Peran Penting Kegiatan Usaha Hulu Migas dalam Stabilitas Rupiah

Katadata.co.id; 27 Oktober 2023

Kegiatan usaha industri hulu migas memiliki peran penting terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Hal tersebut karena industri ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam perolehan dan pengeluaran devisa. Jumlah devisanya cukup besar. Dalam perkembangannya, kebutuhan devisa impor untuk migas juga relatif besar dan terus meningkat. Terkait dengan perolehan devisa, industri hulu migas memiliki rekam jejak yang sangat baik. Perolehan devisa yang dicapai paling tidak melalui dua sumber utama yaitu dari aktivitas kegiatan investasi yang sebagian merupakan penanaman modal asing (PMA) dan devisa dari hasil kegiatan ekspor minyak dan gas bumi yang telah diproduksi.

Realisasi nilai investasi hulu migas dapat dikatakan relatif besar. Sebagai gambaran, pada 2014, nilai investasi hulu migas ditargetkan US$ 26,64 miliar. Dalam beberapa tahun terakhir realisasi investasinya memang sedikit menurun, tetapi tetap pada nilai signifikan yaitu US$ 14 – 18 miliar untuk setiap tahunnya. Akumulasi realisasi nilai investasi selama 2012 – 2022 mencapai sekitar Rp 2.250 triliun.

Neraca Migas dan Nilai Tukar Rupiah

Data dan informasi yang ada menunjukkan bahwa kegiatan usaha hulu migas memiliki peran yang sangat penting pada periode awal pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Selain berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan hibah pada saat itu, industri hulu migas berkontribusi signifikan dalam perolehan devisa impor. Peran penting industri hulu migas tersebut terlihat dari porsi perolehan devisa ekspor migas. Pada 1975 dan 1976, misalnya, kontribusi nilai ekspor minyak bumi dan gas bumi masing-masing mencapai 80 % dan 78 % terhadap total nilai ekspor Indonesia. Porsi ini masih relatif signifikan sampai dengan periode Indonesia menjadi net importir minyak bumi.

Dalam perkembangannya, kondisi neraca minyak bumi Indonesia berubah signifikan. Terjadi jurang antara kemampuan produksi dan tingkat konsumsi minyak di dalam negeri. Produksi minyak bumi yang pada 1975 dan 1976 masing-masing 1,3 juta dan 1,5 juta barel per hari, turun menjadi 644 ribu barel per hari pada 2022. Sementara konsumsi minyak bumi Indonesia pada 1975 dan 1976 baru sebesar 221 ribu dan 237 ribu barel per hari, telah meningkat menjadi 1,58 juta barel per hari pada tahun kemarin.

Peningkatan konsumsi minyak Indonesia yang tidak seimbang dengan kemampuan produksi tersebut kemudian harus dipenuhi dari impor. Pada 2022, Indonesia mengimpor sekitar 104,72 juta barel minyak mentah dan 28 juta kilo liter (KL) produk. Jenis produk yang diimpor meliputi avtur, avgas, gasoline, gasoil, naphta, HOMC, fuel oil, dan MDF. Berdasarkan jenisnya, sebagian besar impor didominasi oleh gasoline (77 %) dan gasoil (19 %).

Perubahan yang terjadi pada neraca migas, terutama neraca minyak bumi telah berdampak terhadap peningkatan kebutuhan devisa impor migas yang signifikan. Nilai impor migas pada 1975 dan 1976 masing-masing US$ 4,76 miliar dan 5,67 miliar. Sementara pada 2022 nilai impor migas meningkat menjadi US$ 40,41 miliar. Peningkatan impor yang signifikan tersebut memberikan dampak terhadap defisit pada neraca perdagangan migas.

Pada 2022 neraca perdagangan migas Indonesia defisit US$ 24,40 miliar. Defisit tersebut karena nilai impor migas pada tahun lalu mencapai US$ 40,41 miliar, sementara nilai ekspor migas pada tahun yang sama hanya US$ 16,02 miliar. Defisit neraca perdagangan migas ini meningkat 83,69 % dibandingkan defisit tahun 2021 yang dilaporkan US$ 13,28 miliar. Jika tidak segera ditangani dengan baik, defisit neraca perdagangan migas dalam beberapa tahun ke depan kemungkinan semakin meningkat. Jika mengacu pada proyeksi neraca migas dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebutuhan devisa impor migas pada 2030 paling tidak mencapai sekitar US$ 100 miliar. Peningkatan kebutuhan devisa impor tersebut akibat defisit neraca minyak bumi yang diproyeksikan mencapai sekitar US$ 679 juta barel, defisit gas bumi 2 juta BBTU, dan defisit neraca LPG sekitar 4,2 juta ton.

Kebutuhan devisa impor migas akan meningkat sangat signifikan jika Indonesia tidak mampu untuk mempertahankan keberlanjutan produksi migas di dalam negeri. Dengan asumsi tidak lagi terdapat produksi dalam negeri dan tingkat konsumsi migas sesuai dengan proyeksi RUEN, kebutuhan devisa impor migas pada 2050 dapat mencapai US$ 270 miliar. Dan sebagai gambaran, kemampuan cadangan devisa Indonesia pada saat ini baru sekitar US$ 137 miliar. Data dan informasi tersebut memberikan gambaran bahwa industri hulu migas memiliki keterkaitan yang kuat terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Meskipun bukan merupakan faktor tunggal, kemampuan industri hulu migas dalam menghasilkan devisa serta kebutuhan devisa impor migas yang cukup besar, dalam tingkatan tertentu dapat menjadi faktor penentu terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.

Data dan informasi tersebut memberikan gambaran bahwa industri hulu migas memiliki keterkaitan yang kuat terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Meskipun bukan merupakan faktor tunggal, kemampuan industri hulu migas dalam menghasilkan devisa serta kebutuhan devisa impor migas yang cukup besar, dalam tingkatan tertentu dapat menjadi faktor penentu terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Korelasi yang relatif kuat antara pergerakan harga minyak bumi dan gas bumi dengan penguatan/pelemahan nilai tukar rupiah yang telah terjadi hampir dalam sepuluh tahun terakhir semakin menegaskan bahwa kegiatan usaha hulu migas memiliki peran penting dalam membantu terjadinya stabilitas nilai tukar rupiah.

Aspek Keekonomian Jadi Kunci Keberhasilan Bisnis CCS/CCUS di Indonesia

Kontan.co.id; 22 Oktober 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah masih mengkaji opsi skema monetisasi atau komersialisasi proyek penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) di Indonesia. Pengamat menilai, salah satu kunci supaya proyek ini bisa sukses ialah aspek keekonomian dan bisnis yang menarik.

Indonesia sudah memiliki modal yang kuat menjadi CCS Hub di Kawasan Regional berupa potensi penyimpanan karbon yang mencapai 400 giga ton CO2. Saat ini sudah ada 15 proyek sedang dirancang dan diperkirakan mampu menyimpan karbon sebanyak 4,31 giga ton CO2.

Founder dan Advisor ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, saat ini teknologi CCS/CCUS relatif sudah tersedia di tingkat global. Pelaku usahanya pun juga sebagian besar sama dengan pengusaha hulu migas global yakni International oil companies (IOCs).

Dia mengakui, potensi investasi CCS/CCUS di Tanah Air sangat besar. Tetapi belum tentu alokasi investasi dari para perusahaan besar otomatis masuk ke sektor ini. Pasalnya, investor akan selalu mendasarkan keputusan investasinya pada skala prioritas sesuai strategi korporasi denga parameter utamanya adalah seberapa menarik dari sisi keekonomian.

“Dalam hal penerapan CCS/CCUS di Indonesia ini isunya lebih kepada aspek atau hitung-hitungan bisnis dan keekonomian. Jika diterapkan di Indonesia bagaimana para pelaku atau investor mendapatkan pengembalian investasinya yang wajar,” kata dia kepada Kontan.co.id.

Baca Juga: Harga Listrik PLTU yang Gunakan CCS Bisa Mahal, Pemerintah Masih Kaji Opsi Terbaik

Maka itu, pada dasarnya pemerintah semestinya membuat skema pengembangan CCS/CCUS di Indonesia sama dengan menarik investasi di hulu migas.

Namun dia menilai, saat ini regulasi CCS/CCUS baru sebatas memberikan sinyal bahwa investasi pada teknologi ini bisa dianggap sebagai bagian biaya operasi perminyakan. Maka itu, masih diperlukan mekanisme kajian dan persetujuan untuk memenuhinya.

“Artinya, bagi investor, tetap masih menyisakan sinyal ketidakpastian. Mestinya, regulasi yang ada sudah bisa lebih tegas mengatur bahwa CCS/CCUS yang diterapkan di WK operasi upstream, otomatis itu adalah bagian dari operasi, dan investasinya adalah biaya operasi perminyakan tersebut,” kata dia.

Cara itu akan memberi kepastian lebih bagi investor. Misalnya saja, dengan sistem production sharing contract (PSC) cost recovery yang ada, sehingga proyek CCS/CCUS akan menjadi menarik.

Pembinaan Usaha Hulu Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Noor Arifin Muhammad menjelaskan, sejauh ini pemerintah masih menggodok skema monetisasi atau komersialisasi dalam pengembangan proyek penyimpanan karbon.

“Ini masih rancangan ya, tetapi kalau nanti jadi, arahnya akan diterapkan storage fee (biaya penyimpanan) dan carbon trading. Tetapi carbon trading ada di luar hulu dan bagaimana menghitungnya belum diputuskan,” kata dia, Selasa (10/10).

Arifin menjelaskan, jika aturan sudah rampung, maka karbon yang diinjeksi di dalam ruang penyimpanan akan dipungut biaya. Namun pihak yang menentukan dan besaran biaya belum ditetapkan, apakah pemerintah atau perusahaan sebagai pemilik Wilayah Kerja (WK).

Yang terang, dalam pelaksanaannya nanti, pemerintah akan mengacu pada PSC. “Apakah nanti dia royalti ke negara, bisa juga PSC kontrak bagi hasil. Cuma kecenderungan diskusi sepertinya royalti, tetapi belum fix,” imbuh Arifin.

Berkaca dari teori yang ada dan pengalaman di Eropa, Arifin menjelaskan, pemanfaatan CCS akan ramai diminati ketika suatu negara menetapkan biaya pajak karbon yang tinggi. Jadi badan usaha lebih memilih untuk menyimpan karbonnya, ketimbang membayar pajak yang mahal.

Dia bilang, penetapan pajak karbon ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas perpajakan alias Kementerian Keuangan.

“Nantinya potensi keuntungan bagi negara akan tergantung pada pajak karbon, biaya penyimpanan (storage fee), dan perdagangan karbon. Oleh negara itu selalu dipesankan kepentingan negara nomor satu,” imbuhnya.

Baca Juga: Kebutuhan Investasi Naik Karena Perubahan Iklim, Pemerintah Perlu Pasang Kuda-Kuda

Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf menjelaskan, masih banyak proyek-proyek CCS maupun CCUS yang sedang dalam tahap studi dan uji coba.

Dari sisi manajemen operasional, SKK Migas sedang menyusun pedoman prosedur CCS/CCUS untuk penerapan yang terintegrasi dengan lapangan migas, plan of development (PoD), dan manajemen karbon.

“Indonesia memiliki banyak lapangan tua yang berpotensi menjadi lokasi penyimpanan karbon,” ujar dia.

Nanang menegaskan, potensi yang menjanjikan ini hanya bisa dilaksanakan dengan aksi konkret dan membutuhkan dukungan dari semua stakeholders di industri migas.

RI Diwanti-wanti Serius Antisipasi Kenaikan Harga BBM Imbas Perang Hamas-Israel

IDXChannel; 17 Oktober 2023

IDXChannel – Pemerintah diminta mewaspadai perang Hamas-Israel yang nantinya diperkirakan akan berdampak terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, hal ini bisa saja terjadi karena minyak merupakan komoditas di pasar terbuka.

“Artinya kalau satu kawasan naik, ya juga akan berpengaruh ke semua kawasan ikut naik ya. Dampaknya nanti ke pengadaan harga BBM jadi lebih mahal. Nah ini yang saya kira perlu diantisipasi oleh pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (17/10/2023).

Komaidi menilai, apabila terjadi perang di kawasan Timur Tengah, maka akan memicu ekspektasi negatif dari pelaku pasar. Hal ini terlepas dari dukungan Amerika Serikat (AS) terhadap Israel.

“Relevansinya mungkin ada atau tidaknya dukungan ke sana yang namanya perang di kawasan Timur Tengah, maka fundamental yang berpengaruh besar terhadap pergerakan harga minyak,” imbuhnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah menekankan bahwa kondisi dunia sedang tidak baik-baik saja dengan memanasnya konflik antara Hamas dan Israel.

Kepala Negara pun menyebut Indonesia bisa terdampak oleh tegangnya geopolitik di kawasan Timur Tengah itu.

Hal ini dikarenakan konflik yang berlangsung antara kedua kubu itu bisa berdampak terhadap harga BBM dunia dan tentunya bisa merembet ke kenaikan harga BBM Indonesia baik yang subsidi maupun yang non-subsidi.

“Saya tidak ingin menakut-nakuti, tapi bisa kejadian, kalau perang enggak selesai, harga BBM global pasti akan naik. Harga energi ini bisa naik gara-gara perang Palestina-Israel, harga energi tuh artinya bensin, Pertamax, Pertalite,” ujar di Jakarta, Minggu (15/10/2023) lalu.

Waspadai Lonjakan Harga Minyak Efek Perang Israel-Hamas

Kontan.co.id; 18 Oktober 2023

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah perlu mewaspadai lonjakan harga minyak global efek ketegangan geopolitik di Timur Tengah, yakni perang antara Israel dan Hamas.

Belum lagi, harga minyak mentah berjangka brent yang saat ini, Rabu (18/10) menguat US$ 1,75 atau 2% menjadi US$ 91,65 per barel.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dengan berbagai kondisi tersebut maka anggaran subsidi maupun kompensasi pada tahun ini berpotensi jebol atau akan lebih besar dari yang dianggarkan.

“Semua faktor pendorongnya menuju ke arah sana ya baik dari komponen harga minyaknya juga cenderung berada pada level yang tinggi. Kemudian, nilai tukar Rupiah juga stabil ditingkat yang lebih tinggi, belum ada tanda-tanda penguatan signifikan,” ujar Komaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (18/10).

Dirinya juga melihat ada peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) mengingat pada saat ini masih dalam tahap pemulihan menuju endemi.

“Artinya semua faktor yang ada mendorong untuk melampaui kuota maupun nilai subsidi yang ditetapkan,” katanya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan antisipasi dalam merespons potensi faktor non fundamental dari pergerakan harga minyak dalam beberapa waktu terakhir. Utamanya akibat konflik geopolitik Timur Tengah yang membuat volume minyak di pasar global digunakan untuk kegiatan perang tersebut.

“Ini yang perlu diantisipasi oleh pemerintah mengingat nanti juga konsekuensinya kan ke anggaran subsidi. Jadi harus diantisipasi berbagai kemungkinannya,” terang Komaidi.

Menurutnya, pada saat pelaku pasar berekspektasi dengan kondisi perekonomian yang tidak baik, maka biasanya akan terjadi pembelian secara berlebihan yang ujungnya juga akan mengerek harga minyak ke level yang tidak wajar.

“Biasanya akan cenderung terjadi pembelian secara berlebihan, mungkin untuk mengamankan pasokan dan lain-lain karena terjadinya perang,” pungkasnya.

Catatan Implementasi Pengembangan Infrastruktur Gas Bumi

CNBCIndonesia; 12 Oktober 2023

Gas bumi diyakini dan diprediksi memainkan peranan penting dalam transisi energi, baik di tingkat global maupun untuk transisi energi di Indonesia. Peranan penting itu adalah sebagai jembatan dan sekaligus salah satu komponen utama yang keberadaannya vital.

Di tingkat global, merujuk BP Statistical Review 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer saat ini adalah sekitar 24% dan diproyeksi terus meningkat. Konsumsi gas bumi global selama sepuluh tahun terakhir tercatat meningkat sekitar 1,78% per tahun.

Di tingkat nasional, pada tahun 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer mencapai kisaran 15,96%. Proporsi tersebut diproyeksi terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah memroyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi terbarukan.

Ketersediaan infrastruktur yang mampu menyalurkan gas bumi dari sumber pasokannya hingga termanfaatkan di titik-titik pengguna akhirnya dengan jangkauan konektivitas dan kapasitas yang memadai merupakan kunci bagi percepatan peningkatan pemanfaatan gas bumi di tanah air.

Dalam konteks Indonesia, di mana secara geografis baik sumber pasokan maupun pengguna gas bumi yang ada lokasinya tersebar – dan tidak selalu merata – di dalam pulau-pulau yang membentang dari NAD di bagian barat hingga Papua di bagian timur, maka infrastruktur yang diperlukan tidak hanya berupa jaringan pipa transmisi dan distribusi, tetapi juga meliputi infrastruktur LNG yang dapat berupa kilang, fasilitas pengisian, penyimpanan dan terminal regasifikasinya.

Kebijakan Makro

Terkait dengan ini, di tingkat kebijakan makro, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menetapkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor Nomor 10.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang RIJTDGBN tahun 2022-2031 yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2023 yang lalu.

Dalam Kepmen ESDM tentang RIJTDGBN tahun 2022-2031 tersebut, secara geografis Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) terbagi ke dalam 6 region yaitu Region I : Aceh dan Sumatera Bagian Utara; Region II : Kepulauan Riau, Sumatera Bagian Tengah dan Selatan dan Jawa Bagian Barat; Region III : Jawa Bagian Tengah; Region IV : Jawa Bagian Timur; Region V : Kalimantan dan Bali; Region VI : Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Dalam jangka menengah, pemerintah menggariskan kebijakan bahwa selama kurun waktu 2020 sampai dengan 2024 pembangunan infrastruktur pipa transmisi-distribusi gas bumi ditargetkan akan bertambah sebanyak 2.000 km dengan proyeksi akumulasi panjang pipa di tahun 2024 mencapai 17.300 km.

Sebagian besar dari target ini direncanakan berada di wilayah Indonesia bagian barat, yang kurang lebih mencakup Region I hingga Region IV. Sementara itu, untuk wilayah Indonesia bagian Timur (Region IV hingga Region VI), pembangunan infrastruktur gas lebih difokuskan pada pembangunan fasilitas LNG berupa kilang, pengisian-penyimpanan, dan regasifikasi.

Dari perspektif makro, garis kebijakan yang telah disusun dan ditetapkan pemerintah pada dasarnya dapat dikatakan telah cukup jelas di dalam mengidentifikasi dan memetakan kebutuhan infrastruktur yang selama ini menjadi isu utama di dalam pengembangan pemanfaatan gas di tanah air.

Rencana makro infrastruktur yang ada tersebut, jika terealisasikan dengan baik, selain akan lebih mendorong pengembangan lapangan-lapangan gas yang ada, juga akan dapat lebih menyeimbangkan neraca kebutuhan-pasokan gas antar wilayah yang selama ini tidak cukup berimbang.

Di tingkat implementasinya, beberapa rencana strategis pengembangan infrastruktur, baik yang akan dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun yang sudah sekaligus merupakan rencana strategis dan program kerja dari BUMN terkait, seperti halnya Pertamina (khususnya subholding gas, PGN) dan PLN, jika dicermati, pada dasarnya secara umum juga telah sejalan dengan garis kebijakan makro yang ada.

Pada tingkatan yang lebih operasional, namun demikian, dan dalam konteks untuk dapat lebih mempercepat implementasi kebijakan yang ada, tetap diperlukan setidaknya tiga hal pokok berikut, yaitu konsistensi, sinkronisasi, dan intervensi proporsional atas kebijakan tersebut.

Konsistensi Kebijakan

Konsistensi kebijakan sangat diperlukan, terutama di dalam hal bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif pada seluruh mata rantai penyediaan gas bumi. Hal ini mencakup bagaimana memberikan sinyal yang positif bagi para pelaku ekonomi untuk: 1) mendorong investasi eksplorasi-produksi lapangan gas di sisi hulu, 2) melakukan investasi di dalam ekspansi dan pembangunan infrastruktur penyaluran gas di sisi midtream, 3) meningkatkan pemanfaatan gas di tingkat pengguna akhir.

Instrumen kebijakan yang diperlukan dalam hal ini adalah kebijakan harga yang tepat, yang didasarkan atas prinsip dan kaidah keekonomian. Harga, di setiap segmen mata rantai penyediaan gas, haruslah sesuai dengan nilai keekonomiannya dan memberikan sinyal adanya (jaminan) pengembalian investasi atau maksimalisasi pemanfaatannya yang menarik.

Kebijakan insentif dan disinsentif, dalam konteks ini, semestinya diterapkan secara langsung-tertutup kepada yang ditargetkan (baik produsen maupun konsumen), dan tidak diterapkan di dalam bentuk intervensi atau pengaturan secara langsung terhadap level harga yang diberlakukan.

Dalam kaitan dengan ini, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri, misalnya, sebaiknya dievaluasi untuk diarahkan menjadi kebijakan insentif fiskal langsung-tertaget untuk sektor industri.

Sinkronisasi Rencana Program

Sinkronisasi diperlukan terutama untuk menyelaraskan berbagai konsep, rencana, dan program yang ada dan tersebar di berbagai institusi perumus maupun pelaksana kebijakan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sinkronisasi atas Rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan dengan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN).

Sinkronisasi juga diperlukan misalnya di dalam rencana dan program gasifikasi pembangkit listrik PLN untuk dapat selaras dengan rencana dan program pembangunan infrastruktur penyediaan dan penyaluran gasnya. Sinyal utama yang hendak dicapai dari sinkronisasi dalam konteks ini adalah kejelasan (kepastian) tentang pasar.

Bagi pelaku usaha di segmen hulu dan midstream, hal itu akan memberikan gambaran dan kepastian lebih jelas tentang permintaan gas. Bagi konsumen gas dan juga bagi pelaku usaha di midstream, hal itu sekaligus juga akan memberikan gambaran dan kepastian tentang pasokan Kejelasan dan kepastian tentang pasokan dan sekaligus permintaan ini dapat dikatakan merupakan kunci bagi para pelaku usaha di midstream dalam pengambilan keputusan dan eksekusi investasinya.

Kecepatan perluasan dan pengembangan infrastruktur gas, di dalam konteks ini, dengan demikian, ditentukan oleh sinkronisasi rencana program yang ada dan sinyal kepastian terkait pasokan-permintaan tersebut.

Intervensi Proporsional

Intervensi secara proporsional, seringkali diperlukan karena merupakan konsekuensi logis – yang tak terhindarkan dan (semestinya) harus dilakukan – dari adanya suatu pilihan kebijakan. Dari sudut pandang teori ekonomi, intervensi secara proporsional (dari pemerintah) diperlukan pada dasarnya untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) untuk membuat mekanisme pasar dapat bekerja.

Pada tingkatan praktikal, sebagai misal di dalam implementasi kebijakan yang memerlukan investasi dari pelaku usaha, ketika investasi (mekanisme pasar) itu tidak dapat berjalan secara mandiri karena adanya gap (harga) antara willingness to sell di sisi produsen dan willingness to buy di sisi konsumen, di situlah letak intervensi proporsional dari pemerintah diharapkan hadir.

Penugasan kepada badan usaha, PLN misalnya dalam konteks ini, untuk melakukan gasifikasi pembangkit listrik – dari pembangkit listrik batubara misalnya – tentu perlu dibarengi dengan “intervensi” berupa jaminan fiskal (kompensasi) di dalam menanggung selisih biaya produksi yang dikeluarkan. Hal yang serupa juga semestinya berlaku pada penugasan kepada PGN untuk melakukan perluasan jaringan pipa gas perkotaan untuk rumah tangga.

Mengingat, di dalam keduanya, sebenarnya terdapat opportunity cost yang harus ditanggung oleh badan usaha di dalam pilihan mereka untuk mengalokasikan sumberdaya dan modal yang dimilikinya.

Pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas adalah salah satu bentuk intervensi proporsional yang secara relatif lebih tepat – dibandingkan penerapan kebijakan HGBT – di dalam konteks untuk lebih mendorong pemanfaatan gas dan memberi dukungan daya saing sektor industri.

Ketiga hal di atas itulah yang semestinya ada di dalam upaya percepatan pengembangan dan pembangunan infrastruktur penyediaan gas bumi di tanah air.

Pelaksanaan atas ketiganya tidak hanya sekadar akan melengkapi garis kebijakan makro dan beragam rencana program strategis yang telah ada, namun akan menjadi faktor yang memungkinkan (enabling factor) kebijakan dan rencana program strategis pengembangan infrastruktur gas bumi di tanah air dapat benar-benar berjalan dan terealisasi dengan baik.

Kurangi Beban Subsidi, Jaringan Gas Rumah Tangga Didorong

Kompas.co.id; 12 Oktober 2023

JAKARTA, KOMPAS — Subsidi gas elpiji 3 kilogram terus membengkak, pemerintah dorong pengalihan ke jaringan gas rumah tangga. Selain itu, pengalihan subsidi berbasis penerima masih dipersiapkan.

Presiden Joko Widodo memimpin rapat tertutup terkait jaringan gas rumah tangga dan pendistribusian LPG tabung 3 kilogram di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Hadir dalam rapat yang dimulai pukul 14.00 ini, Wakil Presiden Ma’ruf Amin serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.

Dalam rapat dibahas mengenai beban fiskal dari subsidi LPG yang meningkat. Tahun 2023 ini, subsidi LPG 3 kilogram dialokasikan sebesar Rp 117,85 triliun untuk sekitar 8 juta metrik ton gas elpiji. Setahun sebelumnya, subsidi diberikan untuk 7,8 juta metrik ton.

Tahun 2021, sebanyak 7,46 juta metrik ton yang dialokasikan untuk gas tabung 3 kg. Tahun 2020 alokasinya 7,14 juta metrik ton dan 2019 sebanyak 6,84 juta metrik ton.

Kenaikan subsidi gas ini berbanding terbalik dengan gas LPG nonsubsidi yang biasa dijual pada tabung 12 kg dan 50 kg. Jika pada 2019 alokasi gas non-PSO ini masih 0,66 juta metrik ton, tahun 2020 menurun menjadi 0,62 juta metrik ton. Adapun pada 2021, angka ini menurun lagi menjadi 0,6 juta metrik ton dan tahun lalu hanya 0,46 juta metrik ton.

Untuk mengatasi beban fiskal ini, kata Airlangga, solusi pertama adalah memperluas jaringan gas rumah tangga. Namun, kenyataannya kemajuan pemasangan jaringan gas rumah tangga sangat lambat. Target memasang 4 juta sambungan jaringan gas rumah tangga atau jargas pada tahun 2024 juga diyakini gagal.

Sampai saat ini, baru sekitar 835.000 rumah tangga yang mendapatkan saluran jargas. Dari jumlah itu, sebanyak 241.000 jargas didanai PGN, sedangkan 594.000 jargas lainnya dari pemerintah.

”Jadi, dari 835.000 sambungan, sekarang diharapkan bisa ditingkatkan menjadi 2,5 juta (sambungan jargas), tetapi yang kerja nanti pihak swasta, pihak ketiga,” kata Airlangga seusai rapat.

Sejauh ini, penyediaan jaringan gas untuk rumah tangga diatur Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil. Dalam aturan ini, penyediaan dan pendistribusian jargas dilaksanakan pemerintah pusat dan badan usaha. Adapun pemerintah pusat yang dimaksud adalah menteri dan BUMN.

Perpres ini, kata Airlangga, akan diubah. Dengan demikian, pihak swasta bisa mengembangkan jaringan gas rumah tangga melalui skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Adapun penanggung jawab pengerjaan ini tetap dari Kementerian ESDM.

Harga gas di sisi hulu juga akan diatur, khususnya pada sektor swasta. Untuk itu, SKK Migas akan ditugasi untuk mendistribusikan gas di harga 4,72 dollar AS per MMBTU untuk penyaluran pipa jargas.

Presiden Jokowi, lanjut Airlangga, meminta supaya ada penghitungan agar lapangan-lapangan LPG atau lapangan yang berpotensi memproduksi LPG supaya kebijakan jargas lebih lancar.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menambahkan, untuk merealisasikan pengembangan jargas, produsen-produsen pipa dalam negeri juga disiapkan. ”Tugas saya hanya mempersiapkan bahwa pipa-pipa yang akan dipakai jargas itu sepenuhnya buatan dalam negeri,” ujarnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, pengembangan jaringan gas semestinya tetap diintervensi pemerintah. Sebab, pengerjaan jargas biasanya tidak sesuai dengan skala keekonomian. Pengerjaan instalasi dan perpipaan jargas untuk pelanggan satu kabupaten sangat banyak, tetapi jumlah volume gas yang digunakan mungkin setara dengan konsumsi gas satu industri saja. Apalagi, harga jual gas dalam jargas juga ditetapkan murah.

Karena itu, biasanya pembangunan jargas diintervensi pemerintah. Selain ini adalah kebijakan publik yang disiapkan pemerintah, Indonesia juga memiliki PGN dan Pertamina Gas yang berpengalaman serta keahlian.

Jargas, lanjut Komaidi, bisa dikatakan solusi untuk mengurangi terus membengkaknya subsidi gas LPG 3 kg. Namun, tentu hal ini tak akan berjalan apabila mekanisme ini diserahkan kepada swasta. ”Jadi, intervensi pemerintah tetap diperlukan, subsidi bisa di-shifting ke jargas atau subsidi bisa untuk membangun jargas,” katanya.

Jargas juga dinilai bisa menghemat subsidi LPG sampai 40 persen. Karena itu, semestinya kebijakan ini tidak maju mundur. Justru, ketika kebijakan tak lancar, prasangka bisa muncul seperti ketakutan tak ada keuntungan ”fee” dari impor gas atau kesulitan untuk ”memainkan” gas dalam jaringan.

Sementara itu, LPG tabung 3 kg di beberapa wilayah seperti di Sulawesi mulai langka.

Awal Oktober ini, misalnya, LPG 3 kilogram langka di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, seperti Makassar, Maros, Kabupaten Gowa. Keluhan sama terjadi pada Juli lalu. Akibatnya, kalaupun ada, elpiji 3 kilogram dijual dengan harga lebih mahal, yakni Rp 30.000

Menteri ESDM Arifin Tasruf menyebut, kelangkaan ini akibat ada sasaran yang tidak tepat dalam penyaluran LPG bersubsidi ini. ”Berarti bocor. Bocor ke mana-mana berarti. Alokasinya ini, kok, sesuai (dengan) apa yang dianggarin,” tuturnya kepada wartawan seusai rapat.

Penyaluran LPG 3 kg bersubsidi ini, menurut Airlangga, dinilai terlalu panjang rantai pasoknya. Karena itu, Presiden Jokowi meminta ada evaluasi supaya jalur distribusi bisa diperpendek.

Selain itu, kata Arifin, perubahan model penyaluran LPG bersubsidi juga disiapkan supaya berbasis penerima. Sejauh ini, pendaftaran penerima LPG bersubdisi masih dikerjakan. ”Ya, itu sudah dalam proses. Kan, sudah mulai didaftarkan untuk digitalnya. Ya, begitu (data) udah lengkap, jalan. Supaya tepat sasaran,” ujar Arifin.

Ditargetkan sebanyak 60 jutaan penerima LPG bersubsidi bisa didata.

Harga Gas Harus Mampu Jaga Keberlanjutan Seluruh Mata Rantai Bisnis Gas

Kompas.com; 6 Oktober 2023

JAKARTA, KOMPAS.com – Kebijakan terkait harga gas bumi diilai harus mampu menjaga keberlanjutan bisnis seluruh mata rantai bisnis gas, baik dari sisi hulu, midstream, downstream maupun konsumen akhir pengguna gas di hilir.

Sebelumnya, Kementerian ESDM menolak rencana PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk menaikkan harga gas industri non Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) senilai 6 dollar AS per Million Metric British Thermal Units (MMBTU) untuk 7 sektor industri.

Selain Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebelumnya juga berharap tak ada perubahan harga gas industri. Beberapa sektor industri yang keberatan terhadap kenaikan harga gas bumi tertentu yaitu industri pupuk, petrokimia, karet, dan etanol.

Pengamat ekonomi Komaidi Notonegoro yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan gas bumi sendiri memiliki peran penting dalam proses transisi energi menuju pemanfaatan energi baru terbarukan.

Oleh sebab itu, peran Kementerian ESDM sebagai penentu dan pengambil kebijakan utama terkait harga gas bumi nasional jadi sangat penting.

“Selama ini kebijakan pemerintah untuk menjaga harga gas bumi lebih ditujukan untuk menjaga daya saing industri pengguna gas. Padahal, daya saing industri sebetulnya ditentukan oleh banyak faktor, tidak melulu harga gas,” ujar Komaidi, melalui keterangannya, Jumat (06/10/2023).

Menurut Komaidi, usul kenaikan harga gas industri harus mempertimbangkan banyak sisi, bukan hanya kepentingan industri pengguna. Karena, semua sektor penting untuk ekonomi nasional, masing-masing punya peran dan kontribusi sendiri.

Komaidi menilai, jika pemerintah melarang kenaikan harga gas, keekonomian proyek gas akan bermasalah lantaran penurunan produksi alias decline rate semakin besar. Sebab, penurunan produksi biasanya membutuhkan insentif agar keekonomian lapangan gas bisa bertahan.

“Industri pengguna gas sebagai konsumen tentu akan dirugikan. Namun, kebijakan pembatasan kuota ini mau tidak mau harus dilakukan lantaran badan usaha penyalur harus mengatur agar volume dan kuota yang mereka miliki cukup untuk seluruh pelanggan,” kata Komaidi.

Lebih lanjut ia mengatakan, industri pengguna gas sebagai konsumen harus dibiasakan dengan kenaikan dan penurunan harga gas bumi. Jika tidak, maka pilihan pemerintah hanya satu, yakni memberikan subsidi. Pemerintah, lanjutnya, harus sanggup membayar selisih harga jika memang harga gas tidak boleh naik.

Alasan Kementerian ESDM tolak harga gas naik

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, Medco selaku operator di Blok Corridor memang berencana mengajukan penyesuaian harga gas yang dijual ke PGN. Penyesuaian harga dilakukan Medco untuk mempertahankan tingkat produksi di Lapangan Grissik Blok Corridor.

Medco beralasan kenaikan harga dibutuhkan untuk meningkatkan produksi gas di Blok Corridor yang sudah menurun. Kebetulan per 30 September 2023 Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara Medco dengan PGN dari blok Corridor berakhir. Kondisi tersebut tentu berpengaruh pada harga gas yang akan dijual PGN.

Namun Kementerian ESDM menolak memberikan izin kepada PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN untuk menaikkan harga gas bumi mulai 1 Oktober 2023. Terlebih, kenaikan itu ditujukan untuk industri non-Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) atau industri yang tidak mendapat harga gas ‘murah’ sebesar 6 dollar AS per MMBTU. “Enggak, kita enggak mengizinkan,” ujar Tutuka Ariadji saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (29/8/2023).

Menurutnya, rencana kenaikan harga gas bumi yang sudah disampaikan PGN ke pelaku industri beberapa waktu terakhir, sebetulnya merupakan keputusan manajemen PGN sendiri. Tutuka mengatakan, pada prinsipnya pemerintah menginginkan harga gas yang ekonomis untuk pelanggan industri sehingga mendorong industri untuk semakin berkembang. Apalagi, pemerintah telah menerapkan alokasi gas yang ditujukan untuk industri. Oleh sebab itu, rencana PGN untuk menaikkan harga gas industri ditolak oleh pemerintah.

Banyak Area Migas Tak Tergarap, Ekonom: Iklim Investasi Belum Menarik

Bisnis.com; 4 Oktober 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai adanya area tak tergarap (sleeping area) dari sejumlah blok migas menunjukkan iklim investasi hulu migas di dalam negeri belum kompetitif. Menurut Pri, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) belum menaruh prioritas pada investasi hulu migas di dalam negeri.

“Kalau tidak menarik secara keekonomian, birokrasi susah, pasti mereka akan pilih yang lebih mudah yang nyaman untuk mereka investasi itu mungkin tidak ada di sini,” kata Pri, Rabu (4/10/2023). Dengan demikian, Pri berpendapat, pemerintah mesti memperbaiki iklim investasi serta perizinan dari industri hulu minyak dan gas (migas) untuk dapat menarik prioritas investasi dari KKKS terkait dengan pengembangan beberapa lapangan konsesi mereka tersebut.

Di sisi lain, dia mengatakan, pemerintah masih bergantung sepenuhnya dari realisasi investasi KKKS untuk mengembangkan lapangan migas. Artinya, kata dia, banyaknya lapangan migas yang tidak tergarap dari KKKS bakal merugikan pemerintah. “Kalau itu tidak diambil, tidak dikembangkan yang rugi kan pemerintah sendiri, itu menunjukkan pada titik tertentu ada ketergantungan dari kita untuk menggarap itu,” kata dia.

Diberitakan sebelumnya, SKK Migas meminta pengembalian sejumlah lapangan migas potensial dari beberapa blok migas eksplorasi yang dinilai tidak menjalankan komitmen pengembangan.

SKK Migas mengidentifikasi terdapat delapan blok migas atau wilayah kerja (WK) dengan lapangan yang tidak dikembangkan atau sleeping area dalam kurun waktu 2020 sampai dengan paruh pertama tahun ini.

“WK Muturi dan Wiriagar telah dilakukan rekomendasi pengembalian sleeping area di WK tersebut,” kata Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro saat dikonfirmasi, Rabu (4/10/2023).

Selain dua WK itu, SKK Migas juga tengah mengevaluasi potensi pengembalian sebagian sleeping area yang ada di WK Pertamina EP.

Sementara itu, lima WK lainnya, seperti Corridor, Selat Panjang, Kasuri, West Air Komering dan Sampang tidak direkomendasikan untuk dikembalikan setelah evaluasi yang dilakukan otoritas hulu migas.

Alasannya, kata Hudi, sejumlah sleeping area yang berada di WK itu baru mendapatkan perpanjangan dengan komitmen eksplorasi. Selain itu, beberapa lapangan, dari WK Kasuri, West Air Komering, dan Sampang belakangan mulai serius untuk mengembangkan konsesi mereka. “Sehingga sleeping area di WK tersebut belum direkomendasikan kembali,” kata dia.