KONTAN: Minggu, 03 September 2017A� 22:35 WIB
KONTAN.CO.IDÂ – Â Tengoklah angka realisasi investasi hulu migas hingga semester I 2017 yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hingga akhir Juni 2017, investasi hulu migas hanya mencapai US$ 4,8 miliar. Sementara target investasi migas yang ditetapkan pemerinrah tahun ini sebesar US$ 22,2 miliar.
Revisi aturan gross split yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 52 Tahun 2017 pun dianggap tidak akan mampu meningkatkan investasi hulu migas Indonesia yang tengah dalam kondisi kritis.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan revisi gross split saat ini memang relatif lebih baik daripada aturan mengenai gross split yang tertuang dalam Permen nomor 8 tahun 2017.
Dalam revisi aturan gross split, pemerintah memang mencoba untuk lebih fleksibel dalam menyesuaikan variabel untuk tambahan bagi hasil (split).
Namun jika dibandingkan dengan skema cost recovery, revisi gross split masih kurang menarik. “Kalau dibanding cost recovery, dari sisi cash flow tetap tidak kompetitif. Yang satu negara yang membiayai, kalau ini sepenuhnya dibiayai kontraktor.Kecepatan cash flow belum bisa bersaing,â€kata Komaidi ke KONTAN pada Minggu (3/9).
Menurut Komaidi, kontraktor kontrak kerja sama sampai saat ini masih mempertimbangkan cash flow. Sehingga skema yang paling tepat digunakan tetaplah cost recovery.
Apalagi resiko dalam skema cost recovery relatif sedikit dibanding skema gross split. Terutama dengan banyaknya masalah investasi di Indonesia yang tak kunjung selesai seperti maslaah kepastian hukum, perizinan yang kompleks, hingga masalah lahan.
Pengorbanan pemerintah untuk mengurangi bagiannya dalam bagi hasil pun dianggap tidak berhasil menarik investor ke hulu migas Indonesia. “Pemerintah berkorban, bagiannya sudah berkurang banyak, tapi belum membuat kontraktor tertarik,â€imbuh Komaidi.
Untuk itu Komaidi menyarankan agar pemerintah tidak memaksakan investor untuk menggunakan gross split. Pemerintah sebaiknya membuat investor untuk memilih skema yang tepat untuk mengelola blok-blok migas di Indonesia.
“Silahkan jalan dua-duanya, karena sebanyak apapun intensif variabel diubah, sepanjang cash flow masih jadi perhatian utama K3S, maka gross split tidak menarik. Tapi untuk pengelolaan wilayah kerja yang sudah tidak perhatikan cash flow, maka gross split lebih menarik karena lebih simple,â€jelasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pengamat Migas dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi yang mengatakan revisi gross split yang hanya menaikkan presentase untuk kontraktor tidak akan mampu menarik kontraktor mengikuti lelang SK Migas tahun ini.
“Bagi kontraktor yang sudah nyaman dengan PSC, membutuhkan waktu memperhitungkan keuntungan dalam menggunakan gross split. Mestinya, pemerintah memberikan opsi bagi kontraktor untuk memilih PSC atau gross split selama lima tahun. Setelah 5 tahun, Pemerintah baru mewajibkan penggunaan gross split,â€kata Fahmy.
Sementara itu, Indonesia Petroleum Association (IPA) masih belum mau berkomentar terkait revisi gross split tersebut. “Tunggu besok jawaban kami ya, sedang dipelajari,â€ungkap Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong.