Kejar Target 1 Juta Barel, Pengusaha Ingatkan Pendanaan Migas Makin Sulit

Bisnis.com; 26 Juni 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Sebagian pelaku usaha mulai mengkhawatirkan dampak ikutan dari molornya pengerjaan sejumlah proyek minyak dan gas (migas) strategis di dalam negeri yang belakangan berpotensi mengoreksi target 1 juta barel minyak per hari (bopd) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (Bscfd) pada 2030. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, mundurnya realisasi target produksi pada 2030 itu bakal berdampak negatif pada akses investasi industri hulu migas di dalam negeri. Moshe beralasan peluang investasi fosil dari tahun ke tahun bakal makin sempit seiring dengan peralihan portofolio pada energi baru terbarukan (EBT).

“Kita bicara investasi untuk produksi baru itu hanya US$1 triliun sampai 2035, alokasi di Asia Tenggara mungkin hanya 1 sampai 2 persen kita bersaing di situ, ada Vietnam, ada Malaysia yang butuh investor juga,” kata Moshe melalui sambungan telepon, Senin (26/6/2023). Situasi itu, kata Moshe, bakal mempersulit ruang pendanaan bagi sejumlah lapangan yang belum termonetisasi atau bahkan tereksplorasi di Indonesia saat itu. Dengan demikian, dia berharap, pemerintah dapat mengintensifkan realisasi pengerjaan beberapa lapangan untuk mengejar produksi sesuai target 2030 mendatang.

“Pendanaan makin sempit, makin ke depan makin sulit. Kalau mau ya harus dari sekarang pemerintah harus berkorban nggak hanya mengurangi untungnya, mau sedikit rugi juga dalam arti mengeluarkan uang,” kata dia. Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti tren penurunan target lifting migas yang kembali berlanjut pada penyusunan rancangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 awal bulan ini.

Menurut Komaidi, tren penurunan lifting migas itu makin memperlebar jarak kemampuan produksi nasional dari target yang ditetapkan pemerintah pada 2030 mendatang. Komaidi mengatakan, pemerintah mesti meyakinkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk berinvestasi di tengah susutnya target lifting migas tersebut.

“Di sini perlu apakah pemerintah pro investasi atau payung hukum disiapkan ini jadi satu paket, tapi di sisi lain bisa jadi pesimis kalau sekarang lifting sekitar 600.000 barel, apa betul 1 juta barel bisa tercapai,” kata Komaidi saat dihubungi, Senin (26/6/2023). Seperti diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menegaskan target 1 juta barel minyak per hari (bopd) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (Bscfd) tidak bergeser dari 2030 kendati sejumlah rencana proyek migas raksasa belakangan mundur.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, target itu mesti tetap dipegang untuk menjaga iklim investasi serta rencana peningkatan produksi migas di dalam negeri beberapa tahun terakhir.

“Kita masih mengacu kepada target jangka panjang tersebut, dalam rangka menjaga spirit transformasi,” kata Tjip, sapaan karibnya, kepada Bisnis, Senin (26/6/2023).

Tjip mengakui sejumlah proyek strategis sempat molor dari rencana produksi komersial, seperti proyek Tangguh LNG Train 3 di Papua Barat serta proyek pengembangan Lapangan Unitasi Jambaran Tiung Biru (JTB), Jawa Timur.

Selain itu, pengerjaan untuk dua aset migas raksasa, Blok Masela dan proyek migas laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) masih terkendala lantaran pandemi dan isu divestasi yang berlarut hingga pertengahan tahun ini.

“Memang ada beberapa proyek yang mundur penyelesaiannya maupun pelaksanaannya,” kata dia. Di sisi lain, dia memastikan lembaganya tengah berupaya untuk mendorong produksi lebih intensif pada rentang waktu yang tersisa menuju 2030 mendatang.

SKK Migas belakangan mendorong percepatan produksi dari hasil kegiatan eksplorasi sejumlah sumur serta mengarahkan KKKS untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi target high risk dan play opener.

Aturan Baru Gross Split Positif, Tapi Industri Hulu Migas Tetap Butuh Fleksibilitas

Dunia Energi, 21 Juni 2023

JAKARTA – Rencana pemerintah untuk merivisi aturan kontrak bagi hasil gross split memang dinilai cukup positif oleh berbagai kalangan. Namun ada satu kunci agar pemerintah bisa mendapatkan manfaat dari revisi gross split tersebut secara maksimal yakni menerapkan prinsip fleksibilitas.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, menjelaskan upaya pencapaian target lifting, maupun di dalam jangka panjangnya pencapaian target 1 juta Barel Per Hari (BPH) dan 12 miliar standar kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030, yang lebih diperlukan adalah fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya.

“Dan fleksibilitas dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen-komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu (subject to evaluation, negotiable untuk meningkatkan kelayakan ekonomi),” kata Pri Agung kepada Dunia Energi belum lama ini.

Menurut dia beberapa wilayah kerja migas yang sudah masuk kategori mature dan masih menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional seperti diantaranya WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu pada dasarnya memerlukan insentf dalam bentuk kemudahan fleksibilitas itu.

Pri Agung menjelaskan untuk menaikkan atau sekadar menjaga tingkat produksi WK mature tersebut memerlukan upaya seperti pengembangan lapangan ataupun Enhanced Oil Recovery (EOR) yang secara teknis tetap memiliki risiko cukup tinggi.

“Dalam konteks ini, sharing risiko, sebagaimana hal itu diakomodir di dalam KBH Cost Recovery menjadi tetap relevan dan diperlukan,” ujar Pri Agung.

Sebelumnya Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian ESDM, mengungkapkan inti dari gross split versi terbaru ini adalah penyederhanaan.

Dia menjelaskan nantinya di beleid terbaru penentuan besaran split pada variabel split-lah yang akan disederhanakan. Akan ada tiga variabel dalam menetapkan tambahan split. Pertama adalah jumlah cadangan yang terkandung, ketersediaan infrastruktur serta lokasi lapangan.

“Jadi nanti kita sederhanakan, cuma tiga, yang jelas ada cadangan, ada infrastruktur sudah ada atau ngga, dan lokasi lapangan. Jadi tiga buah itu aja. jadi nggak ada lagi CO2 dan lainnya . Jadi yang kita ganti lampirannya aja,” ungkap Tutuka.

Dia mengakui bahwa perhitungan variabel split sebelumnya harus melalui proses pambahasan yang cukup panjang antara pemerintah dan kontraktor. Hal itu tentu bisa menyita waktu sehingga tidak efisien. Padahal saat ini pemerintah sedang diburu waktu untuk segera memonetisasi cadangan yang terkandung di dalam perut bumi.

“Pada saat menentukan variabel (aturan lama/saat ini) itu kan biasanya kandungan CO2 misalnya, bagaimana cara hitungnya, kandungan ada beberapa item, bagaimana ukurnya, alatnya apa, metodologinya, banyak tuh, kompleks. itu cuma CO2, belum yang item lain. Jadi itu itu kompleks sekali,” ungkap Tutuka. (RI)

Pemerintah Cari Cara agar Harga Elpiji 3 Kg Wajar

Kompas.id; 17 Juni 2023

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya mencari cara agar harga gas elpiji 3 kilogram atau elpiji subsidi wajar di tingkat pengecer mengingat di sejumlah lokasi kerap ada jarak lebar antara harga yang dijual pangkalan dan pengecer. Pendataan konsumen menjadi salah satu upaya yang juga sudah dimulai dan masih berlangsung.

Sebelumnya, Direktur Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, Rabu (14/6) mengakui, harga antara HET yang ditetapkan pemda dengan pengecer kerap jomplang di beberap tempat. Bahkan, dari survei pihaknya tahun lalu, di satu daerah, ada elpiji 3 kg eceran yang dijual Rp 55.000 meskipun HET-nya sekitar Rp 20.000.

Menteri ESDM Arifin Tasrif, di Jakarta, Jumat (16/6/2023) mengatakan, selama ini, penetapan harga eceran tertinggi (HET) di pangkalan atau subpenyalur memang ada di pemerintah daerah. Tiap daerah bisa berbeda karena juga berkaitan, misalnya jarak pada daerah-daerah remote.

Adapun yang menjadi prioritas saat ini ialah evaluasi terkait kewajaran angka-angka tersebut (antara pangkalan dan pengecer). Kementerian ESDM juga tengah mengkaji untuk mencontoh pada distribusi pupuk, yang bisa tersalur hingga ke kelompok tani dengan harga yang relatif tidak terlalu mahal.

“Kami ingin agar harga ini bisa wajar. Kini juga sedang dilakukan pendataan konsumen,” ujar Arifin.

Berdasarkan regulasi yang berlaku, harga jual eceran (HJE) elpiji 3 kg di titik serah atau agen/penyalur adalah Rp 4.250 per kg atau Rp 12.750 per tabung. Tahap selanjutnya, di pangkalan/subpenyalur, HET ditentukan oleh pemda. Kemudian, di tingkat pengecer, tak ada pengaturan harga.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, menuturkan, kendati harga elpiji 3 kg di titik serah atau agen/penyalur sebesar Rp 12.750 per tabung, faktanya harga eceran rata-rata sudah di atas Rp 20.000 per tabung. Hal itu memunculkan pertanyaan, siapa yang sebenarnya menikmati selisihnya.

“Ini yang perlu ditata, termasuk misalnya mendekatkan dengan harga elpiji nonsubsidi. Saat ini kita memang menuju penyaluran tertutup dengan pencatatan NIK/KTP saat membeli. Namun, ini kan masih bersifat pendataan atau penataan awal. Belum menjadi instrumen,” kata Komaidi.

Lebihi kuota

Sejumlah upaya membuat penyaluran elpiji 3 kg menjadi tepat sasaran, antara lain karena tren peningkatan penyalurannya. Sebaliknya, penyaluran elpiji nonsubsidi menurun.

Menurut data prognosis Pertamina, yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Rabu (14/6/2023), penyaluran elpiji 3 kg hingga akhir 2023 akan mencapai 8,22 juta ton atau di atas kuota 2023 yang 8 juta ton. Menurut Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Alfian Nasution, disparitas harga tinggi antara harga elpiji subsidi dan nonsubsidi membuat banyak konsumen beralih.

Per Maret 2023, proporsinya adalah elpiji subsidi 95,6 persen dan elpiji nonsubsidi rumah tangga 4,4 persen.

Mengenai program pendataan pembelian elpiji 3 kg, pemerintah dan Pertamina menerapkannya berbasiskan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Artinya, nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli didata.

“Harapannya tahun ini bisa selesai. Progresnya cukup bagus. Awalnya kami pakai data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), tetapi ada hal-hal yang harus diperbaiki, maka kami juga gunakan P3KE. Yang penting itu updating (pemutakhiran) karena data masyarakat miskin ini bisa bergerak. Kami inginnya hanya satu, tepat sasaran,” kata Tutuka.

Saat ini memang belum ada pembatasan. Namun, nantinya, imbuh Tutuka, akan ada analisis berdasarkan P3KE mana saja kelompok (desil) yang berhak membeli elpiji 3 kg dan yang tidak. Adapun dalam pengawasan, Kementerian ESDM bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Ke depan, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga akan dilibatkan.

Mengenai kemajuan pendataan pembelian elpiji 3 kg tersebut, Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menyampaikan, “Per Rabu (14/6/2023), sudah 276 kota/kabupaten dan berlaku di semua kecamatan,” katanya. Diharapkan pendataan selesai tahun ini, khususnya pada kabupaten/kota yang sudah ada penyaluran elpiji 3 kg.

Kejar Produksi 1 Juta Barel, Perlu Ada Fleksibilitas Kontrak Bagi Hasil

Media Indonesia; 11 Juni 2023

DIREKTUR Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai perlu ada fleksibilitas dalam kontrak bagi hasil (KBH) minyak dan gas (migas) dengan penerapan skema new simplified gross split untuk mengejar target produksi 1 juta barel per hari atau barel oil per day (BOPD) di 2030.

Saat ini terdapat dua jenis KBH yaitu dengan pengembalian biaya operasi atau cost recovery dan tanpa penggantian biaya operasi atau gross split. Skema new simplified gross split diterbirkan untuk simplifikasi ketentuan yang ada dari KBH gross split.

“Terkait pencapaian target produksi minyak bumi 1 juta bopd diperlukan adanya fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya,” kata Komaidi dalam keterangannya, Minggu (11/6).

Ia menjelaskan berdasarkan reviu penyederhanaan dan perbaikan pada new simplified gross split di antaranya meliputi penyederhanaan jumlah komponen variabel dari 10 komponen menjadi 3, penyederhanaan jumlah komponen progresif dari 3 komponen menjadi 2, dan mekanisme bagi hasil awal (base split) minyak bumi diubah menjadi 53% untuk pemerintah dan 47% untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Sementara, base split untuk gas bumi ditetapkan sebesar 51% untuk pemerintah dan 49% untuk KKKS. Terakhir, soal penilaian parameter variabel dan progresif didasarkan pada kondisi aktual setelah terdapat produksi komersial.

Komaidi menyebut skema new simplified gross split berpotensi dapat membuat KBH gross split menjadi lebih menarik dibandingkan KBH gross split sebelumnya.

Meskipun telah terdapat perbaikan signifikan, satu aspek fundamental yang relatif tetap dan tidak dapat diubah adalah di dalam KBH new simplified gross split risiko investasi sepenuhnya tetap ditanggung KKKS. Sementara dalam KBH cost recovery, risiko investasi secara relatif ditanggung bersama antara KKKS dengan negara.

“Fleksibilitas kontrak ini dibutuhkan dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu,” jelasnya.

Komaidi menjelaskan beberapa wilayah kerja migas yang menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional dalam kondisi mature seperti diantaranya WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu yang pada dasarnya memerlukan insentif dalam bentuk fleksibilitas tersebut. (Z-4)

Revisi Skema Gross Split Belum Cukup Dukung Pengembangan Lapangan Migas Tua

Kontan.co.id; 11 Juni 2023

MIGAS – JAKARTA. Pemerintah melakukan revisi Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split untuk melakukan simplifikasi bisnis hulu migas.

Meski beberapa poin perubahan sudah cukup baik, pengamat menilai aturan baru ini belum cukup mendukung pengembangan lapangan migas tua.

Secara umum, Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, Kontrak Bagi Hasil (KBH) New Simplified Gross Split cukup positif.

“New Simplified Gross Split ini, memang membuat KBH Gross Split bisa menjadi lebih menarik dibandingkan KBH Gross Split sebelumnya,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (9/6).

Di dalam new simplified gross split, diatur penyederhanaan jumlah komponen variabel dari 10 komponen menjadi 3. Kemudian penyederhanaan jumlah komponen progresif dari 3 komponen menjadi 2.

Lalu, base split minyak bumi diubah menjadi 53% untuk pemerintah dan 47% untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Sementara base split untuk gas bumi ditetapkan sebesar 51% untuk pemerintah dan 49% untuk KKKS.

Selain itu, penilaian parameter variabel dan progresif didasarkan pada kondisi aktual setelah terdapat produksi komersial.

Pri Agung menjelaskan, dalam hal upaya untuk mengurangi aspek ketidakpastian tingkat keekonomian yang terkait dengan pemberian diskresi Menteri, KBH New Simplified Gross Split juga relatif membaik.

Di dalam aturan baru ini, ada peluang diberikannya tambahan split dan insentif lain bagi KKKS.

“Meskipun, dalam hal ini pada dasarnya juga masih ada unsur ketidakpastian karena juga masih memerlukan mekanisme dan evaluasi lebih lanjut,” terangnya.

Meski demikian, ada satu aspek fundamental yang relatif tetap dan tidak (dapat) diubah yakni risiko investasi. Di dalam New Simplified Gross Split risiko investasi sepenuhnya tetap ditanggung KKKS.

Sedangkan di dalam kontrak bagi hasil Cost Recovery, risiko investasi secara relatif ditanggung bersama (risk sharing) antara KKKS dengan negara.

Pri Agung menjelaskan, dalam kaitannya dengan upaya mencapai target lifting dalam jangka pendek hingga panjang yakni target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD pada 2030, yang lebih diperlukan adalah fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya.

“Fleksibilitas dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen-komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu (subject to evaluation, negotiable untuk meningkatkan kelayakan ekonomi),” terangnya.

Baca Juga: KKKS Sambut Positif Rencana Kementerian ESDM Revisi Aturan Gross Split

Adapun saat ini beberapa wilayah kerja migas yang sudah masuk kategori tua (mature) dan masih menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional seperti di antaranya WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu pada dasarnya memerlukan insentif dalam bentuk kemudahan fleksibilitas itu.

Kemudahan fleksibilitas itu dibutuhkan untuk menaikkan atau sekadar menjaga tingkat produksi. WK mature memerlukan upaya seperti pengembangan lapangan ataupun Enhanced Oil Recovery (EOR) yang secara teknis tetap memiliki risiko cukup tinggi.

“Dalam konteks ini, berbagi risiko sebagaimana hal itu diakomodir di dalam KBH Cost Recovery menjadi tetap relevan dan diperlukan,” tandasnya.

Persaingan Investasi Energi dan Fleksibilitas Kontrak Migas

Katadata.co.id; 10 Juni 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti, Founder & advisor ReforMiner Institute

Merujuk laporan International Energy Agency (IEA) tetang World Energy Investment 2023, total investasi energi global pada 2022 tercatat mencapai US$ 2.400 miliar dan diperkirakan akan melebihi US$ 2.800 miliar pada tahun ini.

Dari total investasi tersebut sekitar 60% sampai 65% merupakan investasi di sektor energi bersih (green energy) dan sisanya adalah investasi pada sektor energi berbasis fosil. Yang tercakup di dalam kategori investasi energi bersih adalah investasi pada pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, penggunaan nuklir untuk energi, upaya efisiensi energi, grid storage, bahan bakar rendah karbon dan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS), dan kendaraan listrik atau Electric Vehicles (EV).

Sedangkan untuk investasi energi fosil meliputi investasi untuk batu bara dan minyak-gas (migas).

Transisi dan Investasi Energi Nilai investasi dari seluruh jenis kategori, baik pada energi bersih maupun fosil, pada dasarnya meningkat tapi dengan besaran dan kecepatan yang tidak sama.

Peningkatan investasi dengan persentase terbesar pada energi bersih terutama berasal dari peningkatan investasi pada pengembangan kendaraan listrik yang mencapai lebih 60%.

Sedangkan pada energi fosil, porsi peningkatan terbesarnya dari investasi batu bara, sebesar 10%. Investasi pada migas, khususya hulu (upstream) migas, meskipun secara besaran tergolong signifikan – mencapai US$ 500 miliar.

Secara persentase kenaikannya terbilang rendah dibandingkan batu bara, yaitu sekitar 6%. Persentase kenaikan itu juga lebih rendah dibandingkan angka kenaikan pada periode 2021-2022 yang masih mencapai 7%. Sebelumnya, di periode 2016-2020, investasi hulu migas global masih bisa tumbuh rata-rata sekitar 9,6% per tahun.

Transisi energi, yang telah menjadi tema dan gerakan pengelolaan energi global, memang menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan distribusi investasi energi bergeser.

Dari yang semula lebih berorientasi pada investasi untuk menyuplai energi fosil menjadi lebih terdistribusi dan cenderung dengan porsi lebih ke arah investasi energi bersih.

Harga energi fosil yang relatif tinggi – batu bara mencapai US$ 400 per ton lebih dan minyak mencapai US$ 120 per barel – pada periode pasca Covid-19, di satu sisi menjadi satu faktor yang memberi insentif bagi investasi energi fosil.

Namun, di sisi lain juga memberi insentif lebih bagi investasi di energi non-fosil. Keekonomian proyek-proyek energi bersih dan non-fosil “terbantu” menjadi ekonomis dan lebih kompetitif.

Persaingan untuk mendapatkan porsi alokasi investasi di sektor energi menjadi lebih ketat, baik antar sumber energi itu sendiri maupun antar wilayah dan gabungan antara keduanya.

Investasi Hulu Migas

Investasi di hulu migas, dengan karakteristik padat risiko, teknologi tinggi, dan padat modal, merupakan salah satu yang paling terdampak dari adanya persaingan dan pergeseran tren investasi ini.

Angka pertumbuhannya yang terbilang paling rendah dibandingkan sektor-sektor yang lain menegaskan hal itu.

Di tingkat global, alokasi investasi oleh para pelaku di sektor hulu migas sekarang tidak lagi hanya terfokus pada investasi “konvensional”, yaitu aktivitas eksplorasi dan produksi.

Relatif hanya perusahaan migas dari kawasan Timur Tengah saja yang diproyeksikan masih akan terus meningkatkan porsi alokasi investasinya untuk konvensional suplai migas pada periode 2020 – 2023 ini.

Hanya proyek-proyek investasi hulu migas yang benar-benar menarik dan memberikan jaminan pengembalian investasi yang kompetitif yang akan dilirik dan digarap oleh para pelaku hulu migas global.

Sama dengan investasi hulu migas di Indonesia. Jika melihat dari pola dan distribusi alokasi investasinya selama ini, bahkan sebelum tema dan gerakan transisi energi bergulir lebih kuat seperti saat ini, maka tampaknya sudah terlebih dulu terkena imbas dari adanya persaingan investasi ini. Porsi investasi untuk eksplorasi – sebagai salah satu indikator paling kuat dalam mengukur kadar ketertarikan investor di hulu migas – selalu menjadi yang terkecil dibandingkan porsi yang dialokasikan untuk aktivitas lainnya seperti pemeliharaan produksi dan pengembangan lapangan.

Dari periode 2015 sampai 2022, tercatat besaran porsi investasi eksplorasi secara rata-rata di bawah US$ 1 miliar. Sebagian hanya berada di kisaran US$ 600 juta sampai US$ 700 juta saja. Porsi terbesar alokasi hulu migas nasional adalah di aktivitas pemeliharaa produksi.

Pada periode yang sama besarannya ada pada rentang US$ 7,5 miliar dolar AS sampai US$ 10,2 miliar dolar AS. Secara rata-rata ini adalah sekitar 60% hingga 70% dari total investasi hulu migas nasional.

Sekitar 10% sampai 20% porsi investasi lainnya ada pada aktivitas pengembangan lapangan, baik untuk lapangan yang masuk kategori baru ataupun lama (existing).

Dari pola tersebut, yang tercermin adalah bahwa investasi yang dialokasikan pada dasarnya terutama lebih ditujukan untuk memelihara tingkat produksi yang ada, baik itu dengan upaya pemeliharaan atas operasi yang ada dan pada skala terbatas melalui upaya pengembangan.

Jika pola ini terus berlanjut, dengan konstelasi persaingan energi yang ada, maka sebetulnya akan sangat berat – jika tidak bisa dikatakan tidak realistis – untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak dan 12 miliar kaki kubik per hari untuk gas pada 2030.

Sekadar mempertahankan tingkat produksi yang ada saat ini saja sudah akan sangat berat. Terbukti, target lifting anggara pendapatan dan belanja negara (APBN) selama ini juga sering tidak tercapai meskipun dari waktu ke waktu angka target itu juga terus turun.

Sunset Industry?

Dengan gambaran yang ada, apakah kemudian hulu migas kemudian akan menjadi sunset industry ? Di tingkat global, jawabannya relatif lebih mudah, yaitu tidak. Suplai pasar minyak global selama 10 hingga 15 tahun terakhir relatif berada pada posisi aman.

Dalam arti tidak ada kekhawatiran baik dari sisi jumlah cadangan maupun ketersediaan suplainya di pasaran (saat ini mampu mensuplai minyak hingga 105 juta barel per hari).

Yang terjadi, bahkan di tengah periode terjadi banyak konflik geopolitik dan perang, justru lebih sering mengalami kelebihan pasokan sehingga OPEC harus menstabilkan harga melalui kuota pembatasan produksi bagi anggotanya.

Industri hulu migas global dan sektor industri penunjangnya, dengan mayoritas bertumpu pada perusahaan migas skala internasional sebagai motornya, tetap exist dan adaptif merespon transisi energi engan melakukan inovasi dan penerapan teknologi hulu.

Bukan saja makin efisien-efektif dalam memproduksikan migas yang ada namun juga makin bersih ramah lingkungan.

Salah satunya, tentu saja teknologi penangkapan, penyimpanan dan pemanfaatan karbon (Carbon Capture Storage/Utilization, CCS/CCUS).

Jika revolusi teknologi shale oil-gas telah berhasil menopang kemampuan produksi hulu migas global, dalam hal merespons transisi energi, maka CCS/CCUS pada operasi hulu migas ini dapat dikatakan merupakan jawabannya.

Saat ini, investasi pada CCS/CCUS di tingkat global belum terlalu masif. Pada Februari 2023 lalu, Badan Energi Internasional (IEA) mencatat baru di kisaran US$ 6,4 miliar atau baru mencapai 0,5% dari total investasi energi global. Potensinya, untuk periode 2020 – 2030 mencapai US$ 87 miliar.

Apakah sektor atau indsutri hulu migas nasional akan menjadi sunset industry? Jawabannya sebenarnya berpulang pada kita sendiri.

Seberapa kita mampu menarik investasi yang ada di dalam konstelasi persaingan yang ada, baik untuk investasi pada aktivitas “konvensional” eksplorasi produksi maupun pada penerapan teknologi CCS/CCUS yang sekarang dan ke depan akan menyertainya. Di sinilah relevansi dan urgensi insentif, khususya insentif fiskal untuk meningkatkan keekonomian dan memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih menarik bagi investor.

Dan sejatinya, Indonesia, sebagai salah satu pelopor penerapan kontrak bagi hasil produksi di dunia, telah memiliki instrumennya sejak lama.

Fleksibilitas Insentif melalui Kontrak Migas

Kontrak Bagi Hasil Produksi (Production Sharing Contract, PSC) dengan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang telah diterapkan sejak lama, tetapi kemudian sempat “tergeser” keberadaaannya dengan adanya kontrak PSC Gross Split, sejatinya sangat dapat memfasilitasi pemberian insentif fiskal itu secara sederhana.

Beberapa komponen di dalamnya yang dapat diubah atau dibuat fleksibel untuk meningkatkan kelayakan keekonomian pengembangan lapangan diantaranya adalah melalui perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), First Tranche Petroleum (FTP) yang diturunkan, pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indoesian Crude Price (ICP) dan penambahan investment credit.

Seiring dengan tingkat persaingan untuk mendapatkan alokasi investasi energi yang makin ketat, untuk dapat lebih menarik secara keekonomian, besaran-besaran di dalam komponen-komponen fiskal tersebut mestinya menjadi subjek untuk dievaluasi – bersifat fleksibel dan negotiable bilamana diperlukan – dari waktu ke waktu. Maka, kata kuncinya sejatinya adalah fleksibilitas, dalam pengertian dan objektif untuk meningkatkan keekonomian. Dalam konteks tersebut, khususnya adalah fleksibilitas, baik dalam hal menyangkut perubahan besaran atas komponen-komponen fiskal yang ada dari waktu ke waktu maupun fleksibilitas bagi kontraktor untuk dapat memilih bentuk kontrak yang (lebih) sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya dan strategi portofolio investasinya.

Pendekatan inilah yang kiranya perlu diterapkan dalam kontrak-kontrak pengusahaan hulu migas di tanah air, baik yang sudah berjalan maupun yang baru nantinya.

Relatif sederhana dalam implementasi, namun dapat efektif untuk meningkatkan daya tarik iklim investasi hulu migas nasional dari sisi keekonomian.

Tak Ada yang Abadi di Proyek Gas Abadi

Kompas.co.id; 07 Juni 2023

JAKARTA, KOMPAS.com – Senyum Direktur Utama Nicke Widyawati merekah saat menjawab pertanyaan wartawan terkait kelanjutan negosiasi pengelolaan Blok Masela di Maluku, antara Pertamina dengan Shell. Maklum, Pertamina tak kunjung mengelola lapangan migas yang dijuluki Proyek Gas Abadi Masela tersebut.

Hal ini karena alotnya negosiasi antara Pertamina dan Shell. Namun dalam acara media briefing di Grha Pertamina, Jakarta, Selasa (6/6/2023), Nicke memberikan sinyal akan ada kejutan. “Ini kejutan. Jadi tunggu tanggal mainnya ya,” ujarnya sembari tersenyum.

“Amukan” pemerintah

Dua pekan sebelum Pertamina memberikan sinyal kejutan, pemerintah sudah melempar peringatan keras soal negosiasi pengelolaan Blok Masela yang tak kunjung rampung. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif terang-terangan menunjuk Shell sebagai pihak yang dinilai memperlambat negosiasi.

Shell adalah perusahaan yang memegang 35 persen saham hak partisipasi atau participating interest (PI) Blok Masela. Adapun 65 persennya dimiliki Inpex Corporation. Namun pada 2019, Shell menyatakan mundur dan akan melepas hak partisipasinya dari Blok Masela. Peluang besar ini ditangkap oleh Pertamina untuk mengambil alih 35 saham dari Shell. Namun negosiasi tak kunjung rampung. Abadi.

Pemeritah tak habis pikir Shell tak kunjung merampungkan divestasi Blok Masela. Sikap Shell itu dinilai Menteri ESDM sebagai sikap yang tidak bertanggung jawab. “Sekarang ini yang merasa dirugikan ya Indonesia, kita enggak mau hal ini terjadi. Inpex itu ada kesungguhannya, tapi enggak tahu Shell ini udah mundur tapi enggak bertanggung jawab (soal Blok Masela),” kata Arifin di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (26/5/2023).

Saking dongkolnya, Arifin bahkan menyatakan pemerintah bakal mengambil langkah tegas untuk membuat proyek gas tersebut segera berjalan. Ia bilang, jika hingga 2024 tidak ada pengembangan apapun diproyek itu, negara akan mengambil alih.

“Kan 5 tahun kalau enggak dilaksanakan apa-apa, kami akan tinjau kembali termasuk kemungkinan untuk itu (diambil negara). Ini kan sudah dari 2019, sekarang 2023, jadi sudah 4 tahun,” ucapnya.

Tekanan dari Senayan

“Keengganan” Shell melepaskan Blok Masela menimbulkan tekanan publik ke perusahaan asal Belanda tersebut. Di Senayan, tekanan datang dari mitra Pertamina yakni Komisi VII DPR. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno meminta agar divestasi saham Shell di Blok Masela segera dirampungkan.

Sebab Blok Masela sangat strategis bagi Indonesia. Eddy mengatakan DPR berkomitmen mendukung segala bentuk percepatan proses divestasi dari sisi regulasi. Selain itu, DPR juga akan terus memantau dan mengawal perkembangan negoisasi terkait pelepasan saham Blok Masela.

“Kami membutuhkan penyelesaian yang cepat,” ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (27/5/2023).

“Ini merupakan salah satu komitmen kita mengingat Blok Masela merupakan blok yang sangat strategis, yang akan dikembangkan Inpex dan investor lainnya,” sambung dia. Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro menilai, pemerintah bisa melakukan tindakan tegas jika Shell mempersulit proses divestasi.

“Pemerintah bisa melakukan treatment tertentu, karena kan pengambil kebijakannya tetap melekat di pemerintah. Tapi tentu harus dilakukan secara proporsional,” kata dia.

Komaidi menilai alotnya pembahasan divestasi saham Shell ke Pertamina bisa disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya ialah belum ditemukannya kesepakatan harga pelepasan PI.

Ia memahami Shell telah menggelontorkan dana untuk mendapatkan hak partisipasi serta investasi di Blok Masela. Oleh karenanya menjadi wajar jika Shell meminta nilai divestasi minimal sebesar biaya yang telah dikeluarkan. Akan tetapi, Shell tak perlu mempersulit proses divestasi mengingat pentingnya pengelolaan dan pengoperasian Blok Masela bagi para pemangku kepentingan di Indonesia.

“Secara keseluruhan artinya sebetulnya apapun mekanismenya semakin lama semakin berlarut-larut semua pihak dirugikan,” ucap dia.

Akhir negosiasi

“abadi” Dua pekan setelah “amukan” pemerintah dan tekanan dari Senayan, tanda-tanda berakhirnya negosiasi divestasi saham Blok Masela mulai muncul. Meski belum mau blak-blakan, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyebut akan ada kejutan. “Kejutan itu, enggak boleh dibocorin,” ujar perempuan berusia 55 tahun kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat itu.

Nicke mengatakan masyarakat sudah sangat berharap proyek gas raksasa tersebut bisa segera dikembangkan oleh Pertamina. Hal ini dinilai penting sehingga memberikan manfaat bagi daerah di sekitar Blok Masela, maupun negara secara umum. Baca juga: Akhir Juni 2023, Pertamina Bakal Ambil Alih Saham Shell di Blok Masela Tanda-tanda berakhirnya negosiasi Pertamina dan Shell juga muncul dari pemerintah.

Menteri ESDM Arifin Tasrif bahkan menyebut Pertamina bakal mengelola 35 persen saham di Blok Masela pada akhir Juni 2023. Rencananya, BUMN migas itu bakal masuk bersama konsorsium untuk mengambil alih saham Shell tersebut.

“Mengenai Blok Masela Insyaallah akhir bulan ini akan kita selesaikan perjanjian alih sahamnya. Sudah ada titik temu,” ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Senin (5/6/2023).

Bila negosiasi berakhir, maka tak ada yang “abadi” di proyek gas abadi. Manfaat besarnya, pengelolaan Blok Masela tak akan lagi terkatung-katung. Dengan begitu, segala potensi di Blok Masela bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan kepentingan energi masa depan. Jadi seperti pesan Dirut Pertamina, kita tunggu tanggal mainnya.

Asumsi Dasar Kementerian ESDM Sudah Disepakati DPR, Ini Kata Ekonom

Kontan.co.id; 07 Juni 2023

MAKROEKONOMI – JAKARTA. Komisi VII Dewan perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati asumsi dasar di sektor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2024.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai rencana target asumsi dasar di sektor Kementerian ESDM masih moderat. Hal ini karena sisi volume subsidi energi yang di rencanakan lebih besar dibandingkan tahun anggaran 2022 dan 2023.

“Artinya pemerintah sudah memasukkan asumsi pertumbuhan konsumsi yang diseimbangkan dengan kondisi fiskal,” tutur Komaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (7/6).

Adapun asumsi dasar yang sudah disepakati di antaranya, Indonesian crude price (ICP) di kisaran US$ 75-80 per barel, lifting minyak dan gas (migas) 1.645 ribu Barel Oil Equivalent per Day (MBOEPD) hingga 1.676 ribu BOEPD.

Jumlah ini terdiri dari lifting minyak bumi untuk tahun 2024 sebesar 615 ribu Barel Oil Per Day (BOPD) hingga 640 ribu BOPD. Sementara itu, lifting gas bumi disepakati sebesar 1.030 ribu BOEPD hingga 1.036 ribu BOEPD.

Dari sisi volume, untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) ditargetkan sebesar 18,735 hingga 19,580 juta kilo liter. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan outlook tahun ini yang sebesar 18,88 juta kilo liter.

Volume BBM ini terbagi menajdi minyak tanah sebesar 0,575 hingga 0,580 juta kilo liter, dan minyak solar sebesar 18.16 hingga 19.00 juta kilo liter.

Kemudian, volume LPG 3 kg ditargetkan sebesar 8,20 hingga 8,30 juta matrik ton. Subsidi tetap minyak solar (gasoil 48) sebesar Rp 1.000-Rp3.000 per liter, dan susbidi listrik sebesar Rp 70,73 hingga Rp 75,70 triliun.

Komaidi menambahkan, yang perlu menjadi perhatian pemerintah justru pada kondisi lifting migas nasional. Sebab menurunta jika tidak mencapai target yang sudah ditentukan, maka impor akan lebih besar, sehingga secara tidak langsung akan membebani subsidi yang bisa lebih membengkak lagi.

Sementara itu, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman juga menilai aumsi yang digunakan masih optimis meskipun diberikan jangkauan.

Meski begitu, menuruntnya target asumsi tersebut perlu dijaga ketika terjadi perubahan atau penyesuaian, mengingat tahun 2024 adalah tahun politik, yang mana bisa mempengaruhi akan mempengaruhi besran belanja subsidi.

Selain itu, pemerintah juga perlu memerhatikan penyaluran susbidi energi agar bisa tepat sasaran. Di antaranya, sasaran penerima manfaat subsidi dianjurkan menggunakan by name by adress dan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Kemudian, database yang sangat lengkap bagi penerima subsidi, mekinisme operasional distribusi subsidi harus tepat, cepat, dan akurat, serta bermanfaat, optimlisasi platform digital seperti my Pertamina, sebagai alat distribusi yang efisien dan efektif.

“Serta memastikan penerima subsidi ini bisa mengurangi angka kemiskinan ekstrim yang ditargetkan tahun 2024 sebesar nol%,” kata Rizal.