Rencana Pengembangan Blok Migas Non Konvensional, Pengamat Sarankan Ini

Bisnis.com; 19 Juli 2022

Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro menilai kebijakan pengembangan wilayah kerja minyak dan gas (WK Migas) nonkonvensional di dalam negeri masih tidak menarik bagi investor. Padahal, pengembangan WK Migas nonkonvensional ini diperkirakan menjadi alternatif upaya peningkatan lifting migas dari blok konvensional yang belakangan stagnan di tengah momentum kenaikan harga minyak mentah dunia tahun ini.

Komaidi menuturkan pemerintah perlu mendorong sejumlah kebijakan terkait dengan insentif dan kemudahan pengadaan infrastruktur pengeboran untuk menjawab persoalan khusus pada proyek pengembangan WK Migas nonkonvensional tersebut. Alasannya, posisi WK Migas Non Konvensional cenderung terpencar dengan cadangan sumber daya yang relatif kecil.

“Secara keekonomian proyek masih perlu dikembangkan lebih lanjut, masalahnya WK Migas nonkonvensional jumlahnya banyak dan tersebar dan produksinya relatif belum banyak,” kata Komaidi saat dihubungi, Selasa (19/7/2022).

Menurut Komaidi, pemerintah perlu memberi relaksasi aturan ihwal pengembangan WK Migas nonkonvensional yang relatif tersebar di beberapa wilayah. Misalkan, pengadaan infrastruktur atau alat pengeboran dapat dilakukan secara patungan antar lintas pengembang untuk menekan biaya produksi di antara WK Migas nonkonvensional yang saling terisolasi.

“Perlu joint dalam suatu kawasan tertentu pengadaannya harus disinkronkan wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya. Misalnya pengembang ada di dekat wilayah Mahakam, apakah bisa joint dengan alat-alat berat milik Pertamina,” tuturnya.

Selain itu, dia mengatakan pemerintah perlu menyiapkan paket insentif fiskal untuk menekan biaya produksi lapangan migas nonkonvensional tersebut untuk menarik minat investor lokal dan internasional masuk pada industri hulu migas nasional.

“Masalah perpajakannya lalu di bagi hasilnya, mungkin porsinya perlu lebih besar lagi. Sebetulnya kan investor kuncinya pengembalian investasinya jelas terus ada margin,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mendorong sejumlah insentif fiskal untuk menarik minat investor mengerjakan wilayah kerja minyak dan gas nonkonvensional di tengah mandeknya lifting migas di blok konvensional.

Paket insentif fiskal itu untuk menjawab potensi sumber daya migas nonkonvensional yang dianggap prospektif di beberapa wilayah kerja. Berdasarkan proyeksi SKK Migas, sumber daya minyak di wilayah kerja non konvensional itu mencapai 6,3 miliar barel sedangkan gas di kisaran 6,1 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF).

“Pada prinsipnya migas nonkonvensional ini potensinya ada tetapi untuk pengembangannya membutuhkan pengetahuan, pengembangan yang baru kita harus bisa sangat efisien oleh karena itu perlu regulasi dan dukungan fiskal tertentu,” kata Plt. Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Mohammad Kemal saat Sharing Session Jurnalis, Tangerang Selatan, Selasa (19/7/2022).

Indonesia Tak Bisa Lepas dari Jerat Minyak dan Gas hingga 2050

Liputan6.com; 25 Juli 2022

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro memperkirakan, sektor minyak dan gas (migas) masih akan memiliki peran penting dalam roadmap energi dan perekonomian Indonesia. Meskipun, pemerintah saat ini tengah giat mengkampanyekan program energi baru terbarukan, atau New Renewable Energy (RNE).

Melansir proyeksi konsumsi migas berdasarkan skenario Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), hulu migas sampai dengan 2050 masih akan jadi sektor kunci.

Proyeksi senada juga dikeluarkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang merilis tiga skenario outlook energy, yakni Business As Usual (BAU), Electric Vehicle (EV), dan New Renewable Energy (NRE).

