Friday, December 6, 2024
HomeReforminer di Media2016Tahun Sibuk Merangsang Investasi Hulu Migas yang Terpuruk

Tahun Sibuk Merangsang Investasi Hulu Migas yang Terpuruk

(CNNIndonesia, 29 Desember 2016)

Jakarta,CNN Indonesia— Sektor hulu minyak dan gas bumi dirundung awan kelam sepanjang tahun 2016. Harga minyak mentah yang tak kunjung membaik membuat investasi di sektor hulu migas menjadi tak karuan.

Mengutip data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas pada tahun ini ditargetkan sebesar US$12,01 miliar, atau jauh lebih kecil dibanding realisasi tahun sebelumnya sebesar US$15,9 miliar.

Sayangnya, kondisi ini muncul di tengah keinginan Indonesia untuk memperbaiki cadangan migas. Karena jika tidak diperbaiki, maka lifting migas Indonesia bisa terus melandai.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi memprediksi, lifting minyak di tahun 2020 akan mencapai sebesar 480 ribu barel per hari hingga 550 ribu barel per hari jika tidak ditemukan cadangan besar. Apalagi, tidak ada rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) Wilayah Kerja (WK) migas yang signifikan di dalam kurun waktu tersebut.

“Saat ini harga minyak US$40 per barel hingga US$50 per barel, sehingga yang ada malah pengurangan kegiatan migas. Hal itu berdampak pada penurunan laju produksi lapangan existing yang bisa sangat dalam,” jelas Amien di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, beberapa waktu lalu.

Ia menuturkan, rata-rata penurunan cadangan minyak alami lapangan migas (natural declining rate) terbilang sebesar 19 persen hingga 20 persen per tahun. Karena lapangan migas Indonesia adalah lapangan tua, sehingga perlu dilakukan perawatan terus menerus agar produksinya tetap terjaga.

Sementara itu, terdapat pula 35 WK migas yang masa kontrak bagi hasil produksinya (Production Sharing Contract/PSC) habis hingga tahun 2026. Amien beralasan, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang lama pasti akan mengurangi investasinya selama masa transisi WK ke operator yang baru.

Intinya, Indonesia tidak boleh bergantung lagi pada lapangan-lapangan produksi yang sudah ada dan harus bergerak untuk mencari cadangan baru jika ingin produksi minyak tetap mengalir. Selain itu, eksplorasi migas di Indonesia saat ini harus beralih ke laut dalam mengingat cadangan onshore sudah jarang ditemukan. Namun, eksplorasi cadangan laut dalam tentu memakan biaya yang besar.

President Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengungkapkan, harga minyak yang tengah rontok tentu menjadi disinsentif investasi. Alasannya, harga minyak yang rendah membuat tingkat keekonomian sebuah lapangan migas menjadi tidak menarik.

Namun, pergolakan eksternal itu seharusnya disesuaikan dengan paket regulasi pemerintah terkait sektor migas (fiscal regime). Kebijakan pemerintah disebut sebagai tumpuan utama dalam menggairahkan investasi migas.

Sayangnya, ia menganggap fiscal regime di Indonesia belum bisa mengakomodasi investasi migas. Adapun, perubahan fiscal regime yang dilakukan pemerintah beberapa waktu terakhir malah dianggap menimbulkan perubahan prediksi nilai keekonomian lapangan migas (predictability).

Salah satu kebijakan tersebut, jelas Christina, adalah hilangnya pembebasan pajak-pajak dan retribusi atas barang-barang operasional hulu migas (assume and discharged) yang dimuat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010.

“Padahal di tengah penurunan harga minyak, kini masing-masing negara berlomba menawarkan fiscal terms yang menarik. Kalau Indonesia tak melakukan perbaikan, maka investor akan mengalihkan perhatiannya dari Indonesia,” ujarnya.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas, Taslim Yunus menyebut Indonesia terlalu jual mahal di dalam investasi hulu migas. Pasalnya, regulasi yang ditawarkan Indonesia tak sebanding dengan kondisi geologisnya.

Ia menyebut, kondisi geologi Indonesia kini tidak lagi menyimpan cadangan-cadangan besar. Sehingga, tak jarang jika ini diiringi dengan kegagalan beberapa eksplorasi migas. Maka dari itu, banyak investor memalingkan muka dari Indonesia untuk mencari lokasi baru untuk berinvestasi.

Hal itu, lanjutnya, bisa terlihat dari peringkat kemudahan investasi migas menurut Survei Fraser Institute Global Petroleum, di mana Indonesia menduduki peringkat ke-79 dari 96 negara. Ini berbanding terbalik dibandingkan dekade 1990-an, di mana Indonesia selalu menduduki 10 besar peringkat Fraser Institute.

