Ekspor Gas ke Singapura Diperpanjang, Pasokan Dalam Negeri Jangan Sampai Cekak

Detik.com; 31 Oktober 2022

Jakarta – Langkah cepat pemerintah untuk memperpanjang ekspor gas alam ke Singapura mendapat sorotan banyak pihak. Di tengah tingginya kebutuhan energi yang lebih efisien dan rendah emisi di dalam negeri, keputusan itu dinilai justru menjadi bukti bahwa kebijakan pengelolaan energi belum sepenuhnya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia.

“Idealnya, sebuah negara akan lebih memprioritaskan pemenuhan energi domestik ketimbang memikirkan kebutuhan negara lain. Apalagi kondisi saat ini kita sedang dihadapkan pada biaya energi yang tinggi akibat besarnya konsusmi BBM dan LPG yang diimpor,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, kepada wartawan, akhir pekan ini.

Komaidi menegaskan, jika Indonesia memang punya cadangan gas bumi yang cukup sebaiknya dikelola dengan lebih baik. Dengan populasi yang terus membesar dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang baik akan membuat Indonesia membutuhkan sumber energi yang kompetitif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing.

Belajar dari krisis energi yang terjadi di Eropa dan dunia, ketahanan energi menjadi faktor penting yang harus menjadi prioritas pemerintah dan dengan terjaganya ketahanan energi juga akan meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam diplomasi energi.

“Bila perlu ekspor energi dikurangi. Kalau sumber daya yang kita miliki tidak cukup, nanti justru impor akan semakin membesar dan membuat ketahanan energi terus melemah. Ke depan, pasokan gas perlu diatur dengan lebih baik pasokannya, jangan dihabiskan, terlebih dengan cita-cita menjadikan gas bumi sebagai energi transisi,” tegasnya.

Terlepas dari besarnya perhatian terhadap ekspor gas ke Singapura, optimalisasi gas bumi, terutama gas alam, di dalam negeri dinilai sangat penting baik untuk kebutuhan pembangkit, industri dan rumah tangga.

“Gas ini merupakan energi transisi menuju energi yang lebih bersih atau EBT. Jika memang pemerintah punya komitmen untuk mencapai net zero emissions, mestinya penggunaan gas bumi di perbesar untuk sektor-sektor strategis,” ungkapnya.

Berbeda dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) gas bumi memiliki keunikan. Kunci pemanfaatannya ada pada infrastruktur. “Jadi, bila tidak ada infrastruktur maka tidak bisa dimanfaatkan. Konsumen gas di Jawa dan Sumatera, tapi sumber daya ada di Indonesia Timur. Bila tidak terkoneksi maka gas tidak dapat dimanfaatkan,” terangnya.

Untuk itu, Komaidi meminta komitmen dan langkah penting pemerintah dalam rangka mendukung optimalisasi gas di dalam negeri harus berupa kebijakan yang konkrit dari hulu sampai dengan hilir. Yang menjadi prioritas adalah tersedianya pasokan gas yang didukung dengan terwujudnya kematangan infrastruktur gas. Sehingga rantai pasok gas bumi mulai dari hulu sampai hilir dapat terintegrasi dan harapannya konsumen pengguna gas akan terus membesar.

“Pemerintah mesti intervensi untuk membangun pasar gas bumi yang besar di domestik baik dalam bentuk kebijakan (policy) maupun regulasi. Karena bisnis gas ini unik, tidak bisa umur sumurnya 20 tahun tapi komitmen pembeliannya hanya 15 tahun. Intervensi itu bisa saja dilakukan misalnya mendorong pabrik pupuk, petrokimia, PLN dimana BUMN menggunakan gas bumi. Yang dibutuhkan adalah sesuatu yang konkrit dan keberpihakan, bukan hanya sekadar aturan,” ujar Komaidi.

Jika komitmen itu bisa diwujudkan, pemerintah dinilai benar-benar telah menjalankan amanat UUD 45. Bahwa gas bumi yang berasal dari perut bumi Indonesia harus bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat Indonesia.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk segera memperbarui perjanjian pasokan baru gas bumi ke Singapura dari Sumatera Selatan karena perjanjian penjualan sebelumnya akan berakhir pada 2023.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan keputusan telah disimpulkan dan perjanjian pasokan baru akan untuk jangka waktu lima tahun.

2 BUMN Ini jadi Kunci Indonesia Capai Target Net Zero Emission 2060

Liputan6.com; 31 Oktober 2022

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia berkomitmen mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang. ReforMiner menilai peta jalan Net Zero Emission Indonesia sebagaimana tertuang dalam Kepmen KLHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/ 2022 telah cukup berimbang.

Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, mengatakan penetapan target waktu dan sektor-sektor mana saja yang digunakan sebagai instrumen dalam mencapai target menggambarkan bahwa pemerintah telah mempertimbangkan berbagai aspek, terutama menyeimbangkan aspek ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi di dalam upaya mencapai NZE.

Berdasarkan informasi yang telah berkembang, diketahui bahwa sektor energi akan menjadi salah satu instrumen utama dalam mencapai target NZE.

“Dalam kaitannya dengan hal tersebut, sebagai BUMN, Pertamina dan PLN kemungkinan akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam upaya mencapai target NZE di sektor energi,” kata Komaidi, dikutip dalam catatannya yang berjudul Peta Jalan Net Zero Emission dan Ketahanan Ekonomi-Energi Indonesia, Senin (31/10/2022).

Menurutnya, dalam mencapai target NZE di sektor energi, Pertamina kemungkinan akan menjadi salah satu pihak yang berperan penting. Berdasarkan informasi yang ada, hingga tahun 2060 Pertamina menargetkan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 81,4 juta ton CO2e.

Maka dalam upaya mencapai target NZE pada kegiatan usaha hulu migas di dalam negeri, Pertamina kemungkinan juga akan menjadi pihak yang diandalkan. Pertamina tercatat berkomitmen melakukan kegiatan operasi produksi migas dengan lebih ramah lingkungan.

“Pertamina tercatat sebagai perusahaan migas yang paling aktif dalam upaya penerapan CCS/CCUS dalam kegiatan hulu migas. Dari 15 studi CCS/CCUS di Indonesia, sekitar 80  persen diantaranya dikerjakan oleh Pertamina,” ujarnya.

Untuk sektor kelistrikan, terutama melalui PLN akan menjadi kunci dalam pencapaian target NZE di sektor energi. Berdasarkan informasi yang ada, penurunan emisi gas rumah kaca terbesar di sektor kelistrikan ditargetkan akan berasal dari pembangkit listrik.

Mewujudkan Peta Jalan ‘Net Zero Emission’

Bisnistoday.co.id; 31 Oktober 2021

Pemerintah Indonesia berkomitmen mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang. Komitmen pemerintah ini diwujudkan dengan salah satunya regulasi yang merupakan bagian dari kebijakan NZE adalah Keputusan Menteri (Kepmen) KLHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2022.

Berdasarkan regulasi tersebut, dalam skenario Current Policy (CPOS) emisi gas rumah kaca Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat dan menjadi sekitar 2.500 juta ton Co2e pada 2050. Emisi gas rumah kaca diproyeksikan turun menjadi sekitar 1.500 juta ton Co2e pada 2050 jika Indonesia menjalankan skenario Transition (TRNS).

Sementara jika skenario Low Carbon Development Compatible with Paris (LCCP) yang dijalankan, emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2050 diproyeksikan dapat lebih rendah lagi.

ReforMiner berpendapat terhadap peta jalan NZE dan ketahanan ekonomi-energi Indonesia.Peta jalan NZE Indonesia sebagaimana tertuang dalam Kepmen KLHK dinilai telah cukup berimbang. 

Penetapan target waktu dan sektor-sektor mana saja yang digunakan sebagai instrumen dalam mencapai target menggambarkan bahwa pemerintah telah mempertimbangkan berbagai aspek, terutama menyeimbangkan aspek ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi di dalam upaya mencapai NZE.

Peran Penting BUMN Energi

Berdasarkan informasi yang telah berkembang, diketahui bahwa sektor energi akan menjadi salah satu instrumen utama dalam mencapai target NZE. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, sebagai BUMN, Pertamina dan PLN kemungkinan akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam upaya mencapai target NZE di sektor energi.

Dalam mencapai target NZE di sektor energi, Pertamina kemungkinan akan menjadi salah satu pihak yang berperan penting. Berdasarkan informasi yang ada, hingga tahun 2060 Pertamina menargetkan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 81,4 juta ton CO2e.

Dalam upaya mencapai target NZE pada kegiatan usaha hulu migas di dalam negeri, Pertamina kemungkinan juga akan menjadi pihak yang diandalkan. 

Pertamina tercatat berkomitmen melakukan kegiatan operasi produksi migas dengan lebih ramah lingkungan. Pertamina tercatat sebagai perusahaan migas yang paling aktif dalam upaya penerapan CCS/CCUS dalam kegiatan hulu migas. Dari 15 studi CCS/CCUS di Indonesia, sekitar 80 % diantaranya dikerjakan oleh Pertamina.

Sektor kelistrikan, terutama melalui PLN akan menjadi kunci dalam pencapaian target NZE di sektor energi. Berdasarkan informasi yang ada, penurunan emisi gas rumah kaca terbesar di sektor kelistrikan ditargetkan akan berasal dari pembangkit listrik. 

Emisi sektor energi yang pada tahun 2060 ditargetkan sebesar 401 juta ton CO2e akan berasal dari penggunaan energi pada sektor industri, transportasi, komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya. Sementara pada tahun 2060 pembangkit listrik di Indonesia ditargetkan telah mencapai NZE.

Jika mencermati peta jalan NZE sektor energi yang ada, pencapaian NZE pada sektor kelistrikan kemungkinan akan dilakukan dengan menyeimbangkan antara porsi pembangkit berbasis fosil dengan pembangkit berbasis EBT. Kapasitas pembangkit berbasis fosil dikurangi secara bertahap, sementara kapasitas pembangkit berbasis EBT ditambah secara bertahap.

Butuh Dorongan Pemerintah

ReforMiner menilai, untuk dapat merealisasikan target NZE sebagaimana di atas, Pertamina dan PLN memerlukan dukungan fiskal dan non fiskal. Dalam jangka waktu tertentu, pengembangan EBT untuk menggantikan bisnis fosil yang telah dijalankan oleh kedua perusahaan akan memerlukan tambahan investasi baru dan sampai dengan skala ekonominya terpenuhi harga jual EBT berpotensi menjadi relatif lebih mahal.

“Pemberian insentif fiskal dan bentuk dukungan kebijakan lain sampai dengan skala ekonomi bisnis EBT terpenuhi sangat diperlukan.” 

ReforMiner memproyeksikan, aspek ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi akan menjadi penentu pencapaian target NZE di Indonesia, termasuk yang akan dilakukan oleh Pertamina dan PLN.

Perbedaan target penurunan emisi Indonesia antara sebesar 26 % (0,038 Giga ton CO2) dengan upaya sendiri dengan 41 % (0,056 Giga ton CO2) jika mendapatkan bantuan dari internasional, menggambarkan bahwa aspek ekonomi terutama konsekuensi biaya yang akan timbul atas kebijakan yang akan dilaksanakan menjadi pertimbangan utama.

Selaraskan Dengan Ketahanan Energi

Revisi target waktu pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dari tahun 2020 (Perpres No.61/2011) menjadi mundur pada tahun 2030 (UU No.16/2016) kembali menegaskan bahwa pencapaian target NZE perlu diselaraskan dengan aspek ketahanan ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi di dalam negeri

Pada level global, pilihan kebijakan yang akan diambil kemungkinan juga akan sama bahwa aspek ketahanan ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi akan menjadi kunci dalam pencapaian target NZE. Masing-masing negara kemungkinan akan mencari titik keseimbangan dalam mencapai target NZE yang telah mereka tetapkan.

Butuh Komitmen Semua Pihak

Peningkatan konsumsi energi fosil global terutama batubara pada 2020-2021, ditengah kampanye transisi energi yang terus menguat, menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pasokan energi tetap menjadi prioritas utama dari masing-masing negara dalam upaya mencapai target NZE yang telah ditetapkan.

Fenomena sejumlah negara yang sebelumnya telah berkomitmen meninggalkan batubara tetapi pada saat kritikal seperti saat ini kembali menggunakan batubara, perlu menjadi perhatian dan referensi bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan NZE. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa aspek keamanan pasokan energi untuk setiap negara tetap merupakan yang terpenting di dalam era transisi energi dan penerapan NZE ke depan.

Hal tersebut tidak berarti harus mendorong Indonesia mundur dari komitmen NZE yang telah digariskan, tetapi justru menjadi pendorong untuk segera menciptakan ekosistem bisnis EBT yang lebih solid. Pengembangan EBT tidak semata-mata hanya untuk mencapai target NZE, tetapi tetap merupakan bagian dari upaya untuk mengamankan pasokan energi di dalam negeri.

Karena itu, kerangka regulasi yang diperlukan seperti Undang-Undang Energi Terbarukan dan peraturan pelaksananya, aturan tentang insentif dan pelaksanaan CCS/CCUS dan perdagangan karbon, perlu segera disediakan. 

Banyak Dilirik, Ternyata Indonesia Punya Harta Karun Ini

CNBCIndonesia; 20 Oktober 2022

Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki harta karun batu bara. Batu bara yang dimiliki tanah air bahkan telah memenuhi hajat energi banyak negara di dunia.

Faktanya, SDA tambang batu bara di Indonesia bahkan masih menyimpan banyak stok yang memungkinkan Indonesia dapat terus secara berkelanjutan memenuhi stok pasokan sumber daya energi bagi negeri maupun untuk diekspor.

Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan batu bara Indonesia mencapai sebanyak 31,7 miliar ton. Tahun ini produksi batu bara Indonesia ditarget mencapai 663 juta ton.

Banyaknya ‘Harta karun’ emas hitam yang dimiliki Indonesia ini dinilai bikin dunia iri dan menjadi rebutan. Apalagi di benua Eropa, mereka memang sedang membutuhkan bahan baku batu bara untuk kebutuhan energi kelistrikan negaranya di tengah krisis energi yang sedang melanda negara-negara Uni Eropa tersebut.

Batu bara asal Indonesia menjadi substitusi impor Eropa tatkala, negara-negara tersebut mengenakan sanksi ekonomi berupa penyetopan batu bara dari Rusia yang menjadi andalan mereka.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan berdasarkan data unofficial, ekspor batu bara dari Indonesia ke negara-negara Eropa mencapai sebanyak 3,5 juta – 4 juta ton.

Ekspor ini menjadi yang terbesar pertama sepanjang sejarah. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, volume ekspor batu bara Indonesia ke Eropa biasanya kurang dari 1 juta ton per tahun.

“Tentu saja jumlah tersebut ada peningkatan yang signifikan. Ini memang belum angka resmi, kalau memang jumlahnya segitu (4 juta ton) ini yang terbesar (sepanjang sejarah),” terang Hendra kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (17/10/2022).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa ketergantungan dunia terhadap batu bara masih cukup tinggi. Ditambah masa pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, sehingga membutuhkan pasokan energi yang besar dengan harga terjangkau.

“Harga murah dan itu ada pada batu bara. Saya kira menghilangkan peran batubara untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan masih akan sulit,” jelasnya.

Dengan semua keuntungan tersebut, menurutnya batu bara masih sangat dibutuhkan sebagai sumber energi yang murah dan potensial. Industri batu bara bahkan punya peran besar terhadap terciptanya lapangan pekerjaan baik di dalam maupun luar negeri.

Namun di sisi lain, batu bara juga mulai disingkirkan secara perlahan diganti dengan energi baru terbarukan (EBT), demi terciptanya dunia yang bersih.

Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk melakukan transisi energi dari energi fosil menjadi EBT. Namun sayangnya, usaha tersebut memang tidak mudah, terlebih batu bara menjadi sumber energi yang dibutuhkan seluruh dunia di tengah gejolak perang Rusia-Ukraina.

Jika kondisi minat pada batu bara RI nantinya sudah benar-benar surut, hal ini pun tampaknya bukan menjadi masalah besar karena Pemerintah telah mendorong percepatan proyek gasifikasi batu bara. Proyek gasifikasi ini diharapkan dapat menghasilkan (Dimethyl Ether/DME) sebagai substitusi LPG, sehingga dapat menekan impor LPG yang terus meningkat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pemilihan DME untuk subtitusi sumber energi bagi Pemerintah mempertimbangkan pada dampak lingkungan. DME dinilai mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon dan meminimalisir gas rumah kaca hingga 20%.

“Diharapkan ke depan, ini (gasifikasi batu bara) masif dilakukan sehingga mengurangi ketergantungan kita terhadap impor LPG. Ini merupakan cerminan ketahanan energi nasional yang berlandaskan pada bahan baku lokal,” papar Arifin.

Riset: RI Bisa Hemat Rp 33,23 T dari Kenaikan Pertalite & Solar, tapi…

Senin, 10 Oktober 2022

Jakarta – Lembaga riset independen di bidang ekonomi energi dan pertambangan ReforMiner Institute menilai pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi dan kompensasi BBM sekitar Rp 33,23 triliun sampai akhir 2022. Hal ini karena harga BBM subsidi Pertalite dan Solar telah dinaikkan sejak 3 September 2022.
Penghematan Rp 33,23 triliun tersebut berasal dari Rp 23,43 triliun menghemat anggaran kompensasi Pertalite yang saat ini volumenya ditetapkan menjadi 29,91 juta kiloliter (KL). Sisanya Rp 9,80 triliun bisa menghemat anggaran subsidi/kompensasi Solar yang kuotanya ditetapkan menjadi 17,83 juta KL.

“Secara hitungan, total penghematan anggaran subsidi/kompensasi untuk Pertalite dan Solar subsidi hingga akhir 2022 adalah sekitar Rp 33,23 triliun,” bunyi catatan ReforMiner Institute berjudul ‘Penurunan Harga BBM dan Gambaran Arah Kebijakannya’, Senin (10/10/2022).

Meski begitu, melihat harga minyak dan nilai tukar rupiah saat ini, ReforMiner menemukan kemungkinan masih diperlukannya tambahan anggaran untuk kompensasi BBM. Selama September-Desember 2022, tambahan anggaran untuk kompensasi Pertalite diperkirakan sekitar Rp 19,94 triliun dan untuk Solar sekitar Rp 42,72 triliun.

Dengan menggunakan referensi harga yang berlaku di dalam negeri, kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi untuk BBM Pertalite dan Solar selama September-Desember 2022 diperkirakan sekitar Rp 62,73 triliun.

“Artinya dengan memperhitungkan penghematan yang diperoleh dari penyesuaian harga yang telah dilakukan, masih terdapat kebutuhan tambahan anggaran kompensasi BBM sekitar Rp 29,49 triliun,” tuturnya.

Pemerintah sebelumnya sudah mengatakan bahwa subsidi dan kompensasi BBM tetap bengkak meski harga dilakukan penyesuaian. Dalam APBN 2022 sendiri anggaran subsidi dan kompensasi sudah naik tiga kali lipat, dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun.

