Kebutuhan Insentif Hulu Migas

Petrominer; 07 Juni 2023
Penulis:
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti;Founder & Advisor ReforMiner Institute

Merujuk laporan International Energy Agency (IEA) tentang World Energy Investment 2023, investasi hulu migas (upstream) global tahun 2022 nilainya mencapai US$ 470 miliar lebih. Sementara tahun 2023 ini, diproyeksikan nilainya akan mencapai US$ 500 miliar, atau berarti kurang lebih diproyeksikan tumbuh sekitar 6 persen dibandingkan tahun 2022 lalu.

Akan halnya investasi hulu migas nasional, merujuk data SKK Migas 2023, pada tahun 2022 nilainya mencapai US$ 12,1 miliar, atau berarti kurang lebih adalah 2-3 persen dari investasi hulu migas global. Pada tahun 2023, investasi ini oleh Pemerintah ditargetkan menjadi US$ 15,5 miliar. Ini artinya tumbuh 26 persen dibandingkan tahun lalu dan melebihi rata-rata global yang hanya tumbuh sekitar 6 persen.

Porsi terbesar dari investasi hulu migas nasional adalah untuk produksi (US$ 8,1 miliar) dan pengembangan (US$ 2,6 miliar).

Pola investasi hulu migas nasional dengan porsi alokasi terbesar untuk produksi dan pengembangan seperti ini relatif tetap dari waktu ke waktu. Dari pola tersebut, yang tercermin adalah investasi yang dialokasikan pada dasarnya memang terutama ditujukan untuk memelihara tingkat produksi yang ada, baik itu dengan upaya pemeliharaan atas operasi yang ada dan pada skala terbatas melalui upaya pengembangan.

Bagi Pemerintah, pencapaian target produksi, dan kemudian lifting, yang menjadi salah satu asumsi makro APBN dapat dikatakan memang merupakan objektif utama dari investasi hulu migas yang selama ini berjalan. Dalam pada ini, tren produksi dan lifting migas nasional, hingga saat ini terus menunjukkan tren menurun, baik dalam target yang ditetapkan maupun dalam realisasi pencapaiannya.

Mengutip data SKK Migas 2023, capaian lifting minyak bumi pada tahun 2022 adalah 612.300 barel per hari atau 87,1 persen dari target APBN 2022. Ini lebih rendah dari realisasi tahun 2021 yang masih pada angka 660.300 barel per hari. Adapun realisasi salur gas bumi pada tahun 2022 adalah 5.347 standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau 92,2 persen dari target APBN, serta di bawah capaian tahun 2021 yang sebesar 5.505 MMSCFD.

Mature Field

Tren penurunan produksi dan tidak tercapainya target lifting secara teknis sebetulnya tidak terlalu mengherankan dan relatif sudah dapat diprediksi. Pasalnya, di dalam pencapaiannya mengandalkan lapangan yang sudah dapat dikategorikan sebagai mature field.

Mature field yang dimaksud adalah lapangan atau wilayah kerja migas yang berdasarkan perhitungan teknis telah mencapai puncak produksi. Lapangan atau wilayah kerja ini juga telah berada pada fase natural decline menuju akhir masa produktifnya.

Merujuk pada data Ditjen Migas dan SKK Migas, ReforMiner Institute (2022) mencatat setidaknya terdapat 40 wilayah kerja, atau sekitar 52 persen dari total 75 wilayah kerja produksi yang aktif sampai tahun 2020, merupakan wilayah kerja yang masuk dalam klasifikasi mature field. Dari jumlah tersebut, 36 wilayah kerja tercatat berumur sekitar 25 sampai 50 tahun. Sementara 4 wilayah kerja berumur lebih dari 50 tahun.

Dalam hal porsi produksi minyak, pada tahun 2021 tercatat sekitar dari 36,52 persen produksi minyak nasional tercatat berasal dari lapangan–lapangan yang telah beroperasi lebih dari 50 tahun. Dengan rincian, wilayah kerja Rokan dengan porsi sekitar 24,61 persen, wilayah kerja Offshore Southeast Sumatra (OSES) 3,64 persen, wilayah kerja Offshore North West Java (ONWJ) 4,06 persen, dan Mahakam 4,06 persen.

Sementara untuk produksi gas, hingga tahun 2021 masih mengandalkan lapangan–lapangan yang telah berproduksi lebih dari dua dekade. Seperti wilayah kerja Corridor dengan porsi sekitar 14,0 persen dan wilayah kerja Mahakam dengan porsi 8,0 persen.

Insentif Keekonomian

Selain permasalahan teknis, aspek penting lain yang menentukan operasi dan keberlanjutan pengelolaan mature field adalah keekonomiannya. Sejalan dengan umur lapangan yang terus menua, biaya yang harus dikeluarkan di dalam melakukan optimalisasi produksi di lapangan–lapangan mature field cenderung terus meningkat seiring dengan tuntutan penerapan teknologi tertentu. Karena itulah, penerapan insentif fiskal sangat diperlukan untuk menjaga tingkat keekonomian proyek agar lapangan dapat terus beroperasi dan berproduksi.

Merujuk studi Inter-American Development Bank (2020), disebutkan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun. Optimalisasi mature field melalui pemberian insentif lazim diterapkan dan tercatat telah berhasil meningkatkan produksi migas di sejumlah negara.

Australia misalnya, melalui pemberian insentif fiskal untuk mature field, telah berhasil meningkatkan produksi minyak sekitar 1,6 persen per tahun dan gas sebesar 10,3 persen per tahun pada periode 2010–2019. Beberapa bentuk insentif fiskal yang diberikan diantaranya insentif pembatasan royalti dan juga insentif bea cukai migas.

Keberhasilan meningkatkan produksi migas melalui pemberian insentif fiskal pada mature field juga terjadi di Brazil dan Kanada. Pemerintah Brazil tercatat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pembayaran royalti sekitar 5 persen untuk mature field dengan skala kecil, dan 5 sampai 7,5 persen untuk mature field dengan skala besar. Sementara Kanada, bentuk kebijakan yang diterapkan adalah pengurangan pajak pendapatan, penangguhan kerugian pajak hingga 20 tahun, dan penerapan tax credit.

Hasilnya, selama periode 2010-2019, produksi minyak dan gas di Brazil masing-masing meningkat sekitar 3,2 persen dan 3,5 persen per tahun. Sementara produksi minyak dan gas di Kanada untuk periode yang sama tercatat meningkat sekitar 1,3 persen per tahun untuk minyak dan 4,6 persen per tahun untuk gas.

Perubahan Kontrak

Untuk hulu migas nasional, salah satu langkah “biasa” yang sebetulnya secara langsung dapat dilakukan pemerintah untuk memberikan insentif keekonomian adalah melalui perbaikan komponen-komponen fiskal yang ada di dalam Kontrak Kerja Sama (KKS).

Kontrak Bagi Hasil Produksi (Production Sharing Contract/PSC) dengan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery) merupakan salah satu bentuk kontrak yang sangat dapat memfasilitasi hal itu. Beberapa komponen di dalamnya yang dapat diubah atau dibuat fleksibel untuk meningkatkan kelayakan keekonomian pengembangan lapangan diantaranya adalah perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), First Tranche Petroleum (FTP) yang diturunkan, pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indonesian Crude Price (ICP) dan penambahan investment credit.

Seiring dengan terus menuanya umur lapangan yang ada dan makin menurunnya tingkat keekonomian yang ada, besaran-besaran di dalam komponen-komponen fiskal tersebut semestinya menjadi subjek untuk dievaluasi yang bersifat fleksibel dan negotiable bilamana diperlukan dari waktu ke waktu.

Dalam konteks mendukung pencapaian target lifting, beberapa wilayah kerja migas yang sudah masuk kategori mature dan masih menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional sudah semestinya mendapatkan insentif keekonomian yang lebih. Diantaranya yang dapat dikategorikan di sini misalnya adalah lapangan/wilayah kerja Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES) dan North West Java (ONWJ). Sebagian besar dari lapangan/wilayah kerja tersebut umumnya saat ini masih menggunakan PSC Gross Split yang regulasinya diberlakukan sejak tahun 2017 lalu.

Dibandingkan kontrak PSC Cost Recovery, dalam hal insentif untuk melakukan investasi (eksplorasi dan produksi) lebih, terlebih untuk investasi yang masih berisiko seperti halnya Enhanced Oil Recovery (EOR) atau pengembangan lanjut lapangan, PSC Gross Split secara relatif dapat menjadi tidak terlalu menarik karena risiko sepenuhnya ditanggung kontraktor. Faktor lain seperti halnya yang menyangkut diskresi dan variabel split yang beragam dan ditentukan kemudian pada dasarnya secara relatif juga cenderung menambah risiko yang ada. Berbeda dengan PSC Cost Recovery dimana antara negara dan kontraktor relatif berbagi risiko di dalam berbagai aspeknya.

Maka, fleksibilitas, baik dalam menyangkut perubahan besaran atas komponen-komponen fiskal yang ada dari waktu ke waktu maupun fleksibilitas bagi kontraktor untuk dapat memilih bentuk kontrak yang (lebih) sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya merupakan kunci dan sekaligus cara yang efektif bagi pemerintah untuk dapat memberikan insentif keekonomian yang diperlukan. Dan pemerintah dalam hal ini pada dasarnya juga telah memiliki landasan (awal) untuk menerapkannya. Salah satunya adalah melalui instrumen Peraturan Menteri ESDM No.23/2021 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas untuk Kontrak Kerja Sama yang Akan Berakhir. Yang diperlukan dalam konteks ini barangkali adalah kemudahan untuk mengimplementasikannya.

Penerapan PSC Gross Split dan Lifting Migas Nasional

Inverstor Daily, 06 Juni 2023

Sejak Januari 2017, pemerintah menerapkan kebijakan Production Sharing Contract (PSC) Gross Split dalam kegiatan usaha hulu migas. Kebijakan tersebut efektif berlaku sejak terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Permen tersebut tercatat telah beberapa kali dilakukan perubahan, terakhir dengan Permen ESDM No 12/2020.

Secara konsep, PSC Gross Split merupakan model kontrak kerja sama bisnis hulu migas yang menerapkan pembagian hasil produksi yang pembagiannya dilakukan di awal, sebelum memperhitungkan biaya.

Model kontrak ini relatif mirip dengan model royalti, akan tetapi dalam eksekusi program dan pelaksanaannya masih mengikuti kontrak kerja sama. Salah satu faktor pendorong diterapkannya PSC Gross Split adalah untuk menghilangkan perdebatan terkait cost recovery.

Hal itu karena cost recovery sering dicurigai sebagai akar permasalahan, dan secara tidak langsung sering dinilai menjadi sarana untuk menyalahgunakan dana operasi migas. Mekanisme perhitungan konsep PSC Gross Split yang menghapus cost recovery dinilai cocok untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Gross Split dan Lifting Migas Jika tujuan utama penerapan PSC Gross Split adalah untuk menghilangkan polemik dan perdebatan terkait cost recovery, kebijakan tersebut sudah berhasil. Dengan dihapusnya cost recovery dari mekanisme perhitungan konsep PSC Gross Split, secara otomatis tidak lagi terdapat polemik dan perdebatan mengenai cost recovery.

Namun demikian, tujuan penerapan kebijakan untuk kegiatan usaha hulu migas tentu jauh lebih besar dari sekadar menghilangkan polemik dan perdebatan mengenai cost recovery. Lebih dari itu, kebijakan ditujukan untuk meningkatkan kinerja usaha hulu migas itu sendiri yang direpresentasikan melalui meningkatnya jumlah cadangan dan produksi/lifting migas nasional.

Dalam kaitannya dengan ukuran tersebut, penerapan PSC Gross Split belum dapat dikatakan berhasil. Terkait lifting minyak misalnya, data menunjukkan bahwa selama periode pascapenerapan PSC Gross Split, lifting minyak nasional berada pada tren yang cenderung menurun. Pada tahun 2016, ketika belum diterapkan PSC Gross Split, realisasi lifting minyak Indonesia pada saat itu dilaporkan sebesar 829 ribu barel per hari (mbopd).

Sementara, realisasi lifting minyak pada 2022 dilaporkan turun menjadi 612 mbopd. Tidak hanya minyak, lifting gas juga dilaporkan turun dari 1.200 mboepd pada 2016 menjadi sekitar 955 mboepd pada 2022. Faktor penyebab turunnya lifting migas Indonesia tentu tidak tunggal, karena itu juga tidak sepenuhnya tepat jika hanya mengaitkan penurunan lifting migas Indonesia dengan implementasi kebijakan PSC Gross Split.

Akan tetapi, kondisi bahwa pasca implementasi PSC Gross Split lifting migas Indonesia terus menurun merupakan data dan fakta yang tidak terbantahkan. Meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan minat investor, hasil dari implementasi PSC Gross Split sampai sejauh ini relatif masih jauh dari yang diekspektasikan.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh persepsi yang belum utuh terhadap pilihan model kebijakan yang akan diimplementasikan. Persepsi terhadap pilihan model kebijakan pada umumnya akan dipengaruhi oleh sudut pandang dan pengalaman. Dari aspek sudut pandang, evaluator dapat melihat secara pesimis atau optimis terhadap model kebijakan tertentu. Jika evaluator menggunakan sudut pandang pesimis, maka yang akan dilakukan adalah mencari kelemahan dan memang dapat menyisir satu persatu titik kelemahan yang ada pada model kebijakan tersebut. Karena pada dasarnya memang tidak ada suatu model kebijakan yang sempurna.

Jika menggunakan sudut pandang optimis, evaluator umumnya akan melihat, menelaah, dan mengurai hal-hal positif terhadap suatu model kebijakan yang diimplementasikan. Dengan menggunakan sudut pandang optimis, evaluator akan mencari kekuatan atau kelebihan pada masing-masing model kebijakan. Karena memang pada dasarnya baik model PSC Gross Split maupun PSC Cost Recovery dapat dilihat melalui dua sudut pandang tersebut.

Berdasarkan pencermatan, implementasi PSC Gross Split lebih banyak didorong oleh adanya cara pandang pesimistis terhadap model PSC Cost Recovery yang sudah berjalan. Salah satu indikasinya adalah munculnya tagar Gross Split Lebih Baik Bagi Indonesia.

Kelemahan model PSC Cost Recovery yang disebut bahwa: (1) cost recovery menjadi beban pemerintah, (2) cost recovery tidak efisien, (3) sejak tahun 2015 cost recovery lebih besar dari penerimaan negara, dan (4) persetujuan cost recovery rumit dan panjang, terpantau dikampanyekan secara masif kepada publik. Karena cara pandang tersebut, sejumlah keunggulan model PSC Cost Recovery menjadi seperti dilupakan.

Beberapa keunggulan yang tampak terlupakan di antaranya: (1) pada model PSC Cost Recovery tidak membebankan biaya dan risiko sepenuhnya kepada kontraktor, tetapi terdistribusi secara proporsional kepada kontraktor dan pemerintah, (2) variabel penentu dalam persentase pembagian pada model PSC Cost Recovery lebih sederhana, (3) kontraktor dibebaskan dari pajak tidak langsung karena bagian pemerintah sudah termasuk pajak-pajak tidak langsung. Kemudian (4), kontraktor diberikan penangguhan pembayaran pajak pada periode awal produksi, dan (5) praktisi hulu migas telah memiliki pengalaman panjang dengan PSC Cost Recovery karena sudah digunakan sejak 1966 dan disertai dengan berbagai peraturan pendukung.

Baik model PSC Gross Split maupun PSC Cost Recovery pada dasarnya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, jika dicermati ada dua hal yang prlu diperhatikan. Pertama, lifting migas yang menurun pasca-implementasi PSC Gross Split. Kedua, di sisi lain, ada usulan perubahan skema dari PSC Gross Split menjadi PSC Cost Recovery yang diajukan oleh beberapa wilayah kerja, adanya beberapa wilayah kerja alih kelola yang memilih menggunakan PSC Cost Recovery pasca penerapan fleksibilitas skema kontrak, dan fakta bahwa investor lebih memilih mengajukan skema PSC Cost Recovery pada bidding round tahun 2021-2022. Hal itu mencerminkan bahwa model PSC Cost Recovery masih cukup relevan dan lebih diminati oleh pelaku usaha hulu migas di Indonesia.

Moratorium Ekspor Gas Dinilai Jadi Sentimen Negatif Investasi Hulu Migas

Bisnis.com; 01 Juni 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha serta pemerhati industri hulu minyak dan gas (migas) dalam negeri menilai rencana pemerintah untuk menghentikan ekspor gas pada 2035 mendatang membawa sentimen negatif terhadap investasi hulu migas domestik.

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, pasar gas di dalam negeri belum mapan jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat. Pengalihan penjualan gas sepenuhnya ke dalam negeri, kata Moshe, membuat hitung-hitungan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menjadi kurang menarik.

Apalagi, kata Moshe, harga gas di Indonesia sebagian besar digerakkan oleh keekonomian lapangan yang bertumpu pada biaya pokok produksi gas yang tinggi. Situasi itu membuat harga gas di dalam negeri tidak relevan atas pergerakan harga di pasar dunia.

“Menurut saya melarang ekspor LNG [liquefied natural gas] itu kontraproduktif dan bisa mengganggu iklim investasi hulu migas ke depannya, pasar domestik kita belum matang,” kata Moshe saat dihubungi, Kamis (1/6/2023).

Moshe meminta pemerintah untuk mengintensifkan pembangunan infrastruktur penunjang distribusi gas di dalam negeri sebelum akhirnya menutup izin ekspor gas secara bertahap pada 2035 mendatang. Menurut dia, langkah itu menjadi krusial dilakukan untuk meningkatkan permintaan pasar domestik sembari menekan ongkos distribusi atau logistik yang terbilang mahal saat ini.

“Harga jual gas yang murah ke konsumen domestik dikombinasikan dengan biaya produksi hulu yang mahal tidak membuat banyak minat investor untuk proyek infrastruktur tersebut,” kata Moshe.

Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat rencana moratorium ekspor gas itu masih perlu dikaji ulang oleh pemerintah di tengah sistem ekonomi pasar saat ini.

Menurut Pri, pemerintah mesti terbuka untuk setiap kesempatan ekspor dan impor gas terkait dengan upaya untuk mengamankan pasokan industri di dalam negeri. Dia menilai rencana untuk menutup keran ekspor itu justru berpotensi untuk menimbulkan polemik baru di sisi investasi serta pengamanan pasokan gas.

“Dalam ekonomi pasar saat ini tidak bisa dicegah [ekspor], tidak realistis dalam beberapa tingkatan apalagi misalkan kalau kemudian yang produksi gasnya bukan dari kita sendiri tapi kontraktor swasta,” kata Pri saat dihubungi.

Selain itu, Pri mengaku khawatir apabila manuver itu justru dipahami investor sebagai sinyal negatif untuk berinvestasi di Indonesia. Alasannya, sejumlah lapangan migas di Indonesia masih memerlukan pintu ekspor untuk menopang monetisasi mereka.

“Jangan sampai yang ditangkap sinyalnya kontraproduktif, pada dasarnya generalisasi di dalam pengembangan migas itu belum tentu sesuai dengan keekonomian pengembangan lapangan itu yang harus dilihat,” kata dia.

Sebelumnya, pemerintah memastikan rencana moratorium ekspor gas yang ditarget efektif pada 2035 tidak bakal mengganggu investasi serta kelanjutan bisnis KKKS migas di dalam negeri.

Lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang tertuang khususnya pada pasal 6,7 dan 10, pemerintah diamanatkan untuk meningkatkan alokasi pemanfaatan gas dan batu bara untuk kepentingan industri dalam negeri secara bertahap.

Adapun, peraturan tersebut mengamanatkan penghentian izin ekspor baru untuk komoditas gas dan batu bara masing-masing pada 2035 dan 2046 dengan asumsi serapan domestik telah sampai 100 persen saat itu. Dengan demikian, kuota izin ekspor gas dan batu bara baru diharapkan menyusut setiap tahunnya sembari meningkatkan serapan domestik.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Jodi Mahardi mengatakan, pemerintah bakal tetap mengakomodasi harga gas di dalam negeri mengikuti mekanisme pasar untuk menjamin keberlanjutan produksi KKKS.

“Kebijakan tersebut bertujuan untuk memprioritaskan kebutuhan gas bagi industri dalam negeri, sambil tetap mempertimbangkan harga pasar agar dapat menjamin keberlanjutan produksi para produsen,” kata Jodi kepada Bisnis saat dikonfirmasi, Kamis (1/6/2023).

Inflasi dan Kebijakan Harga BBM di Indonesia

Liputan6.com; 01 Juni 2023

Penulis: Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Liputan6.com, Jakarta Tingkat inflasi merupakan salah satu variabel yang menjadi pertimbangan utama dalam mengimplementasikan kebijakan makro ekonomi, salah satunya kebijakan penyesuaian harga BBM.

Sampai saat ini penyesuaian harga BBM merupakan salah satu kebijakan yang dilakukan secara hati-hati. Penyesuaian -khususnya menaikkan- harga BBM sering menjadi opsi terakhir ketika berbagai pilihan kebijakan yang tersedia dinilai tidak dapat lagi untuk menyelesaikan permasalahan fiskal yang sedang dihadapi.

Upaya untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga agar tingkat inflasi lebih terkendali, menjadi penyebab utama kebijakan penyesuaian harga BBM sering menjadi pilihan terakhir.

Termasuk pada tahun anggaran 2023 pemerintah juga tampak akan lebih memilih untuk melakukan pengaturan/pembatasan konsumsi BBM RON 90 (Pertalite) dibandingkan menyesuaikan harga.

Harga BBM dan Inflasi

Berdasarkan review, dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM tercatat semakin membaik dari waktu ke waktu. Sebagai gambaran, dampak inflasi akibat penyesuan harga BBM selama periode 2022-2023 relatif terkelola.

Inflasi selama periode 2022-2023 tercatat masih berada pada level single digit. Sementara, kebijakan penyesuaian harga BBM yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya pernah tercatat dapat mendorong tingkat inflasi pada level double digit.

Hasil kajian juga menemukan bahwa penyesuaian harga jenis BBM Umum (non subsidi) yang dilakukan oleh badan usaha niaga BBM secara berkala memberikan kontribusi positif terhadap tingkat inflasi yang lebih stabil.

Selain telah berhasil membiasakan konsumen dengan naik dan turunnya harga BBM, kebijakan penyesuaian harga jenis BBM Umum yang dilakukan secara berkala dengan besaran yang terukur juga terpantau memperoleh respon yang baik dari para pelaku usaha dan sektor-sektor ekonomi pengguna BBM.

Data menunjukkan bahwa penyesuaian harga BBM dengan RON yang lebih rendah tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dampak inflasi dari penyesuaian harga BBM dengan RON yang lebih tinggi.

Hal tersebut salah satunya karena porsi volume konsumsi jenis BBM dengan RON rendah relatif lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi BBM dengan RON yang lebih tinggi.