“Peran penting hulu migas dalam roadmap energi Indonesia diantaranya dapat dilihat melalui proyeksi RUEN dan Outlook Energy BPPT, yang menyebutkan bahwa sampaidengan tahun 2050 mendatang konsumsi migas Indonesia masih akan terus meningkat,” tulis Komaidi, Senin (25/7/2022).

“Sementara produksi migas terutama produksi minyak bumi Indonesia diproyeksikan akan menurun,” terang dia.

RUEN memproyeksikan, konsumsi minyak Indonesia sampai dengan 2050 akan terus meningkat. Tiga skenario Outlook Energy BPPT (BaU, EV, NRE) juga memperkirakan volume konsumsi minyak bumi Indonesia sampai dengan 2050 akan terus melonjak.

Konsumsi minyak tertinggi terjadi pada skenario BAU, mencapai angka 1.171,75 juta barel pada 2050. Sementara produksinya hanya 70 juta barel saja.

Sementara konsumsi minyak pada skenario EV dan NRE relatif sama, lebih rendah dari skenario BAU. Skenario EV meramal konsumsi minyak sebesar 1.002,3 juta barel dengan produksi 70 juta barel. Sedangkan konsumsi minyak pada skenario NRE sebesar 1.016 juta barel dengan produksi 70 juta barel.

“Meskipun kebijakan transisi energi diimplementasikan, RUEN dan tiga skenario Outlook Energy BPPT memproyeksikan defisit neraca minyak bumi Indonesia sampai dengan tahun 2050 akan terus meningkat,” sambung Komaidi.

Komaidi melanjutkan, RUEN dan tiga skenario Outlook Energy BPPT juga memproyeksikan, volume konsumsi gas Indonesia sampai dengan 2050 akan terus meroket. Namun, terdapat perbedaan dalam proyeksi produksi gas.

“RUEN memproyeksikan produksi gas Indonesia akan meningkat sampai dengan tahun 2040, selanjutnya menurun. Sementara tiga skenario Outlook Energy BPPT memproyeksikan produksi gas Indonesia akan terus menurun,” paparnya.

Adapun proyeksi produksi gas alam menurut RUEN pada 2040 sebesar 2,99 juta bbtu, dan akan turun jadi 2,55 juta bbtu pada 2050. Sementara tiga skenario BPPT kompak memperkirakan produksi gas bakal perlahan turun jadi 0,8 juta bbtu di 2050.

“Defisit neraca gas Indonesia pada tahun 2030-2050 baik berdasarkan skenario RUEN maupun tiga skenario Outlook Energy BPPT diproyeksikan akan terus meningkat,” ujar Komaidi.

Aturan BBM Subsidi Direvisi, Menteri ESDM Beberkan Tujuannya

Kontan, 26 Juli 2022

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah merevisi aturan BBM bersubsidi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan revisi aturan pembelian BBM subsidi merupakan upaya untuk memetakan konsumen yang berhak menerima.

Dalam revisi Perpres 191/2014, pemerintah memfokuskan agar penyaluran BBM subsidi dinikmati oleh konsumen yang benar-benar berhak.

Selain itu, ini juga langkah untuk mengantisipasi tren kebutuhan atau konsumsi BBM yang ada.

“Perlu disesuaikan dengan kebutuhan, nanti kalau permintaannya naik (bagaimana). Sekarang kan juga baru mulai bergerak,” terang Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Rabu (20/7).

Kata Arifin, meskipun tren konsumsi BBM kini telah meningkat, namun saat ini baru setara dengan kondisi sebelum Pandemi Covid-19.

Seperti diketahui, pemerintah berencana merevisi Perpres 191/2014 untuk mengatur ulang kriteria pembeli solar subsidi sertaa menetapkan aturan untuk Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro memperkirakan, volume konsumsi Pertalite tahun ini bisa saja menebus 30 juta kiloliter (kl). Jumlah ini melebihi kuota tahun ini yang sebesar 23,05 juta kl.

Komaidi menyebut, rerata konsumsi tahunan Pertalite mencapai 22 juta kl.

Pernah Capai US$24 Miliar Setahun, Ini Penyebab Investasi Migas Anjlok

Katadata.co.id; 12 Juli 2022

Investasi migas di Indonesia pernah mencapai US$ 24 miliar setahun pada masa bonanza minyak bumi medio 1980-1990. Ada sejumlah penyebab mengapa kini investasi migas lesu.

SKK Migas mencatat torehan investasi pada kegiatan hulu migas pada sementer I tahun ini senilai US$ 4,8 miliar atau Rp 72 triliun dengan kurs saat ini. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 4,92 miliar. Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto juga mengatakan bahwa capaian tersebut relatif kecil di tengah momentum tingginya harga minyak mentah dan gas dunia.

Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro menilai minimnya investasi migas lantaran iklim investasi yang tidak menarik di mata para investor. Oleh karena itu, ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama bagaimana pemerintah dapat membuat hulu migas Indonesia menarik lagi di mata investor.

“Kepergian pemain migas raksasa seperti Chevron, ConocoPhillips, dan Shell dari tanah air juga menjadi pertimbangan para investor untuk menanamkan modalnya. Salah satu alasan mereka pergi yakni punya opsi investasi di tempat lain yang lebih menarik,“ ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (12/7).

Komaidi menceritakan bagaimana investasi migas di Indonesia membuncah pada masa bonanza minyak medio 1980 hingga 1990. Dia menyebut investasi migas pada era kejayaan minyak mencapai US$ 24 miliar per tahun.

“Secara historis sempat dikisaran US$ 12 miliar per semester. Karena saat itu cadangan sangat besar dan iklim investasinya berada di bawah kendali atau koordinasi dari presiden langsung,“ ujarnya.

Komaidi menjelaskan, saat masa Orde Baru, investasi di sektor hulu migas seperti persoalan perizinan dan insentif pajak langsung ditangani oleh PT Pertamina. Kondisi yang demikian dinilai sebagai faktor pemikat para investor. “Kan waktu itu Pertamina bertanggungjawab secara langsung kepada presiden saat itu,“ ujar Komaidi.

Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya ini menambahkan, pemerintah harus membenahi aturan main di sektor hulu migas agar kondisinya lebih sehat dan stabil. Seperti jaminan yang harus dikatakan oleh pemerintah untuk tidak mengubah regulasi di tengah pengerjaan proyek.

Ia mencontohkan soal pengaturan dan skema produksi Blok Masela yang awalnya diproduksi di laut kemudian diubah ke darat. Menurutnya, hal itu mengubah keseluruhan proyek yang berimbas pada disinsentif yang besar yang menyebabkan Shell hengkang dari proyek itu.

“Kemudian, dalam aspek bagi hasil yang sebelumnya modelnya cost recovery murni di tengah jalan diubah. Karena diubah di tengah jalan oleh pemerintah, ukuran dan risikonya menjadi tidak terprediksi lagi karena segala sesuatu sangat dinamis,“ tukas Komaidi.

Pemerintah pun dinilai tak serius dalam memperbaiki iklim investasi migas. Pasalnya, revisi Undang-undang Migas hingga kini belum juga selesai. Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengatakan, sikap tak serius pemerintah ditunjukkan dengan menarik bab khusus migas, yang sebelumnya tertulis di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

“Waktu membahas UU Cipta Kerja, ada klausul revisi UU Migas dari pemerintah yang disebut akan merevisi dan membentuk badan pengganti SKK Migas. Pada akhirnya, pemerintah menarik bab terkait revisi UU Migas,“ kata Mulyanto beberapa waktu lalu, Rabu (15/6).

Ia menyampaikan, anggota Komisi VII mendorong pembahasan revisi UU Migas rampung tahun ini. Namun, hal ini tertunda karena tiap komisi di DPR hanya diberikan jatah satu rancangan undang-undang untuk diajukan ke rapat paripurna. Jatah tersebut sudah digunakan untuk meloloskan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) ke rapat paripurna pada Selasa (14/6).

RUU EBET dikabarkan akan disahkan menjadi UU sebelum pelaksanaan puncak G20 di Bali pada November. “Komisi VII selesaikan RUU EBET. Kalau sudah selesai, baru masuk ke revisi UU Migas,” ujar Mulyanto.