“Rp 502 triliun sudah membengkak sampai estimasi kita Rp 698 triliun. Dengan kenaikan Pertalite dan Solar, maka kita perkirakan tidak jadi di Rp 698 triliun, tapi sekitar Rp 650 triliun. Jadi subsidinya ini masih besar sekali sebenarnya, masih Rp 650 triliun meskipun kita sudah melakukan peningkatan harga Pertalite dan Solar,” kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam acara CNBC Indonesia TV, Senin (5/9/2022).

 

Penurunan Harga BBM dan Gambaran Arah Kebijakan Pertalite serta Solar

Katadata.co.id; 09 Oktober 2022

Wajar harga BBM nonsubsidi pada Oktober 2022 turun seiring pelemahan nilai minyak dunia. Apa harga Pertalite dan Solar subsidi bisa turun juga?

Penurunan harga bahan bakar minyak nonsubsidi oleh seluruh badan usaha niaga BBM pada awal Oktober 2022 merupakan keputusan positif dan dapat menjadi momentum tepat untuk mengedukasi publik. Keputusan pemerintah yang memberikan izin tersebut merupakan sinyal positif sekaligus menjawab kekhawatiran mengenai persepsi bahwa ketika harga BBM yang sudah naik akan sulit diturunkan. Fenomena naik dan turun harga BBM merupakan sesuatu yang wajar seperti harga jual barang dan jasa pada umumnya. Ketika harga bahan baku atau komponen biaya yang lain meningkat, harga akhir dari barang dan jasa umumnya akan naik, dan sebaliknya.

Fenomena naik dan turun harga BBM merupakan sesuatu yang wajar seperti harga jual barang dan jasa pada umumnya. Ketika harga bahan baku atau komponen biaya yang lain meningkat, harga akhir dari barang dan jasa umumnya akan naik, dan sebaliknya.

Penurunan harga BBM nonsubsidi pada awal Oktober 2022 tampaknya juga mengikuti prinsip tersebut. Harga minyak mentah yang menjadi komponen biaya utama dalam penyediaan BBM memang sedang turun.

Untuk mengkalkulasikan harganya, ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Di dalamnya, harga dasar BBM untuk setiap bulan dihitung dengan menggunakan rata-rata harga minyak (indeks pasar) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya sampai 24 satu bulan sebelumnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, harga dasar BBM pada Oktober 2022 menggunakan rata-rata harga minyak dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode 25 Agustus 2022 sampai 24 September 2022. Sementara harga minyak pada periode Agustus dan September tercatat menurun dibandingkan periode sebelumnya.

Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada periode Juni-Juli 2022 lebih tinggi dibandingkan periode Agustus-September 2022. Rata-rata ICP untuk periode Juni, Juli, Agustus, dan September 2022 masing-masing US$ 117,62, US$ 106,73, US$ 94,17, dan US$ 86,07 per barel. Karena itu menjadi wajar jika harga jual BBM nonsubsidi pada Oktober 2022 lebih rendah dibandingkan dengan harga jual periode September 2022.

Bagaimana dengan Harga Pertalite dan Solar Subsidi?

Pertanyaan yang kemudain menyertai penurunan harga BBM non-subsidi yakni mengenai harga Pertalite dan Solar subsidi, apakah dapat ikut diturunkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah relatif. Probabilitas untuk menurunkan atau tetap mempertahankan masih sama-sama terbuka, akan ditentukan oleh objective pemerintah.

Jika objective pemerintah adalah memperbaiki daya beli dan mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi pascapandemi, terdapat peluang harga Pertalite dan Solar subsidi ikut diturunkan. Akan tetapi, jika objective pemerintah adalah menjaga kesehatan dan produktivitas fiskal, peluang penurunan harga untuk kedua jenis BBM tersebut akan semakin kecil.

Saat ini, harga jual kedua jenis BBM tersebut relatif masih di bawah harga wajar. Untuk BBM RON 90 misalnya, saat ini badan usaha niaga BBM selain Pertamina menjual di kisaran Rp 14.000 per liter. Sementara untuk BBM jenis Solar dengan CN 51 dan CN 53 dijual Rp 17.000-Rp 18.450 untuk setiap liternya.

Jika mencermati postur APBN/APBN-P 2022, kondisi fiskal pada tahun ini relatif berat. Penurunan defisit anggaran dari Rp 868 triliun pada APBN 2022 menjadi Rp 840 triliun pada APBNP 2022, secara nominal, tetap tercatat sebagai defisit anggaran terbesar sepanjang sejarah APBN Indonesia. Sementara penurunan harga Pertalite dan Solar subsidi tentu akan berdampak langsung terhadap bertambahnya defisit anggaran.

Meskipun sejak 1 September 2022 pemerintah telah menyesuaikan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 dan Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800, secara kalkulasi kebijakan tersebut belum akan cukup untuk membantu memperbaiki kondisi defisit anggaran 2022.

Dengan volume Pertalite (JBKP) 2022 ditambah menjadi 29,91 juta KL, melalui penyesuian harga tersebut pemerintah berpotensi menghemat anggaran kompensasi Pertalite sebesar Rp 70,28 triliun dalam satu tahun anggaran. Namun, karena penyesuaian harga baru efektif dilakukan per 1 September 2022, penghematan anggaran kompensasi Pertalite yang akan diperoleh pemerintah sampai berakhirnya tahun anggaran 2022 adalah sebesar Rp 23,43 triliun.

Untuk Solar subsidi, dengan penambahan volume kuota di 2022 menjadi 17,83 juta KL, melalui penyesuian harga, penghematan anggaran subsidi/kompensasi Solar yang diperoleh sebesar Rp 29,41 triliun dalam satu tahun anggaran. Kondisinya sama, karena penyesuaian harga baru efektif per 1 September 2022.

Dengan demikian, penghematan anggaran subsidi/kompensasi Solar yang akan diperoleh sampai berakhirnya tahun anggaran 2022 adalah sebesar Rp 9,80 triliun. Total penghematan anggaran subsidi/kompensasi untuk dua jenis BBM tersebut sampai akhir tahun sebesar Rp 33,23 triliun.

Dengan meperhatikan selisih harga penetapan dan harga wajar saat ini, kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM sampai akhir tahun masih cukup besar. Jika harga wajar Pertalite diasumsikan Rp 12.000 per liter, kebutuhan anggaran kompensasi Pertalite selama September – Desember 2022 sekitar Rp 19,94 triliun. Sedangkan jika harga wajar Solar subsidi sekitar Rp 14.000 per liter, kebutuhan anggaran subsidi/kompensasi Solar selama September – Desember 2022 sekitar Rp 42,72 triliun.

Dengan asumsi harga wajar Pertalite dan Solar subsidi masing-masing dikisaran Rp 12.000 dan Rp 14.000 untuk setiap liternya, kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi untuk kedua jenis BBM tersebut selama kurun empat bulan usai penyesuaian harga BBM sekitar Rp 62,73 triliun. Artinya, untuk kebutuhan anggaran kompensasi BBM masih terdapat defisit Rp 29,49 triliun meskipun telah dilakukan penyesuaian harga.

Jika mencermati postur APBN 2023, gambaran arah kebijakan harga BBM di tahun depan kemungkinan relatif tidak akan jauh berbeda dengan tahun ini. Upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat melalui intervensi harga BBM kemungkinan semakin meningkat.

Akan tetapi mengenai seberapa besar kadar intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah akan ditentukan oleh perkembangan harga minyak mentah, nilai tukar rupiah, dan keseimbangan APBN 2023 secara keseluruhan.

Harga BBM Pertamax Sudah Turun, Bagaimana dengan Pertalite?

Kontan.co.id; 03 Oktober 2022

JAKARTA. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga,  Irto Ginting mengatakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite telah berada di bawah keekonomian kendati harga minyak dunia telah turun. Karena itu pemerintah masih memberikan subsidi pada BBM Pertalite.

“Harga pertalite saat ini masih di bawah harga keekonomian. Masih ada subsidi dari Pemerintah,” ujarnya kepada Kontan.co.id, tanpa menyebut angka harga keekonomian yang dimaksud (3/10).

Seperti diketahui saat ini harga Pertalite Rp 10.000 per liter. Sementara itu, update terbaru harga BBM per 1 Oktober 2022, pemerintah menurunkan harga terhadap dua jenis bahan bakar umum (JBU) atau BBM non subsidi yakni Pertamax dan Pertamax Turbo.

Harga Pertamax yang semula berkisar Rp 14.500 per liter – Rp 15.200 per liter (tergantung provinsi) turun menjadi Rp 13.900 per liter – Rp 14.500 per liter. Sedang harga Pertamax Turbo yang semula berkisar Rp 15.900 per liter – Rp 16.600 per liter menyusut jadi Rp 14.950 per liter – Rp 15.550 per liter.

Sejauhi ni pemerintah belum mengeluarkan kebijakan harga terbaru lagi untuk Pertalite. Irto sendiri mengaku tidak tahu menahu soal proyeksi harga Pertalite ke depan. “Kewenangan menentukan harga untuk BBM subsidi ada di Pemerintah,” tutur Irto.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, harga keekonomian Pertalite berada di kisaran angka Rp 13.000-an per liter jika mengacu kepada pergerakan publikasi harga minyak Mean of Platts Singapore (MOPS) selama 3 bulan terakhir yang berada di angka US$ 100 per barel.

“Jadi pemerintah masih memberikan kompensasi sebesar Rp 3000-an per liternya,” ujar Mamit kepada Kontan.co.id (3/10).

Dengan kondisi yang ada, Mamit memperkirakan bahwa harga Pertalite berat untuk mengalami penurunan.

Di sisi lain, ia menilai bahwa harga Pertalite sebaiknya dipertahankan, sebab opsi menurunkan harga Pertalite menurutnya hanya akan meningkatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara harga barang dan jasa belum tentu mengekor ikut turun.

“Masih ada kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah. Jika diturunkan beban apbn akan meningkat kembali. Apalagi tidak ada jaminan harga turun diikuti dengan yang lain,” ujarnya.

Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro juga memperkirakan bahwa harga Pertalite pada saat ini masih berada di bawah harga keekonomian. Menurut taksiran Komaidi, harga keekonomian Pertalite saat ini masih berada di rentang Rp 11.500 per liter – Rp 12.000 per liter.

“Untuk harga Pertalite dengan rata-rata ICP dan nilai tukar dalam beberapa waktu terakhir kemungkinan masih di atas harga yang ditetapkan,” ujar Mamit saat dihubungi Kontan.co.id (3/10).

Proyeksi Komaidi, harga Pertalite belum akan turun dalam waktu dekat. Hal lantaran besarnya pengguna Pertalite yang berasal dari golongan menengah atas.

“Kemungkinan dipertahankan karena pengguna Pertalite diidentifikasi banyak kalangan yang mampu. Data menyebut 80% Pertalite dikonsumsi golongan menengah atas,” tutur Komaidi.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira dalam wawancaranya dengan Kompas.com menilai bahwa pemerintah dapat menurunkan harga BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar subsidi ke angka sebelum adanya kenaikan, yaitu Rp 7.650 per liter untuk Pertalite dan Rp 5.000 per liter untuk solar subsidi.

Menurut Bhima, penurunan harga BBM subsidi tidak akan membebani APBN, sebab, posisi APBN 2022 di Agustus 2022 mengalami surplus Rp 107 triliun. Di sisi lain, pemerintah, kata Bhima, juga masih menikmati keuntungan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor batubara seturut terjadinya windfall.

“APBN yang alami surplus Rp 107 triliun per Agustus menambah ruang bagi pemerintah untuk menambah alokasi subsidi energi,” ujar Bhima sebagaimana dikutip dari pemberitaan Kompas.com (3/10).