Acara tersebut diselenggarakan oleh PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah (Jateng-DIY), mengundang sejumlah pemimpin redaksi media di Yogyakarta.

Pernyataan Komaidi dibenarkan oleh Ketua Pusat Studi Energi UGM Prof. Deendarlianto yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut. Guru besar ilmu teknik mesin UGM ini menegaskan, pemerintah belum berada pada jalur yang semestinya untuk menyelamatkan energi nasional dan membuat ketahanan energi. Padahal, untuk membangun bangsa ini dan memberikan kemakmuran kepada rakyat, sektor minyak dan gas bumi sangat berperan penting.

Komaidi memberikan ilustrasi, kilang minyak dan gas, relatif mandeg sejak tahun 2000-an. Akibatnya, produksi minyak dalam negeri relatif stagnan bahkan turun. “Rencana membangun jalur distribusi gas, tidak pernah terealisasi. Presiden Jokowi dalam dua periode lebih memilih menggenjot pembangunan infrastruktur. Memang bisa dimaklumi, karena membangun infrastruktur gampang terlihat hasilnya. Berbeda dengan berinvestasi di sektor hulu migas. Duitnya habis banyak, hasilnya tidak segera kelihatan,” tutur Komaidi.

Seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat, kalau pada tahun 1990-an konsumsi minyak hanya sekitar 700.000 barrel/hari, saat ini sudah meningkatkan menjadi sekitar 1,5 sampai 1,6 juta barrel per hari. Sementara kebutuhan konsumsi LPG (Liquefied Petroleum Gas) sudah sekitar 7 juta metrik ton per tahun.

Akibatnya, kata Komaidi, negara melalui PT Pertamina harus memenuhi kebutuhan dengan cara mengimpor minyak. Jumlah impor semakin tahun semakin besar. Dan tentu saja, ini menggerogoti devisa negara. Satu-satunya pintu masuk untuk impor minyak hanya melalui Singapura. Kalau jalur impor ini ditutup satu bulan saja, Indonesia pasti akan kolaps.

“Cadangan minyak kita hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi antara 20 sampai 25 hari saja. Bandingkan dengan AS yang cadangan minyaknya cukup untuk konsumsi 6 bulan,” ujar Komaidi.

Tak Bisa Investasi

Sebagai BUMN yang menangani usaha minyak dan gas, PT Pertamina, menurut Komaidi tidak memiliki cukup dana untuk berinvestasi. Keuntungan yang didapat oleh Pertamina, 80 % disetor ke negara melalui Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sisanya yang 20 % dikembalikan ke Pertamina. Keuntungan itu masih harus dibagi-bagi untuk deviden dan kebutuhan lain.

“Kemarin, untuk membangun rumah sakit guna menampung pasien Covid-19, ya pakai duit keuntungan Pertamina. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin Pertamina bisa melakukan ekspansi bisnis dan investasi,” beber Komaidi.

Ia menambahkan, piutang Pertamina yang belum terbayar saat ini mencapai ratusan triliun rupiah. PT Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional yang sekarang sedang kolaps, berhutang pada Pertamina sebesar Rp 80 triliun.

Ketua Pusat Studi Energi UGM Prof. Deendarlianto mengatakan, dalam kaitan konsumsi energi, sektor transportasi mengalami pertumbuhan paling cepat. Fakta itu ia dapatkan melalui data primer lapangan, yang dikumpulkan mahasiswa UGM untuk menyusun disertasi yang ia bimbing. Apabila hal ini tidak ditangani secara terpadu, krisis energi akan terus meningkat.

Kebijakan pemerintah untuk mengubah pasokan energi dari energi fosil ke energi terbarukan, menghadapi banyak problema yang rumit. Misalnya, pemanfaatan energi surya untuk listrik, tidak bisa diterapkan di semua wilayah. Jumlah panas matahari sangat fluktuatif tergantung daerah. Demikian pula sumber energi lainnya seperti angin, air dan gelombang laut.

UGM, sebenarnya sudah memberikan rekomendasi untuk membangun ketahanan energi. Namun sayangnya, pemerintah belum serius untuk mengikuti peta jalan yang dibuat.

“Belum on the track,” tegas Prof. Deendarlianto.

Executive General Manager PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Putut Andriatno mengatakan, soal energi memang sedang mengalami perubahan besar dan cepat. Sesuai kebijakan pemerintah, Pertamina juga sedang terus bertransformasi, untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Salah satu transformasi yang dilakukan, membangun sistem distribusi BBM yang lebih simpel, sehingga mata rantai distribusi semakin pendek dan lebih cepat sampai ke stasiun penjualan BBM.(*)

Indonesia Diminta Realistis Wujudkan Energi Bersih

MediaIndonesia.com; 4 November 2021

DIREKTUR Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berharap agar Indonesia realistis dalam upayanya menggunakan energi bersih. Jangan sampai ambisi tersebut justru menjadi pupuk permasalahan baru di masa mendatang.

“85% energi kita itu masih fosil, kalau ingin meninggalkan itu sepertinya tidak cukup logis. Dari Kemenkeu sendiri mengatakan untuk memensiunkan batu bara Indonesia membutuhkan sekitar Rp3.900 triliun, sementara APBN hanya sekitar Rp2.000 triliun, kebutuhan lebih besar dari anggarannya,” tuturnya kepada Media Indonesia, Kamis (4/11).

“Dengan angka itu semestinya kita sudah bisa mengukur mungkin atau tidak. Kalau bicara peluang, probabilitas itu meski hanya 0,001% ya itu mungkin. Tapi untuk apa juga kalau probabilitasnya kecil?” sambungnya.

Komaidi bilang, penggunaan energi bersih perlu dan menjadi penting. Namun menurutnya, komitmen dari pemangku kepentingan menjadi jauh lebih penting untuk mewujudkan misi tersebut.

Indonesia juga perlu memastikan upaya pengurangan energi fosil dilakukan oleh negara-negara yang telah membuat komitmen. Celaka, menurut Komaidi bila komitmen dalam forum-forum internasional hanya sekadar tutur kata semata.

“Jangan sampai hanya sekadar komitmen, tapi tidak ada implementasinya,” kata dia.

Itu merujuk dari apa yang dilakukan oleh Inggris. Komaidi bilang, belum lama ini Britania Raya menyatakan menghentikan penggunaan batu bara. Namun tak selang sebulan, justru kembali memanfaatkan batu bara karena melonjaknya tarif listrik.

Hal itu menurutnya perlu menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan. Komaidi berharap pemerintah tak gegabah mendorong penggunaan energi bersih dan meninggalkan energi fosil.

Terlebih, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dalam Peraturan Presiden 22/2017 diperkirakan konsumsi minyak akan mencapai 4 juta barel per hari. Angka itu justru melonjak dari konsumsi minyak yang saat ini hanya 1,5 juta barel per hari.

“Jadi penggunaan energi bersih secara bertahap itu wajar. Tapi kalau kemudian dipercepat dan kemudian ingin menjadi yang paling depan, saya rasa ada risiko ekonomi dan fiskal di sana,” kata Komaidi.  Menurutnya, Indonesia tak bisa serta merta meninggalkan energi fosil. Selain tercantum dalam RUEN, ketergantungan Indonesia akan energi fosil sejatinya juga tercermin dalam Paris Agreement.

Sebab, Indonesia berkomitmen menggunakan energi bersih hingga 23% di 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Persentase itu menurut Komaidi menunjukkan betapa bergantungnya Indonesia pada energi fosil. Pasalnya, bila komitmen dengan upaya sendiri itu tercapai, Indonesia masih bergantung pada energi fosil hingga 77% dari total penggunaan energi.

“Jadi seolah-olah yang 77% ditiadakan, tidak diberikan perhatian, tapi yang 23% dipuji-puji. Padahal kita masih bergantung pada yang 77% itu. Saya kira ada kampanye yang tidak proporsional dalam beberapa waktu terakhir. Modusnya apa saya tidak paham, yang paham mereka yang melakukan kampanye,” jelas Komaidi.

Sementara itu pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menuturkan, keputusan dan kesepakatan yang dibuat dalam forum Conference of The Parties (COP) kerap sukar untuk dicapai oleh banyak negara. Itu terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dari tiap-tiap negara.

“USA dan Masyarakat Eropa selalu berbeda dalam penerapan program untuk pengendalian perubahan iklim. Tiongkok dan Inggris kembali menggunakan energi fosil pada saat negaranya dilanda krisis energi,” kata dia.

Belum lagi sebut Fahmy, negara-negara dengan ekonomi besar kerap bertentangan pendapat dengan negara-negara berkembang. Program B100 misalnya, ditolak dan ditentang oleh negara-negara Eropa lantaran re-planting tanaman sawit membutuhkan pembabatan hutan.

Padahal penggunaan B100 disebut Fahmy juga merupakan wujud komitmen Indonesia menerapkan energi bersih. Karena gejolak dan kemampuan, Indonesia dinilai perlu realistis menerapkan transisi energi bersih.

“Indonesia realistis saja tanpa harus memaksakan kehendak dalam proses penggantian fosil menjadi EBT sesuai kemampuan. Dalam kondisi tersebut, Indensia tetap saja konsisten dalam pengambangan B100 untuk menggantikan energi fosil,” pungkas Fahmy. (OL-7)

Harga BBM Shell Naik, Pengamat: Hal Yang Wajar

Validnews.id; 02 November 2021

Berdasarkan informasi harga dari laman resmi Shell Indonesia, BBM Shell Super di Jakarta kini seharga Rp12.860 per liter dari sebelumnya Rp11.550 per liter

JAKARTA – Pengamat Ekonomi Energi dan pertambangan Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga BBM Shell merupakan hal yang wajar karena harga minyak mentah sedang tinggi.

“Jika mencermati harga minyak mentah sedang naik signifikan. Secara prinsip ekonomi tidak ada yang dilanggar,” ujarnya di Jakarta, Selasa, menanggapi naiknya harga BBM Shell Indonesia sejak 1 November 2021
.
Dilansir melalui Antara, berdasarkan informasi harga dari laman resmi Shell Indonesia, BBM Shell Super di Jakarta kini seharga Rp12.860 per liter dari sebelumnya Rp11.550 per liter.

Sementara untuk jenis BBM lainnya juga mengalami penyesuaian harga, seperti Shell B-Power Rp13.400 per liter, Shell V-Power Diesel Rp13.000 per liter, dan Shell V-power Nitro+ Rp13.700 per liter yang juga berlaku untuk wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Kemudian untuk wilayah Jawa Timur, harga BBM Shell Super sebesar Rp12.150 per liter dan Shell V-Power seharga Rp13.400 per liter. Adapun harga Shell Super dan Shell V-Power di Sumatera Utara masing-masing Rp11.500 dan Rp12.300 per liter.

Komaidi yang merupakan Direktur Eksektif Reforminer Institute menyampaikan kenaikan harga BBM Shell diproyeksikan bisa menambah inflasi karena bahan bakar berperan penting dalam proses produksi hingga distribusi barang dan jasa.

“Kemungkinan akan menambah inflasi mengingat BBM memegang peran penting dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa,” ungkapnya.

Komaidi mengatakan, penyesuaian harga yang dilakukan Shell Indonesia dapat memicu Pertamina untuk menaikkan harga BBM-nya karena nilai keekonomian dan harga jual yang terpaut jauh.

Harga keekonomian Pertalite kini sudah mencapai Rp11.000 per liter, namun Pertamina masih menjual Pertalite dengan harga Rp7.650 per liter. Bahkan harga keekonomian BBM Premium telah mencapai Rp9.000 per liter, tetapi masih dijual Rp6.450 per liter.

“Meskipun regulasi memberikan kewenangan dalam praktiknya Pertamina sebagai BUMN tetap harus memperoleh restu pemerintah sebagai pemegang saham,” ujar Komaidi.

Antisipasi Lonjakan Konsumsi Solar Saat Pemulihan Ekonomi

Katadata.co.id; 3 November 2021

Penulis: Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Pemberitaan mengenai kekosongan stok BBM jenis Solar menyita perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir. Kekosongan tercermin dari antrean kendaraan yang akan membeli bahan bakar ini di sejumlah SPBU. Data dan informasi menyebutkan bahwa secara nasional stok Solar disampaikan masih relatif aman.

Berdasarkan pencermatan penulis, stakeholder terkait yaitu Pertamina dan BPH Migas telah berkoordinasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Para pihak bersepakat melakukan normalisasi penyaluran Solar untuk masyarakat. Sebagai pelaksana kewajiban pelayanan umum atau PSO, Pertamina mengajukan beberapa hal kepada BPH Migas yang berwenang mengatur distribusi BBM bersubsidi.

Di antaranya, meminta diberikan fleksibilitas dalam mengatur kuota Solar subsidi, meminta dapat menambah alokasi Solar Subsidi pada lokasi-lokasi yang terdapat antrian, dan mengusulkan tambahan kuota Solar subsidi sejumlah volume tertentu sampai akhir 2021.

Pemulihan Ekonomi

Kegiatan ekonomi dan konsumsi energi dapat dikatakan seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Peningkatan kegiatan ekonomi akan disertai dengan meningkatnya permintaan atau konsumsi energi untuk proses produksi dan distribusi. Sebaliknya, penurunan kegiatan ekonomi akan berdampak terhadap berkurangnya konsumsi energi.

Penurunan konsumsi energi Indonesia pada tahun 2020 menggambarkan korelasi tersebut. Ketika kinerja perekonomian turun, konsumsi energi terutama BBM pada tahun lalu menyusut sekitar 12,42 % menjadi 65,79 juta KL dari 75,12 juta KL pada 2019. Pada periode yang sama konsumsi Solar turun sekitar 8 %.

Penurunan konsumsi BBM tersebut salah satunya merupakan konsekuensi dari menurunnya kegiatan ekonomi. Berdasarkan publikasi pemerintah, kinerja makro ekonomi Indonesia tahun 2020 turun. Sehingga menjadi logis jika konsumsi energi teruma BBM yang dibutuhkan untuk proses produksi dan distribusi barang dan jasa juga berkurang.

Laporan pemerintah menyebutkan bahwa pada triwulan kedua 2020 ekonomi Indonesia mengalami konstraksi sebesar 5,32 % year on year. Nilai ekspor dilaporkan turun sekitar 8,36 % dan impor turun 24,19 %. Sementara itu kinerja sektor pariwisata anjlok 68,17 % dan kinerja sektor transportasi mengkerut 36,23 % dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan publikasi Data Sosial Ekonomi (Oktober 2021), kondisi makro ekonomi Indonesia pada 2021 lebih baik dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua 2021 7,07 % year on year. Nilai ekspor melambung 47,64 %, impor melonjak 40,31 %, kinerja sektor pariwisata naik 25,07 %, dan kinerja sektor transportasi naik 7,26 % dibandingkan tahun sebelumnya. Jika mencermati korelasi antara kegiatan ekonomi dan konsumsi BBM, hampir dapat dipastikan konsumsi BBM pada 2021 akan lebih tinggi dibandingkan 2020.

Data yang ada menujukkan bahwa konsumsi BBM jenis Solar pada 2021 naik signifikan. Setelah tercatat menurun sangat signifikan pada Mei 2020, sejak Agustus 2021 konsumsi Solar kembali pada level 45-47 ribu kilo liter per hari. Volume konsumsi tersebut setara dengan konsumsi Solar pada periode sebelum terjadinya pandemi Covid-19.

Sejalan dengan ekonomi yang diproyeksikan meningkat sekitar 4-5 % year on year pada Q3-2021, konsumsi Solar kemungkinan meningkat lagi. Saat ini konsumsi Solar untuk ritel dan industri dilaporkan naik signifikan. Konsumsi Solar sektor ritel naik 8 % dan industri naik 41 %. Khusus konsumsi Solar oleh industri pertambangan melonjak 48 % dan industri perkebunan naik sekitar 12 %.

Berdasarkan data historis, konsumsi BBM termasuk Solar pada periode Oktober, November, dan Desember tercatat lebih tinggi dibandingkan bulan lain untuk setiap tahunnya. Menjelang akhir tahun, umumnya kegiatan mobilitas masyarakat dan distribusi barang dan jasa memang meningkat. Karena itu, kebutuhan BBM untuk kegiatan tersebut pun naik.

Mencermati kondisi eksisting dan perkembangan yang ada, hampir dapat dipastikan konsumsi BBM termasuk Solar pada akhir 2021 akan meningkat. Karena itu, perencanaan dan pengaturan kuota BBM perlu dilakukan dengan lebih baik lagi untuk meminimalkan potensi kekosongan stok BBM pada sejumlah SPBU seperti yang diberitakan dalam beberapa waktu terakhir.

Pusat kegiatan yang berpotensi menjadi konsentrasi konsumsi BBM perlu diantisipasi. Misalnya, perlu menambah jumlah stok BBM yang lebih tinggi dibandingkan kondisi normal pada jalur distribusi barang dan jasa, wilayah yang menjadi basis produksi barang dan jasa, dan wilayah-wilayah yang akan menjadi basis berkumpulnya dan mobilitas masyarakat.

Secara teknis, para stakeholder pengambil kebijakan perlu memberikan perhatian lebih untuk stok Solar pada SPBU-SPBU di Jalur Pantura, jalur pelabuhan, area dan wilayah sekitar pertambangan, perkebunan, dan wilayah sekitar dan lokasi wisata. Ini lokasi-lokasi yang kemungkinan kembali menjadi pusat konsentrasi dan mobilitas masyarakat seiring keberhasilan pemerintah menangani Covid-19.

Untuk kepentingan optimalisasi dan efisiensi, para pengambil kebijakan dapat mempertimbangkan untuk dapat menggeser stok BBM di SPBU-SPBU yang tidak terserap kepada SPBU-SPBU yang berpotensi mengalami kekosongan stok akibat meningkat permintaan. Karena itu menjadi penting untuk kemudian tidak diberlakukan kebijakan kuota BBM yang dikunci pada level SPBU, tetapi kuota BBM ditetapkan pada level wilayah.

Dengan menetapkan kuota BBM pada level wilayah, masih memungkinkan terjadi fleksibilitas untuk melakukan redistribusi kuota jika terjadi deviasi antara perencanaan dan realisasi pada masing-masing SPBU. Sehingga jika terdapat kekosongan stok atau kelangkaan BBM pada SPBU tertentu, misalnya, akan lebih mudah dan sederhana di dalam penanganan dan penyelesaiannya.