Friday, September 20, 2024
HomeReforminer di Media2019Alihkan Subsidi BBM ke BBN

Alihkan Subsidi BBM ke BBN

Investor Daily; Kamis, 26 Desember 2019 | 12:38 WIB

JAKARTA, investor.id – Pemerintah disarankan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi subsidi ke bahan bakar nabati (BBN) agar Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor migas, menurunkan defisit neraca dagang, dan memperbaiki defisit transaksi berjalan (CAD). Subdisi untuk BBN diperlukan agar harga biodisel bisa terjangkau oleh masyarakat pengguna.

Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia memiliki pasokan bahan baku berlimpah untuk biodisel. Dengan memberi subsidi ke biodisel maka penyerapan minyak sawit mentah (CPO) untuk bahan baku biodisel akan naik, produsen sawit akan terbantu pasarnya di tengah hambatan ekspor oleh sejumlah negara atas sawit Indonesia, seperti oleh Uni Eropa.

Pengalihan subsidi itu perlu seiring program peningkatan percampuran minyak sawit dengan BBM jenis solar atau biodisel. Setelah program mandatori pencampuran 20% BBN ke dalam solar atau B20 diterapkan sejak 2016, implementasi program B30 dimulai akhir tahun ini secara bertahap, dan akan dilanjutkan dengan B40 pada 2020, serta B50 pada 2021.

1554186894Sampel minyak sawit untuk B20, B30, hingga B100. Foto ilustrasi: Investor Daily/Gora Kunjana

Saat meresmikan peluncuran implementasi B30 atau campuran 30% BBN ke dalam solar di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (23/12) pagi, Presiden Joko Widodo menyatakan, program B30 dapat menghemat devisa Rp 63 triliun. Penerapan B30 juga akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar. Implementasi B30 juga akan menimbulkan efek berganda terhadap 16,5 juta petani dan pekebun kelapa sawit. Presiden menegaskan, tahun depan akan dimulai implementasi B40 dan tahun 2021 dimulai implementasi B50

.20160801153918017Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pengalihan subsidi BBM ke BBN bisa saja dilakukan. Menurut dia, pengalihan subsidi ditujukan ke penerima langsung semacam bantuan langsung tunai (BLT), sehingga hanya yang berhak saja yang bisa membeli biodisel.

“Kalau siapa saja boleh membeli BBN subsidi maka APBN akan bocor. Yang dapat beli misalnya sopir angkutan barang, sopir angkutan penumpang,” kata Komaidi kepada Investor Daily, Senin (23/12).

Menurut dia, cara untuk mengawasinya agar tidak salah sasaran adalah bisa lewat online system, misalnya dalam satu kali transaksi ada batas maksimal pembelian. Kalau yang menjadi pemicunya adalah menaikkan devisa dan menurunkan defisit neraca dagang, Komaidi meragukan program B30 dapat berkelanjutkan. Pasalnya, kalau harga ekspor CPO sedang tinggi, otomatis produsen CPO akan memilih ekspor CPO sehingga pasokan CPO untuk biodisel berkurang.

Di sisi lain, Komaidi mengingatkan fokus pemeritah jangan hanya demi mengejar penurunan defisit neraca dagang dan CAD. “Fokusnya harus diversifikasi energi dan ramah lingkungan, sedangkan penurunan defisit neraca dagang dan CAD itu sebagai dampak dari pelaksanaan diversifikasi energi,” katanya.

Sedangkan untuk menekan impor minyak, lanjut dia, caranya adalah meningkatkan produksi (lifting) minyak di dalam negeri, selain mencari sumber energi di luar negeri seperti yang dilakukan oleh Pertamina. “Cadangan minyak kita saat ini masih ada di ratusan cekungan, tapi butuh waktu 5-6 tahun untuk bisa sampai ke tahap produksi,” ujar Komaidi.

20160519152015939Ekonom Indef Eko Listiyanto MSE. Foto: indef.or.id

Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan, pengalihan sebagian subsidi BBM ke BBN perlu, seiring semakin tergantungnya kebutuhan Indonesia pada minyak impor.

Namun demikian, Eko menyarankan langkah tersebut perlu sinergi dengan aspek kelestarian lingkungan dan kesiapan pengguna kendaraan.

Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari akademisi, mengatakan, Indonesia bisa saja menerapkan B30 hingga ke B100 karena memiliki kebun sawit sangat luas. Namun, yang masih menjadi masalah adalah prinsipal otomotif harus mendukung implementasi B30, B40, B50 hingga B100, agar kinerja mesin tetap bagus dengan menggunakan BBN.

Dia meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendesak prinsipal otomotif untuk membuat kendaraan dengan mesin yang cocok dengan B30, B40, B50 hingga B100.

1565857036Kendaraan yang digunakan untuk ujicoba B30. Foto: bpdp.orid

Selain itu, pemerintahan Jokowi juga harus mendorong penggunaan gas untuk sektor otomotif. Pemerintah harus membuat program kombinasi antara biodisel dan gas. Nantinya masyarakat tinggal pilih apakah mau pakai biodisel atau gas untuk bahan bakar kendaraannya.

Mengenai pengalihan subsidi BBM menjadi subsidi BBN, Tumiran mengatakan, sebaiknya masalah pengalihan subsidi tidak perlu dipikirkan karena di SPBU masyarakat sudah pakai Pertalite dan Pertamax.

“Kalau semua BBN sudah bercampur dengan solar, nantinya solar murni tidak akan ada lagi. Tapi Pertamina harus bagus mencampurnya,” kata Tumiran.

20190107112842273Bhima Yudhistira. Foto: IST

Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, implementasi B30 belum tentu dapat menghemat devisa sebesar Rp 63 triliun karena masih banyak kendala dari sisi user yang terbatas di sektor alat berat dan kendaraan diesel. Sementara kendala campuran sawit menimbulkan masalah pada filter mesin.

“Jadi tidak semua pengguna diesel akan beralih ke B30. Perlu adaptasi dan kesiapan bagi user,” katanya.

Mengenai dampak implementasi program B30 terhadap penurunan impor migas, defisit neraca dagang dan defisit transaksi berjalan, Bhima menegaskan bahwa hal itu perlu dilakukan riset yang lebih dalam.

Dia menilai implementasi B30 akan banyak tantangan yang sifatnya teknis baik dari sisi pasokan maupun dari sisi permintaan. Pasokan FAME (fatty acid methyl ether/FAME) untuk program mandatori biodiesel masih terbatas. Harga juga belum kompetitif.

Mengenai wacana kebijakan pengalihan subsidi BBM ke biodisel, Bhima mempertanyakan apakah nelayan dan petani yang memakai diesel siap beralih ke B20 dengan mesin yang ada saat ini.

“Saya kira tidak semudah itu karena ada pembengkakan biaya maintenance atau perawatan mesin yang akan dibebankan ke masyarakat miskin (nelayan, petani),” katanya.

20150429105942497Reza Priyambada. Foto: bloombergindonesia.tv

Senior Advisor CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, implementasi B30 secara semangat sudah cukup bagus untuk mengurangi ketergantungan terhadap migas sehingga konsumsinya bisa berkurang dan defisit neraca dagang bisa ditekan. Namun, menurut Reza, ada hal yang perlu diperhatikan. Pada saat konversi dari BBM ke gas atau ke BBN, apakah mesin bisa menerima atau adaptasi? “Apabila ada, apakah akan menggunakan konverter atau bagaimana? Dan, apakah ada biaya tambahan untuk menggunakan BBN tersebut,” jelas Reza.

Kalau soal pemberian subsidi, kata Reza, sebenarnya yang paling krusial adalah pengawasannya, bukan soal teknis pemberiannya. Kementerian Keuangan mencatat realisasi subsidi energi hanya Rp 123,6 triliun atau 77,2% dari pagu yang dipatok sebesar Rp 160 triliun, atau lebih rendah 5,3% dari periode sama tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang di bawah asumsi, serta apresiasi nilai tukar rupiah.

Hingga 16 Desember lalu, harga ICP hanya menyentuh US$ 61,9 per barel, jauh di bawah asumsi sebesar US$ 70 per barel.

Sementara, kurs rupiah tercatat Rp 14.152 secara yearto- date (ytd), juga jauh lebih rendah dari asumsi dalam APBN 2019 yang sebesar Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS).

Sementara itu, Kementerian ESDM mencatat kuota subsidi solar yang tersalurkan hingga Oktober 2019 sebanyak 13,3 juta kiloliter (KL). Sedangkan alokasi kuota solar yang tercantum dalam APBN 2019 sebesar 14,5 juta, sehingga masih tersisa 1,2 juta KL. Namun Pertamina terpaksa menambah pasokan BBM jenis solar sebesar 20% dari konsumsi harian Januari hingga Oktober 2019 sebesar 40 ribu KL untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sebagai informasi, kuota solar bersubsidi nasional tahun ini sebanyak 14,5 juta KL, lebih kecil dibandingkan dengan 2018 sebanyak 15,62 juta KL dengan realisasi sebanyak 15,58 juta KL.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014, BBM tertentu termasuk solar bersubsidi hanya diperuntukkan bagi industri rumah tangga, usaha mikro, usaha pertanian, usaha perikanan, transportasi dan pelayanan umum, termasuk juga kendaraan pribadi dengan kapasitas mesin yang kecil

Peresmian Implementasi B30

1563177462Presiden Joko Widodo. Foto: Istimewa

Sementara itu, Presiden Joko Widodo secara resmi memulai implementasi penerapan program biodiesel 30% atau B30, Senin (23/12). Presiden menyebut bahwa dirinya memantau program implementasi B30 dari hari ke hari. Ia minta program pencampuran biodiesel dilanjutkan ke B40 pada 2020 dan B50 pada 2021. Implementasi program B30 sejatinya dimulai awal 2020, namun dipercepat menjadi akhir tahun 2019. Kepala Negara menjelaskan tiga alasan pemerintah mempecepat implementasi program biodiesel.

