Bisnis.com, 31 Juli 2013
JAKARTA-Kontrak baru Blok Mahakam harus memuat porsi bagi hasil (split) produksi minyak dan gas bumi (migas) yang lebih besar untuk negara dibandingkan dengan yang berlaku saat ini.
Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari ReforMiner Institute mengatakan porsi bagi hasil untuk negara harus diperbaiki dalam kontrak kerja sama baru pengembangan Blok Mahakam. Alasannya, risiko pengembangan blok itu sudah tidak lagi sebesar risiko saat perusahaan asal Perancis itu pertama kali mengembangkannya.
Paling tidak split minyak bumi dari Blok Mahakam sebesar 95%-5%, sedangkan gas sebesar 85%-15%. Ini karena secara logika risiko blok itu tidak lagi sebesar saat pertama kali dieksplorasi, katanya di Jakarta, Rabu (31/7).
Pri Agung mengungkapkan revisi split itu harus tercantum dalam kontrak kerja sama baru yang dikeluarkan pemerintah setelah 2017. Selain persoalan split, kontrak itu juga harus mengurangi insentif fiskal yang saat ini diterima Total E&P Indonesie, seperti meningkatkan domestic market obligation selama masa produksi, penghapusan investment credit, dan pembatasan cost recovery.
Sebagai balasan, kerja sama pengembangan Blok Mahakam dengan Total dilanjutkan hingga 2022 dengan menggandeng Pertamina. Dalam rentan 2017-2022 itu, Total akan tetap bertindak sebagai operator sekaligus pihak yang mengajari Pertamina dalam mengoptimalkan produksi migas di blok itu.
Bagaimana pun proses transisi sangat diperlukan, saya yakin perusahaan sekelas Exxon atau Chevron pun belum tentu langsung bisa mengoptimalkan blok yang saat ini dikelola Total, jelasnya.
Arividya Noviyanto, Vice President Human Resources, Communications and General Services Total E&P Indonesie mengatakan realisasi split produksi migas di Blok Mahakam saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan split yang diatur dalam kontrak. Hal itu disebabkan ada beberapa investasi perusahaan yang tidak dikembalikan pemerintah melalui cost recovery.
Di atas kertas split untuk minyak bumi memang 85%-15%, tetapi realisasinya ada beberapa investasi kami yang tidak dikembalikan karena terbentur aturan. Belum lagi kewajiban DMO yang mengharuskan kami menjual migas ke domestik dengan harga murah. Pada kenyataannya split saat ini sekitar 90%-10%, ungkapnya.
Meski demikian, Noviyanto mengaku akan melihat keekonomian dari pengembangan migas di Blok Mahakam sebelum menyatakan berapa split yang ideal untuk blok itu.
Sebelumnya, ketidakpastian kontrak kerja sama Blok Mahakam, Kalimantan Timur dapat mengganggu keberlanjutan pasokan gas kepada pembeli yang telah memiliki perjanjian jual beli gas (PJBG) dari blok itu.
Noviyanto mengatakan ketidakpastian perpanjangan kontrak kerja sama itu mengancam produksi gas di blok itu berdampak pada kepastian pasokan gas kepada pembeli yang telah memiliki PJBG dari Blok Mahakam.