Kebijakan Hilirisasi Nikel Dinilai Dorong Aktivitas Ekspor Ilegal, Pengamat: Serapan di Domestik Belum Siap

Tempo.co; 02 Juli 2023

TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro menanggapi soal ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke Cina yang diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai hal ini berkaitan dengan kebijakan hilirisasi industri nikel berbasis larangan ekspor.

Pasalnya, ucap Komaidi, kebijakan tersebut tidak diiringi dengan kesiapan membangun serapan di dalam negeri. Padahal, regulasi tersebut sudah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.

“Artinya kebijakan ini sudah cukup lama. Seharusnya pemerintah menyiapkan infrastruktur penunjuangnya, termasuk serapan di domestiknya,” ucap Komaidi saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 1 Juli 2023.

Bila serapan domestik tidak siap, ia menjelaskan hal tersebut akan berpengaruh pada mekanisme harga yang wajar. Hal-hal itu lah yang berpotensi mendorong adanya ekspor ilegal. Ditambah aktivitas operasional terus berjalan, sehingga pengusaha perlu perlu membiayai kegiatan produksi mereka seperti gaji karyawan dan sewa peralatan.

Alhasil bila tidak ada pemasukan, tutur Komaidi, pengusaha mau tidak mau harus mencari solusi demi membiayai kegiatan operasi mereka. Dengan demikian, apabila serapan di dalam negeri tidak maksimal, pengusaha akan berusaha menjual produk mereka termasuk melalui ekspor secara ilegal.

“Sementara bila tidak ada serapan, maka pengusaha terpaksa membuang hasil produksinya,” kata dia.

Sehingga Komaidi menilai bukan kebijakan hilirisasi yang menjadi persoalan, melainkan kesiapan pemerintah dalam menunjang serapan di dalam negeri. Bila kebijakan hilirisasi ini disertai kesiapan penyerapan domesti, menurutnya, langkah ini justru bagus untuk industri di Tanah Air.

Tetapi, ia menekankan kebijakan tersebut harus disertai dengan mekanisme harga yang wajar untuk para pihak yang terlibat. Termasuk untuk para penambang yang selama ini kemungkinan terbiasa menggunakan harga internasional.

Karena itu, menurut Komaidi, pemerintah perlu membuat paket kebijakan yang jelas. Seperti, aturan harga domestik, diskon, insentif, dan perhitungan pajaknya.

Kepastian Pasar Krusial dalam Pengelolaan Blok Masela

Kompas.id; 01 Juni 2023

JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) dilaporkan kian dekat untuk mengambil alih hak partisipasi 35 persen milik Shell pada proyek Blok Masela di laut lepas Maluku. Namun, yang perlu dipastikan ialah keberlangsungan dan keberlanjutan proyek, termasuk pasar yang akan menyerap gas bumi yang dihasilkan.

Sebelumnya, Pertamina memastikan tengah dalam proses untuk menggantikan Shell sebagai pemilik 35 persen hak partisipasi (participating interest/PI) di Blok Masela (65 persen lainnya dimiliki Inpex Corporation). Itu termasuk opsi pembentukan konsorsium dengan perusahaan migas asal Malaysia, Petronas.

Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (30/6/2023), mengatakan, langkah itu jangan sampai memberatkan Pertamina. Juga, tidak mengubah strategi korporasi, jangka menengah ataupun panjang, yang telah disiapkan.

Akan tetapi, yang lebih krusial ialah perihal keberlangsungannya. ”Siapa pun yang mengelola harus dipastikan siapa pembeli gasnya? Dikemanakan? Sebab, lapangan gas tidak dapat dikembangkan jika tak ada perjanjian jual beli gasnya. Tanpa tahu siapa market-nya, operator mana pun tidak akan bisa mengembangkan,” katanya.

Pri Agung menambahkan, dari lambatnya kemajuan pengembangan proyek Abadi Masela, selama ini ada kecenderungan menggantungkan harapan pada Shell. Menurut dia, seharusnya siapa pun yang sejak awal terlibat dalam proyek tersebut harus memiliki perspektif pengembangan proyek dari hulu ke hilir.

”Tak bisa parsial. Misalnya kemudian ditambahkan program baru CCS/CCUS (penangkapan, penyimpanan, dan utilisasi karbon), lalu keekonomiannya berubah. Dari sisi cost memang berubah, tetapi dari sisi keseluruhan proyek pasti akan berkait dengan harga gasnya berapa dan volumenya berapa. Harus utuh,” ucapnya.

Meski demikian, titik terang kejelasan proyek Abadi Masela, yang juga proyek strategis nasional, tetap menjadi hal positif. ”Tapi, artinya harus bergegas. Misal Pertamina jadi (mengelola), sekalian saja dengan PGN (Perusahaan Gas Negara). BUMN juga ada industri-industri (penyerap). Jadi, tak sebatas membeli PI,” lanjutnya.

Pri Agung menuturkan, yang menjadi pembelajaran dari pengembangan Blok Masela ialah pentingnya mengedepankan aspek teknis dalam putusan-putusan strategis. Konsistensi kebijakan amat penting.

Masih berproses
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, negosiasi antara pemerintah dan Shell berlangsung baik dan positif. Artinya, mengarah kepada deal (sepakat). Hal tersebut diharapkan tuntas akhir Juni 2023. (Kompas.id, 14/6/2023)

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso saat dikonfirmasi mengenai kemajuan pengambilalihan saham Shell pada proyek Abadi Masela, Jumat (30/6), hanya menyatakan proses masih berlansung. Belum ada hal resmi yang dapat disampaikan terkait dengan itu.

Saat ditanya lebih lanjut mengenai negosiasi yang masih berjalan, apakah dengan Shell atau dengan Petronas dalam rangka pembentukan konsorsium, Fadjar hanya menjawab, ”Nanti kalau sudah, kami sampaikan.”

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, saat dikonfirmasi terkait kemajuan penyelesaian divestasi saham Shell di proyek Abadi Masela, hingga Jumat (30/6) malam belum memberi respons. Pesan singkat Kompas hanya tertanda dibaca.

Menteri ESDM Arifin Tasrif, pekan lalu, mengatakan, masuknya Pertamina ke proyek Blok Masela guna memastikan lapangan yang kaya akan gas bumi itu bisa segera dikerjakan. ”(Agar) bisa berproduksi, dikerjakan untuk mendukung ketahanan energi. Kalau tidak, kan tidak ada kepastiannya,” ujarnya di Jakarta.

Sebelumnya, ia juga sempat mengatakan, nilai pengambilalihan saham oleh Pertamina jauh terhadap Shell di bawah 1 miliar dollar AS. Ia pun menuturkan, pada bulan Juni 2023, Pertamina akan membayar separuh dari perjanjian sebagai tanda jadi.

Catatan Kompas, proyek hulu migas Blok Masela berjalan lambat dan penuh kontroversi. Ditemukan tahun 2000 oleh Inpex, Shell lalu masuk pada 2011, yang membuat komposisi saham 65 persen untuk Inpex dan 35 persen milik Shell.

Rencana pengembangan lapangan (POD) proyek Masela sebenarnya sudah rampung pada akhir 2015. Saat itu, investor mengajukan pengembangan di laut lepas (offshore). Namun, ada ketidakkompakan di tubuh pemerintah terkait mana yang lebih efisien apakah offshore atau onshore (darat). Akhirnya Presiden memutuskan proyek dilaksanakan dengan skema di darat.