(Investor Daily: Selasa 26 Januari 2016)
JAKARTA– Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah segera memberikan kepastian soal kelanjutan pengembangan lapangan gas Abadi di Blok Masela, Laut Arafura, Provinsi Maluku. Proyek Masela ini harus secepatnya direalisasikan agar masyarakat Maluku segera menikmati manfaatnya.
Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat akan memutuskan, apakah pemanfaatan gas di Blok Masela dengan skema kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di darat (onshore) atau terapung di laut (offshore). Menurut Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends, rencana pengembangan Blok Masela ini sudah dimulai sejak 2009, namun kenyataannya semakin berlarut-larut. Hal ini justru menimbulkan gejolak di masyarakat Maluku sendiri.
“Karenanya, kami meminta pemerintah segera memberikan kepastian soal pengembangan Blok Masela. Kita butuh penyelesaian yang baik dari Kementerian ESDM, harus ada kepastian,†ujar Mercy dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM Sudirman Said, di Jakarta, Senin (25/1).
Menurut dia, pengembangan daerah Maluku juga bakal mempertimbangkan adanya Proyek Masela ini. Pimpinan daerah di lima kabupaten di Maluku yang menjadi lokasi proyek menunggu kepastian investasi Blok Masela ini guna menyusun blue print investasi daerah. Karena itu, pengembangan Blok Masela ini penting bagi masyarakat Maluku.
“Kemudian soal hilirisasi (pembangunan kilang), tolong juga libatkan Maluku. Jangan sampai Maluku jadi penonton saja,†tegas Mercy.
Mercy memahami penentuan soal skema pembangunan kilang LNG apakah di darat atau di laut (terapung) memang tidak mudah. Namun, pembahasan soal penentuan skema pembangunan kilang ini harus dibuka sejelas-jelasnya, termasuk hasil dari studi konsultan independen yang ditunjuk Kementerian ESDM.
Senada, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir mengatakan, pemerintah sebaiknya tidak terus-terusan menunda memberi keputusan soal Proyek Masela ini. Pasalnya, lamanya penundaan proyek akan berpengaruh pada biaya pengerjaannya.
“Kilang offshore kan biasanya 6-7 tahun dikerjakan., tetapi Masela kan sampai 20 tahun. Jadi biaya jadi Jebih mahal,†ujar dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, pemerintah harus segera memutuskan kelanjutan pengembangan Lapangan Abadi, Blok Masela. Sebab, penundaan akan merugikan berbagai pihak baik kontraktor maupun negara.
Jika berlarut-larut, lanjut dia, kontraktor dipastikan bakal merugi karena kontrak sewa peralatan mereka akan lebih panjang, atau bahkan mereka akan terkena penalti. Demikian pula, negara akan merugi jika proyek pengembangan tidak segera dilakukan.
“Kalau proyek digarap sekarang, kan 2016-2017 negara sudah bisa ‘ memperoleh penerimaan dari Blok Masela, tapi kalau tidak dimulai-mulai, ya penerimaan negara yang semestinya sudah bisa diperoleh juga tertunda,†ujar dia.
Mengenai skema pembangunan kilang LNG apakah di darat atau di !aut, kata Komaidi, hal itu tergantung tujuan pemerintah. Pemerintah bisa memilih di darat jika tujuannya untuk  mengembangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
“Jika tujuannya untuk mengembangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat disana,pengembangan di darat lebih tepat. Karena dengan dibangun di darat itu akan menciptakan nilai ekonomi dan memberikan multiplier effect yang besar. Ekonomi masyarakat dan industri di sekelilingnya bisa tumbuh,†papar dia.
Namun demikian, lanjut dia, pengembangan kilang di laut juga memiliki kelebihan, yakni gas alam akan lebih mudah disalurkan ke wilayah lain, seperti Jawa dan Sumatera. Sebab, tidak mungkin wilayah Maluku dan sekitarnya mampu menyerap gas alam dari Blok Masela sehingga pengiriman gas ke wilayah lain, seperti Jawa dan Sumatera, perlu dilakukan.
“Dengan dibangun di laut atau floating itu akan lebih mudah untuk penyaluran gas, karena tidak perlu membangun pipa-pipa ke Jawa atau Sumatera,†ujar dia.
Memberi Manfaat
Menteri ESDM Sudirman Said menuturkan, pihaknya berupaya sebaik mungkin agar Proyek Masela ini bisa berjalan dan memberi manfaat sebesarnya bagi Indonesia, utamanya daerah sekitar proyek. Apalagi dengan harga minyak sangat rendah seperti saat ini, pihaknya sangat berkepentingan proyek ini bisa segera jalan sebelum investornya (Inpex dan Shell) mengalihkan investasinya ke negara lain.
“Terus terang kalau ditunda, dengan harga minyak rendah, bisa jadi investor pilih investasi di tempat lain. Tetapi kami sudah meminta Inpex dan Shell untuk bersabar sebentar menunggu keputusan ini,†kata Sudirman dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, kemarin.
Saat ini, Kementerian ESDM dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sedang berdialog dengan stakeholder terkait di Saumlaki, Maluku. Dari dialog ini, menteri ESDM berharap memperoleh masukan – masukan dari masyarakat setempat, sehingga masukan yang diperoleh tepat sasaran karena dari pihak yang terlibat langsung.
“Setelah dapat masukan dari daerah, nanti presiden panggil investor, lalu dalam waktu dekat bisa diputuskan. Kami juga minta support Komisi VII supaya bisa dengan nyaman mengembangkan apa yang ada di sana,†jelas dia.
Terkait pengembangan daerah, Ianjut Sudirman, telah ditekankan dalam sidang kabinet pada akhir Desember 2015. Pemerintah sepakat Proyek Masela harus bisa bermanfaat bagi wilayah timur. Namun, pihaknya berpendapat bahwa pengembangan daerah harus sesuai dengan potensi yang ada, bukan mengandalkan migas yang akan habis pada masa mendatang.
Sudirman menyatakan pihaknya tidak ingin mengulang pengembangan Lhokseumawe yang terlalu bergantung pada proyek migas.
“Jadi, migas yang tidak sustain diambil, kemudian dipakai untukmengembangkan potensi yang ada didaerah itu,†papar dia.
Saat ini tersedia dua opsi pengembangan Blok Masela, yakni membangun kilang gas alam cair (LNG) di darat atau kilang LNG terapung. Semula pemerintah akan memutuskan pengembangan Blok Masela ini pada Oktober 2015. Namun lantaran timbul polemik mengenai pengembangan blok terse but maka diputuskan untuk mendapatkan masukan dari konsultan independen, Poten & Partners.
Pemerintah telah menyediakan dana sebesar Rp 3,8 miliar untuk membiayai konsultan dalam mengkaji Proyek Masela. Konsultan ini diharapkan bisa memberikan pertimbangan mana yang lebih baik dari dua opsi pengembangan, apakah menggunakan kilang LNG terapung atau kilang LNG di darat.
Tim counterpart pun sudah dibentuk yang akan mendampingi sekaligus mengawasi Poten & Partners dalam bekerja. Tim counterpart akan mem. bantu konsultan jika membutuhkan data atau mewawancarai orang tertentu. Hasil kajian sudah rampung dan menghasilkan rekomendasi pengembangan Blok Masela yakni kilang LNG terapung.
Berdasarkan kajian SKK Migas bersama Inpex sebagai operator Masela, dengan kapasitas tahunan kilang sebesar 7,5 metrik ton per tahun (mtpa), biaya untuk membangun kilang di darat sebesar US$ 19,3 miliar dan di laut US$14,8 miliar. Sementara, biaya operasional per tahun untuk kilang di darat diperkirakan sebesar US$ 356 juta dan di laut US$ 304 juta.
Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Sementara itu, Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yakin, pemanfaatan lapangan gas Blok Masela akan memperhatikan kepentingan daerah sekitar ladang gas khususnya, dan kawasan Indonesia Timur umumnya. Terkait masalah ini, Presiden Jokowi memberi arahan agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumher pemasukan dalam bentuk devisa. Gas juga harus dilihat sebagai sarana penggerak ekonomi, baik secara nasional maupun, terutama di daerah sekitar lokasi ladang gas.
“Saya yakin pemanfaatan ladang gas abadi Masela akan memperhatikan dampaknya pada pembangunan ekonomi kawasan Indonesia Timur, khususnya Maluku dan sekitarnya. Ia juga harus mampu memberi multiplier effect seluas luasnya, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia dan lainnya,†kata Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli dalam keterangan tertulis, Senin (25/1).
Menurut dia, perbincangan seputar Blok Masela memang nyaris tidak bisa. lepas dari hitung-hitungan biaya teknis pembangunan kilangnya. Terlebih lagi ada usaha-usaha sementara pihak yang menggiring opini, seolah-olah biaya kilang terapung (floating) lebih murah dari pada kilang darat.
“Pihak-pihak itu, dengan segala sumber daya yang dimiliki, menyatakan bahwa biaya pembangunan kilang apung ‘hanya’ US$14,8 miliar. Sementara itu, biaya untuk pembangunan kilang darat mencapai US$ 19,3 miliar,†Ianjut dia.
Namun, Rizal mempertanyakan apakah angka-angka ini valid? Faktanya, kata dia, teknologi kilang apung hingga kini belum proven. Di dunia baru satu proyek pembangunannya, yaitu kilang apung Prelude, Australia, itu pun dengan kapasitas hanya 3,6 juta ton/tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada Masela yang mencapai 7,5 juta ton/tahun.
“Mereka berusaha menimbulkan kesan biaya pembangunan kilang apung lebih murah dari yang sebenarnya. Sebaliknya, pembuatan kilang darat dibuat seolah-olah Iebih mahal. Caranya, pada hitung-hitungan biaya FLNG Plant, mereka mengkonversi ke dalam dolar Australia, yaitu sebesar US$ 2,65 miliar/mtpa. Sedangkan untuk onshore, mereka menggunakan denominasi dolar Amerika yang sebesar US$ 3,5 miliar/mtpa. Dengan cara ini, maka wajar jika biaya kilang darat seolah-olah menjadi lebih mahal daripada kilang apung,†jelas Rizal.
Padahal, menurut dia, dengan menggunakan asumsi biaya riil pembangunan kilang FLNG Prelude yang US$ 3,5 miliar/mtpa, maka perkiraan pembangunan floating LNG Masela mencapai US$ 22 miliar. Sebaliknya, berbekal asumsi biaya riil sejumlah kilang LNG darat yang ada (Arun, Bontang, Tangguh, dan Donggi), perkiraan biaya LNG darat Masela di Pulau Selaru (sekitar 90 km dari Blok Masela) hanya US$ 16 miliar. Jumlah ini sudah termasuk biaya pembangunan jalur pipa ke darat.
Bicara soal biaya, lanjut dia, satu hal yang harus disadari, bahwa pada akhirnya semua biaya tersebut akan cost recovery. Pada titik ini menjadi jelas, bahwa sejatinya semuanya tergantung pada negara, apakah ingin membangun kilang darat atau kilang apung.
†Jadi, jelas bahwa selama ini ada manipulasi atau pelintitan data, sehingga seolah-olah biaya kilang apung lebih murah dibandingkan biaya kilang darat. Manipulasi itu bersumber dari data-data yang dipasok Shell yang merupakan calon operator sekaligus vendor pembangunan kilang, jika jadi di laut,†ujar Rizal Ramli.
Padahal, kata dia, Presiden jelas jelas mengarahkan agar pemanfaatan blok gas Masela juga memperhatikan pembangunan kawasan, khususnya Maluku dan Indonesia Timur pada umumnya.
“Pemerintah sebagai pemegang amanah kekuasaan yang diberikan rakyat, tentu juga memperhatikan aspirasi rakyatnya. Pada konteks Masela, masyarakat dan tokoh-tokoh Maluku menghendaki pembangunan kilang dilakukan di darat. Pertimbangannya, mereka juga menginginkan manfaat sosial dan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya,†tambah dia.
Kilang Darat Lebih Murah
Tenaga Ahli Bidang Energi di Kemenko Maritim dan Sumber Daya Haposan Napitupulu menambahkan, ada enam alasan yang menyebabkan skenario kilang LNG darat lebih menguntungkan.
Pertama, biaya investasi dan biaya operasi yang lebih rendah daripada LNG Laut.
Mengacu kepada biaya LNG Laut di Prelude-Australia, kata dia, perkiraan biaya pembangunan skenario kilang LNG laut sekitar US$ 23-26 miliar. Sedangkan perkiraan biaya kilang LNG darat, mengacu kepada biaya pembangunan 16 kilang LNG darat yang telah terbangun di Indonesia dan 1 kilang LNG yang masih dalam tahap perencanaan kilang LNG Tangguh Train 3 diperkirakan mencapai US$ 16 miliar (termasuk biaya pembangunan jalur pipa laut US$ 1,2 miliar dan biaya pembangunan FPSO sekitar US$ 2 miliar).
“Sehingga, secara keekonomian skenario LNG Laut lebih mahal, yang akan berakibat tingginya cost recovery atau semakin berkurangnya pendapatan bagian,†kata Haposan dalam keterangan tertulis, kemarin.
Kedua, produksi gas yang dialirkan ke darat dapat diproses sebagai LNG dan sekaligus bahan baku untuk industri petrokimia (yang tidak akan terjadi jika dipilih LNG Laut).
pulau di sekitar Maluku dan NTT untuk pemenuhan kebutuhan energi dengan menggunakan small carrier yang tidak dapat dilakukan jika kilang LNG dibangun di laut.
Keempat, harga jual produksi gas lapangan Abadi tidak seluruhnya terpengaruh oleh fluktuasi harga minyak dunia, sebab gas yang dipakai untuk industri petrokimia dijual dengan harga tetap dengan eskalasi tahunan.
Kelima, ketika harga crude mencapai kurang dari US$ 30 per barel seperti saat ini, skenario kilang LNG laut akan menyebabkan hampir seluruh pendapatan negara tersedot untuk membayar cost recovery. Sedangkan dengan skenario kilang LNG darat, yang sebagian gas untuk petrokimia yang harga jual gasnya tidak diikat dengan harga crude, akan tetap memberikan pendapatan yang stabil.
“Keenam, skenario LNG Darat dikombinasikan dengan industri petrokimia, akan memberikan nilai tambah dan penyediaan lapangan kerja yang jauh lebih tinggi daripada skenario LNG Laut. Berdasarkan pengalaman di Australia, sebanyak 7.000 lebih tenaga kerja akan sia-sia bila skenario yang dipilih adalah LNG Laut,†jelas dia.