Pertama, program ini untuk mencari sumber-sumber energi baru terbarukan yang ramah lingkungan. Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil yang suatu saat pasti habis. Biodiesel adalah energi bersih.

Kedua, ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM, termasuk solar, cukup tinggi. Padahal, Indonesia penghasil sawit terbesar di dunia. Potensi itu harus dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Ketiga, penerapan B30 akan mendongkrak permintaan CPO. Implementasi B30 juga akan menimbulkan efek berganda terhadap 16,5 juta petani dan pekebun kelapa sawit.

Selain itu, dengan implementasi program biodiesel, Indonesia tidak akan mudah untuk ditekan oleh negara-negara lain.

Seperti diketahui, ekspor CPO Indonesia kerap menghadapi tantangan berupa kampanye negatif, misalnya dari Uni Eropa.

20190116151919732Nicke Widyawati. Foto: IST

Direktur Utama PT Per tamina (Persero) Nicke Widyawati dalam siaran persnya menyatakan, Pertamina telah melakukan langkah cepat dengan melakukan uji coba penyaluran B30 sejak November 2019 di beberapa kota besar antara lain Palembang, Sumatera Selatan, Yogyakarta, Jawa Tengah, Balikpapan, Kalimantan Timur hingga Sorong, Papua.

“Pertamina telah menyiapkan 28 TBBM (terminal bahan bakar minyak) sebagai titik simpul pencampuran B30, yang nantinya akan disalurkan ke seluruh SPBU millik Pertamina di seluruh Indonesia. Masyarakat bisa menikmati B30 melalui produk biosolar dan Dexlite,” ujar Nicke.

Nicke menjelaskan, untuk mengamankan suplai FAME sebagai bahan utama pencampuran B30, lanjut Nicke, Pertamina telah melakukan penandatanganan kerja sama pengadaan FAME dengan 18 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN) yang ditunjuk oleh Kementerian KESDM.

Menurut Nicke, program B30 ditargetkan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 14,25 juta ton C02 selama 2020. Selain itu, Program B30 juga ditargetkan bisa menyerap 1,29 juta tenaga kerja tambahan.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, rangkaian uji coba B30 telah dimulai sejak 25 November 2019. Uji coba berjalan dengan baik. Dari sisi per forma kendaraan, monitoring, dan evaluasi yang dikerjakan oleh tim teknis berjalan dengan baik.

Selama pelaksanaan program B30, diperlukan setidaknya 9,6 juta kiloliter Fatty Acid Methyl Ester (FAME) di 2020. Jumlah tersebut naik pesat dibanding kebutuhan FAME tahun 2019 sebesar 6,6 juta KL. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, dari kebutuhan B30 tahun depan sebesar 9,6 juta KL.

Pertamina mendapat kuota sekitar 8 juta KL, sisanya akan disalurkan oleh PT AKR Corporindo Tbk.

1573562110Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Presiden Joko Widodo menargetkan dalam tiga tahun ini defisit neraca perdagangan harus diselesaikan. Airlangga menuturkan, dalam tiga tahun ini pemerintah akan menggenjot produksi migas (lifting), penerapan bahan bakar B30 sampai B100, dan juga implementasi green avtur.

Kemudian, pemerintah juga bakal menggenjot produksi Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) atau Tuban Petro untuk menekan impor petrokimia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penyaluran unsur nabati (FAME) untuk Program Mandatori B20 telah berjalan baik. Hingga September lalu, serapan FAME ini mencapai 4,49 juta kiloliter (KL).

Alokasi FAME untuk biodiesel pada tahun ini ditetapkan hanya 6,2 juta KL. Namun, lantaran adanya tambahan permintaan dari badan usaha bahan bakar minyak (BBM) menyusul adanya kenaikan permintaan solar, maka alokasinya ditambah menjadi 6,6 juta KL pada Agustus lalu.

Sejak mandatori B20 dimulai pada 2016, serapan biodiesel terus naik setiap tahunnya. Pada 2017, realisasi serapan biodiesel tercatat hanya sebesar 2,57 juta KL. Pada 2018, serapan FAME untuk Program B20 tercatat naik menjadi 4,02 juta KL.

Selanjutnya di tahun ini, serapan FAME ditargetkan mencapai 6,6 juta KL. Pada 2016 hingga kuartal ketiga 2018, mandatori pencampuran biodiesel hanya diberlakukan untuk BBM jenis solar bersubsidi. Namun, mulai September tahun lalu, mandatori B20 diperluas hingga ke solar nonsubsidi baik untuk transportasi, pembangkit listrik, maupun industri.

Sementara itu, BPS mencatat neraca perdagangan November mengalami defisit sebesar US$ 1,33 miliar. Defisit migas mencapai US$ 1,02 miliar dan nonmigas sebesar US$ 300,9 juta.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments