Butuh Reformasi Fiskal untuk Gali Potensi Migas di Indonesia Timur

Liputan6.com; 27 Juli 2023

Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah telah menetapkan target produksi migas nasional sebesar 1 juta barel minyak per hari dan 12 ribu MMscfd gas pada 2030. Target tersebut ditempuh oleh beberapa strategi, mulai dari optimalisasi produksi eksisting, mempercepat cadangan menjadi produksi, pemanfaatan Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Enhanced Gas Recovery (EGR) serta menggenjot eksplorasi.

Kegiatan eksplorasi jadi salah satu tumpuan untuk bisa mencapai target produksi tersebut. Pada awal 2022, pemerintah menetapkan 5 fokus area untuk dieksplorasi migas yang berada di wilayah Indonesia Timur, semisal Buton, Arafura, Seram, Warim, dan Timor yang meliputi 12 cekungan potensial.

Deputi Eksplorasi Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Benny Lubiantara, menilai Indonesia Timur jadi salah satu wilayah yang diandalkan untuk bisa berkontribusi besar dalam pemenuhan target produksi.

Namun, ia mengakui untuk bisa mengandalkan potensi di Indonesia Timur ada tantangan seperti berada frontier, laut dalam dan infrastruktur terbatas. Menurut dia, salah satu fokus yang harus diperbaiki adalah dari sisi kebijakan fiskal.

“Oke resource (cadangan migas) meyakinkan tapi cadangannya belum tentu bisa diproduksi karena faktor keekonomian. Kita fokus ke fiskal, tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan fiskal selama 30 tahun,” kata Benny dalam sesi diskusi IPA Convex 2023 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Kamis (27/7/2023).

“Potensi di lima area yang sudah diterapkan pemerintah sangat membutuhkan kebijakan fiskal atraktif dan skema keekonomian yang tepat pasalnya jumlah potensi cadangannya juga tidak main-main,” dia menambahkan.

Berdasarkan data SKK Migas, untuk Buton cadangannya 1 BBO dan 4 TCFG. Seram 8 BBOE, Aru 6 BBO dan 50 TCFG, Warim 34 BBOE serta Timor 5 BBOE.

Benny mengatakan, target produksi minyak maupun gas pada 2030 masih sangat bisa tercapai, apalagi jika melihat cadangan. Namun, ada dua syarat yang harus dipenuhi pertama adalah membuat cadangan yang ada bisa dikembangkan dan sesuai dengan keekonomian.

Kedua, memastikan proyek-proyek yang telah direncanakan bisa diselesaikan sesuai dengan jadwal.

“Kita ada daftar list cadangannya, tapi semua proyek tidak ekonomis. Untuk itu kita siap untuk meluncurkan insentif. Kemudian berikutnya kita harus memastikan proyek ini tidak delay. Kalau sudah delay itu proyek langsung berubah keekonomiannya,” jelasnya.

Sementara pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, apa yang dilakukan pemerintah demi memonetisasi cadangan migas yang ada sudah cukup positif. Tapi itu saja tidak cukup karena kondisi cadangan yang ada di wilayah-wilayah sulit membutuhkan usaha lebih ekstra.

“Kami pelaku usaha migas butuh praktik di lapangan lebih mudah, butuh fleksibilitas, secara umum kita semua tahu masalahnya,” kata Pri Agung.

Pendiri Reforminer Institute ini menuturkan, pelaku usaha migas melihat Indonesia masih prospektif dari sisi cadangan. Di sisi lain para pelaku usaha juga melihat negara lain sebagai perbandingan.

“Kita butuh lebih banyak berusaha, mulai mentranslate pandangan migas dari migas sebagai mengeruk revenue ke migas sebagai penggerak ekonomi ke dalam aksi nyata. Kita perlu mengubah cara Indonesia melihat migas ke dalam uu migas. Jadi misalnya kalau memang gagal dapatkan cadangan jangan dianggap sebagai kerugian negara,” tuturnya.

Mengapa KKKS Asing Ini Hengkang dari Proyek-Proyek Migas Indonesia?

Kontan.co.id; 25 Juli 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejumlah transaksi jumbo mewarnai industri hulu migas pada Selasa (25/7). Salah satunya pengambilalihan 35% hak partisipasi atau participating interest (PI) Shell Upstream Overseas Services (I) Limited (SUOS) di Blok Abadi Masela oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Petronas Masela Sdn. Bhd (Petronas Masela).

Ketiganya telah menandatangani perjanjian jual beli untuk akuisisi kepemilikan hak partisipasi Blok Masela tepat pada acara pembukaan Konvensi Indonesia Petroleum Association (IPA), Selasa (25/7).

Menurut rencana, PHE nantinya akan mengelola 20% dari hak partisipasi Blok Masela, sedangkan 15% lainnya bakal dikelola oleh Petronas Masela. Sementara itu, 65% hak partisipasi lainnya tetap dipegang oleh Inpex.

Melansir laman resmi Shell Global, Shell melepas 35% PI Blok Masela senilai US$ 325 juta atau setara Rp 4,87 triliun (Kurs Rp 15.000/USD) dalam bentuk tunai dengan tambahan jumlah kontingen sebesar US$ 325 juta atau Rp 4,87 triliun yang harus dibayarkan saat keputusan investasi akhir (FID) diambil pada proyek gas Abadi.

Dus, menurut hitungan Kontan.co.id, total yang harus dibayarkan Pertamina dan Petronas senilai US$ 650 juta atau setara Rp 9,74 triliun.

Selang beberapa jam setelahnya, operator proyek Indonesia Laut Dalam/Development Water (IDD), yakni Chevron Makassar Ltd (CML), Chevron Ganal Ltd (CGL) dan Chevron Rapak Ltd. (CRL), resmi menandatangani Perjanjian Jual Beli Saham/Sales Purchase Agreement (SPA) dengan Eni Lasmo PLC (ENI) pada Selasa (25/7).

Dengan demikian, Chevron resmi mengalihkan proyek IDD kepada perusahaan migas asal Italia tersebut.

Kedua transaksi tersebut menambah daftar hengkangnya kontraktor kontrak kerja sama asing dari proyek-proyek migas di Indonesia. Sebelumnya, anak perusahaan ConocoPhillips Company (COP), yaitu Phillips International Investments Inc., juga telah ‘cabut’ dari Blok Corridor.

Hal ini ditandai dengan penyelesaian akuisisi seluruh saham ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CIHL) oleh PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dari Phillips International Investments Inc pada Maret 2022 lalu.

CIHL sendiri merupakan pemegang 100% saham ConocoPhillips (Grissik) Ltd. (CPGL) dan 35% saham di Transasia Pipeline Company Pvt. Ltd. Sementara itu, CPGL merupakan Operator dari Blok Corridor dengan kepemilikan hak partisipasi sebesar 54%. Blok Corridor memiliki dua lapangan produksi minyak dan tujuh lapangan produksi gas berlokasi di onshore Sumatera Selatan, Indonesia.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menduga fenomena hengkangnya KKKS asing dari proyek-proyek hulu migas RI berkorelasi dengan aspek kepastian regulasi.

“Sebagai contoh misalnya sempet ada mandatori menggunakan kerja sama gross split, sementara di kontrak awalnya atau di PSC (Production Sharing Contract) sistem awalnya cost recovery model, sementara di dalam undang-undang migas sendiri itu membebaskan sebetulnya,” terang Komaidi saat dihubungi Kontan.co.id (25/7).

Faktor lainnya yang juga disorot oleh Komaidi ialah masalah perizinan. Sebab, jumlah perizinan yang perlu diurus dari kegiatan eksplorasi hingga tahap produksi hulu migas, kata Komaidi, jumlahnya sangat banyak dan melibatkan hingga 16 kementerian/lembaga (K/L).

“Kalau yang sudah dirampingkan itu baru di kementerian teknis, yaitu Kementerian ESDM, sementara kan ada sekitar 15 kementerian/lembaga yang lain di luar kementerian teknis. itu yang juga masih saya kira belum banyak disentuh,” tutur Komaidi.

Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal, mengatakan bahwa kepastian kontrak kerja sama merupakan hal yang penting bagi investor.

“Perlu diingat Kontrak Kerjasama antara KKKS dan Pemerintah itu setingkat dengan undang-undang, dan investor itu sangat sensitif akan hal ini, jadi kepastian regulasi, kontrak dan investasi itu yang pertama dinilai oleh investor dalam memilih prioritas mereka,” tutur Moshe saat dihubungi Kontan.co.id (25/7).

Repsol Lepas Blok Andaman III, Pengamat: Investor Masih Hati-hati Investasi

Bisnis.com; 17 Juli 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) masih berhati-hati untuk berinvestasi di sisi hulu minyak dan gas (migas) Indonesia.

Pendapat itu disampaikan Pri seiring dengan keputusan Repsol Andaman B.V yang mengembalikan kontrak pengelolaan Blok Andaman III kepada negara.

Pengembalian konsesi itu dilakukan usai Repsol enggan memperpanjang tambahan waktu eksplorasi (TWE) yang berakhir pada Juni 2023.

“Tidak bersedia lagi untuk melanjutkan eksplorasi, itu sinyal juga bahwa seperti itulah statusnya investor paling tidak dalam melihat hulu migas kita,” kata Pri saat dihubungi, Senin (17/7/2023).

Pri berpendapat pemerintah mesti lebih fleksibel saat bekerjasama dengan KKKS dalam pengerjaan lapangan migas saat ini. Apalagi, beberapa lapangan memiliki karakteristik risiko yang mirip dengan Andaman III, yakni berupa laut dalam.

“Masalah ketertarikan investor ke kita itu memang seperti itu statusnya, memang akan lebih mudah kalau pemerintah memberikan investasi awal untuk membuat menarik,” kata dia.

Selepas mundur dari Blok Andaman III itu, Repsol bakal berfokus untuk pengembangan lebih lanjut portofolio lain mereka di Blok Sakakemang, Banyuasin, Sumatra Selatan.

“Setelah selesai melakukan semua komitmen dan pengeborannya belum berhasil, maka Repsol tidak memperpanjang lagi TWE eksplorasi, artinya Repsol mengembalikan lagi ke negara,” kata Stakeholders Relations Manager Repsol Indonesia Amir Faisal Jindan kepada Bisnis, Senin (17/7/2023).

Faisal mengatakan, keputusan itu diambil setelah tajak atau pemboran perdana laut dalam pada Sumur Rencong-1X akhir tahun lalu tidak mengidentifikasi adanya cadangan minyak dan gas (migas) atau dry hole.

Sumur eksplorasi lepas pantai itu terletak dengan kedalaman air laut sekitar 1.100 meter dengan mengambil jarak 42 kilometer dari garis pantai Aceh Utara.

Tajak Sumur Rencong-1X itu menjadi bagian dari komitmen pasti yang turut diselesaikan Repsol di Blok Andaman III tahun lalu setelah kontrak bagi hasil (PSC) pertama kali ditandatangani November 2009. Saat itu, hak pengelolaan blok diberikan kepada Talisman Energy Inc, perusahaan asal Kanada.

Sejak Talisman diambil alih oleh Repsol pada 2015, Talisman Andaman B.V. sebagai bagian dari Grup Repsol telah menyelesaikan beberapa pemenuhan komitmen pasti, yaitu seismik lepas pantai seluas 3.385 kilometer persegi (km2).

Kegiatan ini merupakan akuisisi seismik lepas pantai terluas di Indonesia pada tahun 2017 dengan menggunakan kontraktor lokal, yaitu PT Elnusa.

Hanya saja, Faisal mengatakan, Repsol belakangan memutuskan untuk mundur dari pengembangan lanjutan untuk Blok Andaman III tersebut setelah hasil tajak perdana Sumur Rencong-1X tidak sesuai dengan estimasi cadangan di wilayah operasi tersebut.

Apalagi, kata dia, biaya eksplorasi dan nantinya eksploitasi pada laut dalam Andaman III saat ini sudah terbilang mahal.

“Laut dalam, biayanya tinggi, eksplorasi di Aceh kita tidak lanjutkan karena pengeborannya tidak memberikan hasil yang sesuai harapan,” kata dia.

Kewenangan Daerah Menetapkan HET LPG Subsidi dan Potensi Masalahnya

Katadata.co.id; 16 Juli 2023

Pada 2008, ketika program konversi minyak tanah ke LPG efektif berjalan, realisasi subsidi gas rumah tangga itu Rp 3,89 triliun.

Dalam perkembangannya, anggaran subsidi LPG terus meningkat dan menjadi salah satu komponen terbesar dalam subsidi energi. Porsi jumbo tersebut karena merupakan konversi dari anggaran subsidi untuk sekitar 12 juta kilo liter minyak tanah.

Realisasi anggaran subsidi LPG pada 2021 dan 2022 masing-masing Rp 67,61 triliun dan Rp 100,39 triliun. Nilai tersebut mencapai 51,58 % dan 58,46 % terhadap total anggaran subsidi energi di kedua tahun itu. Hal ini terkait konsumsi LPG dalam negeri yang terus meningkat. Rata-rata pertumbuhan konsumsi LPG selama 2006 – 2022 sekitar 14,11 % untuk setiap tahunnya.

Pada 2006, ketika baru dilakukan pilot project konversi minyak tanah ke gas alam cair, realisasi konsumsi LPG sebesar 1,2 juta ton. Sementara pada 2022, realisasi konsumsinya mencapai 8,56 juta ton.

Tata Niaga dan Efektivitas Subsidi

Sampai saat ini, kebijakan tata niaga dan mekanisme subsidi LPG masih menggunakan pola yang relatif sama -mekanisme terbuka- yaitu melalui subsidi pada harga produk. Namun efektivitas pelaksanaan kebijakan subsidi LPG ini perlu ditinjau ulang, terutama jika mencermati kebijakan tata niaga LPG subsidi sejak 2008 relatif tidak banyak penyesuaian.

Dengan mekanisme distribusi terbuka, anggaran subsidi LPG yang terus meningkat setiap tahun dapat berpotensi tidak tepat sasaran, yakni dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tak menjadi prioritas penerima subsidi. Apalagi, sejauh ini, relatif tidak terdapat regulasi yang mengatur secara tegas mengenai siapa yang boleh dan tidak untuk menggunakan LPG bersubsidi.

Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk dapat menyesuaikan harga eceran tertinggi LPG subsidi dapat menjadi penyebab pengukuran efektivitas kebijakan subsidi LPG relatif sulit dilakukan. Dalam konteks kebijakan makro ekonomi nasional dan keuangan negara, HET LPG yang menjadi basis dalam perhitungan anggaran subsidi di APBN adalah Rp 4.250 per kilogram atau Rp 12.750 per tabung. Akan tetapi, realisasinya, masing-masing daerah menetapkan HET LPG subsidi lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah.

Meskipun HET LPG yang menjadi basis perhitungan anggaran subsidi di APBN ditetapkan Rp 12.750 per tabung, realisasinya, masyarakat justru rata-rata harus membayar harga LPG subsidi lebih dari Rp 20.000 per tabung. Bahkan dalam kondisi tertentu masyarakat harus membayar Rp 30.000.

Kondisi tersebut memberikan gambaran mengenai bagaimana tingkat efektivitas kebijakan subsidi LPG. Peningkatan alokasi anggaran yang dimaksudkan untuk memperbaiki daya beli masyarakat penerima manfaat subsidi, tetapi realisasi di lapangan justru daya beli masyarakat relatif tertekan karena harus membeli LPG subsidi jauh lebih tinggi dari HET yang ditetapkan oleh pemerintah.

Terkait payung hukum kebijakan, terdapat sejumlah regulasi yang menjadi landasan dalam pengelolaan LPG subsidi. Misalnya, Perpres No.104/2007, Perpres No.126/2015, Permen ESDM No.28/2008, Permen ESDM No.26/2009, Permen ESDM No.13/2018, serta Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri ESDM No.5/2011 dan No.17/2011. Lalu ada Kepmen ESDM No.7436 K/12/MEM/2016, Kepmen ESDM No.0298 K/DJM.S/2018, dan Kepdirjen Migas No.0249.K/10/DJM.0/2018.

Di antara regulasi tersebut, Permen ESDM No.26/2009 berpotensi menimbulkan celah permasalahan dalam tata niaga dan distribusi LPG bersubsidi.

Regulasi tersebut menetapkan bahwa “dengan memperhatikan kondisi daerah, daya beli masyarakat, dan marjin yang wajar, serta sarana dan fasilitas penyediaan dan pendistribusian LPG, pemerintah daerah provinsi bersama pemerintah daerah kabupaten/kota menetapkan harga eceran tertinggi untuk pengguna LPG tertentu pada titik serah di sub penyalur LPG tertentu”.

Ketentuan tersebut menjadi penyebab temuan pemerintah yang menginformasikan terjadi ketimpangan harga eceran LPG subsidi antara daerah yang satu dan lainnya. Perbedaan harga LPG subsidi antardaerah tersebut pada dasarnya wajar karena merupakan konsekuensi logis dari ketentuan regulasi yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan HET LPG subsidi di wilayahnya masing-masing.

Jika ditinjau dari perspektif pengelolaan anggaran subsidi, kebijakan distribusi dan tata niaga LPG subsidi, kewenangan penetapan HET yang diberikan kepada daerah dapat berpotensi kontraproduktif. Terkait pengelolaan anggaran subsidi, misalnya, kewenangan penetapan kuota volume dan alokasi anggaran subsidi LPG menjadi domain pemerintah pusat: Rp 4.250 per Kg atau Rp 12.750 per tabung.

Dapat dikatakan bahwa HET LPG subsidi oleh masing-masing daerah tidak memiliki relevansi secara langsung dengan kebijakan pengelolaan subsidi LPG. Bahkan dapat dimungkinkan objective antara pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan HET LPG subsidi dapat berbeda.

Tujuan pemerintah untuk melindungi daya beli masyarakat penerima manfaat subsidi, sementara tujuan daerah dapat terkait untuk meningkatkan penerimaan pajak dan non-pajak untuk APBD masing-masing.

Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk dapat menetapkan HET juga berpotensi menimbulkan permasalahan dalam tata niaga dan distribusi LPG subsidi, terutama di wilayah perbatasan antardaerah. Pola distribusi LPG subsidi dengan mekanisme terbuka memungkinkan masyarakat di daerah tertentu membeli di daerah lainnya yang menetapkan HET lebih rendah.

Mencermati relatif banyaknya potensi permasalahan yang dapat timbul, kebijakan pemberian kewenangan penetapan HET LPG subsidi kepada daerah kiranya perlu ditinjau ulang. Kebijakan pengelolaan subsidi pada dasarnya merupakan domain pemerintah pusat.

Oleh karenanya, berbagai bentuk kebijakan turunannya sudah seharusnya dilakukan dan dikontrol pemerintah pusat. Termasuk jika diperlukan kebijakan diversifikasi harga jual LPG subsidi antardaerah seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah pusat.

Revisi Beleid Perpajakan Hulu Migas, Pengamat: Pajak Tidak Langsung Mesti Dibebaskan

Bisnis.com; 12 Juli 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai positif upaya pemerintah untuk merevisi dua beleid yang mengatur spesifik ihwal kontrak kerja sama atau production sharing contract (PSC) dan fasilitas perpajakan pada industri hulu minyak dan gas (migas).

Dua beleid yang tengah direvisi itu, yakni PP No. 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan PP No. 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

“Dalam hal [revisi] ini, KKKS untuk dibebaskan [assume and discharged] terhadap pajak-pajak dan bea atau pungutan tidak langsung, ini untuk mengembalikan prinsip dasar dari kontrak bagi hasil [PSC],” kata Pri saat dihubungi, Selasa (11/7/2023).

Lewat kepastian assume and discharged atau tak dikenai pajak tambahan, Pri mengatakan, beban yang ditanggung KKKS hanya berkisar pada pajak penghasilan dan pajak atas bunga, dividen dan royalti (PBDR) setelah skema bagi hasil. Dia berharap prinsip itu dapat kembali didorong pada revisi dua beleid kontrak kerja sama hulu migas tersebut.

“Agar penerapan assume and discharged itu dilakukan sesuai mekanismenya, dalam arti memang diterapkan ketentuan pengenaan pajak semestinya. Bukan dengan pengembalian atau restitusi pajak atau bukan pula dilakukan melalui mekanisme pengembalian biaya operasi,” kata dia. Di sisi lain, dia mengatakan, pemerintah perlu memikirkan opsi untuk memberlakukan lex specialis untuk mengatur ketentuan pajak hulu migas tersendiri.

“Mungkin tidak bisa dijangkau revisi aturan setingkat PP, tetapi perlu revisi UU agar pajak hulu migas diperlakukan lex specialis, diatur dengan ketentuan pajak hulu migas tersendiri,” kata dia. Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah tengah memperbaiki dua beleid yang mengatur ihwal kontrak kerja sama atau PSC dan fasilitas perpajakan pada industri hulu migas di tengah upaya peningkatan lifting tahun ini.

“[Revisi PP-nya] masih dalam pembahasan,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad saat dikonfirmasi, Selasa (11/7/2023).

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berharap revisi dua beleid itu dapat mengurangi beban perpajakan khusus yang selama ini diterima Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di Tanah Air. Malahan, kata Moshe, beban pajak yang ditanggung KKKS mencapai 40 persen dari keseluruhan porsi pendapatan yang diterima suatu perusahaan.

“Terus terang pajaknya terlalu tinggi dibandingkan industri lain, kalau dihitung-hitung gross split, cost recovery itu pajaknya bisa 40 persen, kalau bisa ada keringanan memang di situ karena negara lain biasanya tidak ada pajak khusus [migas],” kata Moshe saat dihubungi, Selasa (11/7/2023).

Misalkan, Moshe menuturkan, pajak khusus yang diterapkan pada industri migas di Indonesia berkaitan dengan aktivitas pembagian dividen KKKS yang memiliki induk di luar negeri. Pungutan pajak yang masuk ke dalam kategori branch profit tax itu dinilai mengoreksi pendapatan KKKS asing terbilang signifikan yang ditambah dengan badan usaha atau corporate tax biasa.

“Mau setor atau tidak setor [dividen KKKS asing] itu pajaknya tetap dari pendapatan, padahal kalau mereka tidak setor keluar negeri kan harusnya tidak dipajaki, tapi ini tetap dipajaki, itu harus direvisi banyak yang keberatan di situ,” kata dia.

Pemerintah Akan Larang Ekspor Gas, Begini Dampaknya Bagi Proyek-Proyek Gas ke Depan

Kontan.co.id; 11 Juli 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah mengusulkan pelarangan ekspor gas untuk mendukung ketahanan energi dalam negeri dalam rangka mendukung program hilirisasi di Indonesia.

Sejatinya, rencana moratorium ekspor gas ini sudah tertuang di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Di dalam lampiran dokumen RUEN tertulis, untuk mencapai sasaran pengembangan energi gas bumi, salah satu kegiatan yang dilakukan ialah mengurangi porsi ekspor gas bumi menjadi kurang dari 20% di 2025 dan menghentikan ekspor gas bumi paling lambat pada 2036. Aturan ini dijalankan dengan menjamin produksi gas dalam negeri untuk industri yang terintegrasi hulu-hilir, transportasi, dan sektor lainnya.

Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai, rencana moratorium ekspor gas ini tidak akan berdampak bagi proyek-proyek gas yang sudah on stream maupun yang akan berproduksi ke depannya, misalnya Proyek LNG Tangguh.

Asal tahu saja, di tahun ini proyek Tangguh Train 3 akan beroperasi dan menggenapkan produksi gas Proyek LNG Tangguh yang disebut-sebut sebagai lapangan dengan penghasil gas terbesar di Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, proyek produksi dan penjualan LNG Tangguh telah direalisasikan dalam bentuk joint ventures (JV) antara British Petroleum (BP) sebagai operator, pemerintah Indonesia, kontraktor, dan khususnya masyarakat lokal Papua Barat.

Proyek ini menghasilkan LNG dari ladang gas Wiriagar, Berau, dan Muturi, di Teluk Bintuni, Papua Barat dengan luas 5.966,9 km2.

Produksi gas bumi rata-rata Lapangan Tangguh di 2021 sebesar 1.312 MMSCFD, dan status per 14 Juni 2022 sebesar 1.162 MMSCFD. Proyek LNG Tangguh menghasilkan 7,6 juta ton LNG setiap tahunnya melalui Train 1 dan 2. Adapun proyek Train 3 nantinya akan menghasilkan 3,8 juta ton LNG per tahun.

Nantinya hasil produksi Train 3 akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan gas domestik termasuk untuk pembangkit listrik PT PLN.

Pri Agung yakin bahwa hasil produksi dari proyek lapangan gas yang ada akan disesuaikan oleh pemerintah supaya dapat tetap berjalan.

Pemerintah Rencana Larang Ekspor Gas, Begini Dampaknya ke Proyek-Proyek Gas Ke Depan

“Maksud dan tujuan arah kebijakan (pelarangan ekspor gas) pada dasarnya positif, karena ke depan konsumsi gas domesik memang akan terus meningkat. Gas menjadi komponen dan jembatan utama transisi energi Indonesia,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (11/7).

Dia memproyeksikan, dalam pelaksanaannya nanti, kebijakan ini pasti tetap akan diselaraskan dengan prinsip-prinsip keekonomian. Baik itu keekonomian pengembangan lapangan gas maupun harga gas untuk pasar domestik dan ekspor.

“Jadi, pasti nanti akan tetap diseimbangkan dari berbagai kepentingan dan perspektif,” jelasnya.

Berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian ESDM dalam Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia (HEESI) tahun 2022, Indonesia terus mengurangi porsi ekspor LNG dari tahun ke tahun.

Pada 2012 realisasi ekspor LNG sebesar 949 miliar kaki kubik persegi (billion square cubic feet/BSCF), kemudian terus menurun hingga 2022 hanya sebesar 444 BSCF.

Penurunan ekspor LNG ini diikuti dengan kenaikan penyerapan LNG di dalam negeri di mana pada 2012 Indonesia baru bisa menerap 37,091 juta kaki kubik persegi (million standard cubic feet per day/MMSCF) dan saat ini sudah naik hingga menjadi 178,678 MMSCF.

Namun komposisi penjualan ekspor LNG di tahun lalu dibandingkan produksinya memang masih lebih besar dibandingkan penjualan ke lokal.

Berdasarkan perhitungan Kontan, jika dibandingkan dengan produksi LNG 2022 sebesar 789 BSCF, komposisi penjualan ke luar negeri masih 56% dari total produksi dan 43% untuk domestik.

Banyak yang Rugi, Bisnis Pertashop Dinilai Perlu Ditata Ulang

Kumparan.com; 11 Juni 2023

Pengusaha Pertamina Shop (Pertashop) ramai-ramai mengeluhkan penurunan omzet penjualan. Mereka merugi karena kalah saing dengan pengecer ilegal yang dikenal sebagai Pertamini.

Berdasarkan data Himpunan Pertashop Merah Putih Indonesia (HPMPI), dari sekitar 448 unit Pertashop sebanyak 201 unit dilaporkan mengalami kerugian dengan tingkat yang bervariasi.

Sejumlah Pertashop bahkan dilaporkan harus sampai menutup usahanya dan sebagian dilaporkan sampai harus disita asetnya oleh perbankan karena tidak dapat membayar pinjaman.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan berdasarkan perspektif ekonomi dan daya beli masyarakat, konsep bisnis Pertashop seharusnya ditata ulang.

Hal ini disebabkan kebijakan Pertashop yang hanya diperbolehkan menjual BBM nonsubsidi RON tinggi, seperti Pertamax, pada dasarnya tidak sesuai dengan segmen pasar yang menjadi target.

“Pemerintah perlu menata kembali konsep bisnis Pertashop agar tidak merugikan para pihak, terutama pelaku bisnis,” kata Komaidi melalui keterangan tertulis, Selasa (11/7).

Komaidi menjelaskan, desain awal Pertashop ditujukan untuk memperluas akses BBM kepada wilayah yang belum terjangkau SPBU. Karena itu, Pertashop lebih banyak tersebar di wilayah terpencil dengan profil masyarakat berpendapatan lebih rendah daripada masyarakat perkotaan.

“Maka masyarakat yang menjadi target pasar berpotensi membeli BBM di SPBU dengan lebih banyak pilihan, termasuk BBM RON lebih rendah dengan harga yang lebih murah,” jelas Komaidi

Komaidi menganggap kehadiran Pertabotol atau penjual BBM eceran dan Pertamini yang tidak jauh dari lokasi Pertashop menjadi penyebab utama banyaknya Pertashop mengalami kerugian. Sebab pengecer dapat menjual Pertalite yang lebih murah.

Kondisi itu diperparah dengan margin atau keuntungan Pertashop telah ditetapkan dalam nilai tertentu untuk setiap liternya, yakni Rp 850 per liter. Karena itu keberlangsungan bisnis Pertashop ditentukan oleh besaran volume penjualan.

Dengan demikian, menurut Komaidi, kebijakan Pertashop hanya menjual BBM RON tinggi. Sementara bisnis Pertabotol dan Pertamini tidak ditertibkan akan berdampak terhadap target minimal penjualan Pertashop tidak tercapai. Sehingga biaya operasional tidak dapat tertutup dan kemudian merugi.

“Jangan sampai tujuan memperluas akses BBM yang pada dasarnya sangat bagus karena dapat menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional justru menjadi kontraproduktif dan beban bagi pelaku bisnis yang telah berinvestasi di bisnis Pertashop,” tutur Komaidi.