“Memang, kalau kondisi geologi tidak bagus, Indonesia bisa mengubah fiscal regime dengan menarik. Karena secara geologis tidak menarik, maka Indonesia jangan jual mahal dalam menawarkan investasinya,” jelas Taslim.

Melengkapi ucapan Taslim, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebut berbagai jenis peraturan yang menjadi disinsentif bagi investor.

Yang pertama, adalah sistem bagi hasil (split) produksi migas yang tidak fleksibel dengan kondisi eksternal saat ini, khususnya fluktuasi harga minyak dunia. Padahal, tingkat keekonomian proyek migas sangat bergantung dengan pergerakan harga minyak.

Sebagai informasi, saat ini bagian produksi minyak pemerintah tercatat sebesar 85 persen sesuai kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC). Bagi hasil ini dipatok tetap sepanjang tahun tanpa dipengaruhi asumsi eksternal apapun.

Selain itu, ia mengatakan pelaku usaha sangat terbebani dengan PP Nomor 79 Tahun 2010 yang mengatur cost recovery.

Di dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa biaya eksplorasi ditanggung sepenuhnya oleh investor dan akan diganti pemerintah melalui cost recovery jika eksplorasinya berhasil. Namun jika cadangan tak ditemukan, maka pemerintah tidak mau mengganti biaya-biaya tersebut.

“Kalau seperti ini apa investor semakin tidak malas berinvestasi? Apakah benar, investor bisa ditarik pungutan pajak dan beban-beban lain di saat eksplorasi? Padahal produksinya saja belum keluar,” jelas Komaidi.

Menyadari bahwa investasi hulu migas tengah dirundung lesu, pemerintah mungkin ingin menjadikan tahun 2016 sebagai masa-masa introspeksi. Banyak usulan kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk membangkitkan investasi hulu migas di tahun ini.

Berbenah Diri

Pertengahan tahun lalu, pemerintah mulai mengubah formulasi minyak mentah (Indonesian Crude Price/ICP) yang sebelumnya berdasarkan referensi Platts dan RIM menjadi Brent dan West Texas Intermediate (WTI). Perubahan ini dimaksudkan agar harga minyak Indonesia relevan dengan harga acuan minyak dunia.

Meski bertujuan untuk mengerek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun perubahan formulasi ini bisa meningkatkan nilai keekonomian lapangan migas. Sehingga, ini diharapkan bisa menjadi insentif pengembangan lapangan migas meski secara tak langsung.

Di samping itu, pemerintah juga memberlakukan sistem open bid split di dalam lelang 14 Wilayah Kerja (WK) konvensional di tahun ini. Skema open bid split adalah sistem bagi hasil di mana investor bisa menawar porsi bagi hasil yang sesuai dengan keekonomian KKKS.

Sebelumnya, angka bagi hasil ditentukan secara tetap (fixed) sehingga investor tidak bisa melakukan negosiasi ulang. Skema ini dianggap kurang menarik investor untuk menggarap WK di tengah kondisi eksplorasi yang juga melesu.

Sayangnya, lelang WK tersebut masih belum membuahkan hasil hingga saat ini. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan hanya beberapa WK saja yang diminati oleh calon investor. Untuk itu, pemerintah memutar otak lagi agar investasi migas giat kembali.

“Kalau tidak laku tahun ini ya kami lelang lagi tahun depan,” jelasnya.

Langkah berikutnya adalah dengan merevisi PP Nomor 79 Tahun 2010, yang selama ini dianggap momok investasi hulu migas.

Di dalam revisi beleid tersebut, pemerintah memberikan lima poin utama sebagai insentif eksplorasi yang secara garis besar terdiri dari pembebasan pajak eksplorasi, fasilitas perpajakan pada masa eksploitasi, pembebanan bersama (cost sharing) pemerintah dan KKKS dalam mengelola aset hulu migas negara, fasilitas non fiskal, dan pemberlakuan sistem sliding scale, di mana pemerintah mendapatkan bagi hasil lebih apabila terdapat windfall profit.

Namun, upaya ini masih ditanggapi sinis oleh asosiasi hulu migas. Pasalnya, poin revisi tersebut tidak mengembalikan lagi asumsi assume and discharged. Apalagi, masih belum jelas apakah kontrak lama atau kontrak baru saja yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut.

Tak berhenti di revisi PP Nomor 79 Tahun 2010, di akhir tahun ini, pemerintah juga berencana untuk mengubah rezim kontrak bagi hasil dari PSC cost recovery menjadi PSC Gross Split. Skema yang disebut belakangan, adalah sistem bagi hasil di mana split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments