Jawa Pos, 28 Mei 2010
JAKARTA – Rencana kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan roda dua dinilai tidak logis. Sebab, kebutuhan BBM untuk motor tidak sampai sepertiga dari total konsumsi BBM.
Kebijakan tersebut juga tidak layak dilaksanakan karena kendaraan roda dua bukan barang mewah. Di samping itu, motor merupakan moda angkutan kelas menengah ke bawah. Mereka memilih motor karena pertimbangan murah, hemat, dan fleksibel.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung mengungkapkan, konsumsi premium sepeda motor sekitar 5,76 juta kiloliter per tahun atau hanya 27 persen dari kuota premium subsidi yang jumlahnya 21 juta kiloliter per tahun. Sisanya, 73 persen, dikonsumsi mobil. ”Artinya, kalau mau mengontrol konsumsi premium, yang lebih signifikan itu di mobil, bukan motor. Kebijakan yang konsepnya makin tidak jelas,” tuturnya saat dihubungi kemarin (27/5).
Pengamat otomotif Soehari Sargo menambahkan, jumlah sepeda motor di Indonesia saat ini sekitar 40 juta unit. Sedangkan jumlah mobil sekitar 11 juta unit. Bila 3 juta mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc menggunakan premium, konsumsinya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan 40 juta sepeda motor yang mesinnya hanya 125 cc. ”Jadi, jangan menghitung populasinya saja,” kata Soehari kemarin.
Selain itu, pemerintah seharusnya mempertimbangkan masalah sosial. Melalui penghitungan kasar, dengan konsumsi BBM subsidi 2 liter per hari, pengendara akan mengeluarkan Rp 9.000. Namun, bila menggunakan premium pertamax dengan harga Rp 7.000 per liter, pengendara akan mengeluarkan Rp 14.000, atau Rp 5.000 lebih mahal. ”Artinya, dalam sebulan mereka harus mengeluarkan Rp 125 ribu lebih mahal (dengan asumsi 25 hari kerja),” jelasnya. Bagi kalangan menengah ke bawah, menurut Soehari, pengeluaran Rp 125 ribu per bulan itu sangat besar. ”Ini tentu akan menimbukan masalah sosial baru,” tegasnya.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono mengatakan, larangan (penggunaan) BBM bersubsidi perlu untuk menekan tingginya pertumbuhan populasi sepeda motor di tanah air. ”Pertumbuhan jumlah sepeda motor sudah cukup tinggi, sekitar 5-6 persen per tahun,” ujar Tubagus Haryono kemarin. Menurut dia, jumlah sepeda motor sudah tidak terkendali sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan penggunaan BBM bersubsidi.
Rencana pembatasan penjualan BBM bersubsidi itu muncul paling akhir dalam rapat yang dihadiri perwakilan BPH Migas, Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), serta Ditlantas Polri. ”Opsi itu (motor dilarang beli bensin premium) kan masih wacana,” katanya.
Selain opsi tersebut, dia menyatakan sejumlah opsi lain muncul dalam rapat itu. Opsi tersebut, antara lain, hanya kendaraan berpelat kuning atau kendaraan umum yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. Selain itu, mobil pribadi yang diproduksi di atas tahun 2007 dilarang menggunakan premium. ”Kan ada juga opsi lainnya. Tapi, semuanya masih dibahas dan belum diputuskan secara final,” lanjutnya.
Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi di tanah air harus dilakukan. Sebab, jika tidak dibatasi, konsumsi BBM bersubsidi akan membengkak menjadi 40,1 juta kiloliter. Sementara itu, kuota yang sudah ditetapkan dalam APBNP 2010 adalah 36,5 juta kiloliter. Konsumsi premium pada tahun ini diperkirakan meningkat menjadi 23,3 juta kiloliter dari realisasi penyaluran BBM pada 2009 sebesar 21,2 juta kiloliter.
Di tempat terpisah, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menyatakan, pihaknya tidak berwenang mengomentari hal tersebut. Namun, jika kebijakan itu benar-benar diterapkan, sebagai pelaksana, BUMN migas tersebut siap melaksanakan.