Sebagai gambaran, realisasi porsi volume konsumsi jenis BBM dengan RON yang lebih rendah yaitu RON 88 dan RON 90 pada tahun 2021 mencapai 81,20 % terhadap total konsumsi BBM jenis gasoline di Indonesia. Data menunjukkan bahwa distribusi konsumsi BBM jenis gasoline di Indonesia pada tahun 2021 adalah RON 88: 10,51 %, RON 90: 70,70%, RON 92: 17,34 %, dan RON 95 + RON 98: 1,46 %.

Untuk BBM jenis solar juga tercatat relatif sama, penyesuaian harga jenis BBM dengan CN yang lebih rendah juga tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dampak inflasi dari penyesuaian harga BBM dengan CN yang lebih tinggi. Hal tersebut salah satunya juga karena porsi volume konsumsi jenis BBM dengan CN rendah relatif lebih besar.

Relatif sama dengan pola distribusi konsumsi gasoline, distribusi porsi realisasi volume konsumsi BBM jenis Solar dengan CN 48 dan Biosolar pada tahun 2021 juga tercatat sebagai yang terbesar yaitu mencapai 96,89 % terhadap total konsumsi BBM jenis Solar di Indonesia.

Distribusi konsumsi BBM jenis Solar di Indonesia tahun 2021 adalah CN 48 + Biosolar 96,89 %, CN 51: 2,11 % dan CN 53: 1 %.

Hasil kajian menemukan bahwa dampak dari penyesuaian harga BBM yang dilakukan antar pelaku usaha niaga BBM terhadap tingkat inflasi, tidak sepenuhnya sama.

Data menunjukkan tingkat inflasi relatif lebih sensitif terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM dengan RON dan CN yang lebih rendah. Hal tersebut salah satunya karena pangsa pasar dari BBM dengan RON dan CN yang lebih rendah relatif besar.

Pola dan periode penyesuaian harga untuk jenis BBM Umum yang dilakukan antar badan usaha niaga BBM tercatat tidak selalu sama.

Ketika pada bulan tertentu terdapat badan usaha niaga BBM yang menaikkan harga, tidak selalu diikuti oleh badan usaha niaga BBM yang lain dengan juga menaikkan harga, bahkan justru ada yang menurunkan harga di periode yang sama. Hal tersebut berpotensi memberikan dampak inflasi yang lebih baik.

Berdasarkan kajian ReforMiner, kebijakan penyesuaian harga BBM yang dilakukan sekaligus dalam prosentase yang lebih besar berpotensi memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan penyesuaian harga yang dilakukan secara bertahap.

Dampak inflasi dari kebijakan penyesuaian harga sebesar 30 % yang dilakukan secara bertahap selama enam kali masing-masing sebesar 5 % misalnya, tercatat akan memberikan dampak inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan penyesuaian harga yang langsung dilakukan sekaligus sebesar 30 %.

Kajian ReforMiner juga menemukan bahwa dampak inflasi dari kebijakan penyesuaian harga BBM RON 90 sebesar 30,71 % dan BBM CN 48 sebesar 32 % yang dilakukan pada awal September 2022 tercatat masih menjadi komponen utama penyumbang inflasi sampai dengan April 2023.

Rata-rata kontribusi inflasi dari penyesuaian harga BBM sejak Oktober 2022 – April 2023 tercatat sebesar 1,12 % dari rata-rata total inflasi nasional periode yang sama yang dilaporkan sebesar 5,39 %.

Data Indeks Harga Konsumen (IHK) 90 Kota di Indonesia menunjukkan bahwa respon masing-masing daerah terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM tidak selalu sama.

Hal tersebut tercermin dari besaran porsi BBM dalam komponen pembentuk inflasi pada masing-masing wilayah yang tercatat cukup bervariasi.

Mencermati data, informasi, dan temuan yang telah diuraikan tersebut, saya menilai bahwa dampak inflasi dari kebijakan harga BBM akan lebih dapat dikelola jika kebijakan harga BBM dapat dilakukan secara berkala. Termasuk dalam hal ini kebijakan penyesuaian harga untuk jenis BBM Subsidi dan Kompensasi.