(Bisnis Indonesia; Selasa 16 Februari 2016)
JAKARTA –Keputusan untuk membuat perusahaan induk BUMN di sektor minyak dan gas bumi dinilai sebagai ‘langkah mundur’ karena terjadi kemunduran dalam manajerial perusahaan.
Padahal, semangat awal membentuk badan usaha milik negara agar kegiatan usaha kian lincah.
Pengamat energi Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan, fungsi pemerintah sebagai pengawas harus dapat menjembatani kepentingan badan usaha_ agar investasi yang dilakukan oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamiria (Persero) selaras dengan rencana pembangunan gas di Tanah Air.
PGN dan Pertagas memiliki Iini bisnis yang sama yaitu gas. Selama ini sering muncul tumpang tindih kedua perusahaan itu dalam membangun infrastruktur gas. Oleh karena itu, muncul wacana untuk melakukan sinergi kedua perusahaan untuk menghindari tumpang tindih tersebut. Bahkan, muncul isu pembentukan induk perusahaan (holding) BUMN di sektor energi.
Selama ini, katanya, manajerial perusahaan terlalu mengesampingkan peran pemerintah. Badan usaha, katanya, dibiarkan menjalankan semua permasalahan secara bisnis. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya tetap BUMN yang memerlukan kehadiran pemerintah.
Sementara semangat restrukturisasi perusahaan dengan membuat unit-unit usaha menjadi cara populer untuk membuat perusahaan kian lincah. Namun, ternyata yang dipilih pemerintah saat ini adalah mengulang proses bisnis yang telah dibangun.
“Malah kembali ke masa lalu. Zaman dulu kan semua terpusat makanya dibikin anak perusahaan dengan restrukturisasi,†ujarnya, Senin (15/2).
Menurutnya, langkah pemerintah untuk membuat holding BUMN energi justru mengurangi manfaat yang diberikan.
PGN dan Pertagas, katanya, telah tumbuh dengan baik. Dengan demikian, holding bukanlah Iangkah yang tepat untuk membuat kinerja keduanya semakin baik. “Kalau dilihat dari pemerintahan sekarang untuk membuat holding, malah bikin enggak lincah.â€