(KOMPAS.com,16 Oktober 2016)
JAKARTA– Pemerintah diminta untuk memastikan jumlah sasaran penerima elpiji bersubsidi tabung 3 kilogram, sebelum mengubah mekanisme ditribusi menjadi distribusi tertutup.
Pendataan ulang bisa dilakukan oleh lembaga independen, karena data yang digunakan untuk berbagai program bantuan sosial saat ini berbeda-beda.
Hal tersebut mengemuka dalam sebuah diskusi, Minggu (16/10/2016), yang menghadirkan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Dito Ganinduto, Ketua Umum Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomo Hadi, serta Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.
“Kriteria penduduk miskin yang berhak mendapat ini harus fixeddulu. Yang mana ini?” kata Komaidi.
Mengacu data yang digunakan untuk pembagian paket perdana tabung melon 2006, tercatat ada 54 juta rumah tangga sasaran (RTS).
Namun, berdasarkan data Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) ada sebanyak 35 juta rumah tangga miskin. Data yang digunakan pemerintah untuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ada 15 juta RTS.
Sementara berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinsn (TNP2K) tercatat ada 26 juta rumah tangga miskin.
“Data yang berbeda-beda ini akan menyebabkan kesulitan distbusi di lapangan, karena basisnya berbeda-beda,” ujar Komaidi.
Padahal DPR dan pemerintah telah sepakat mengalokasikan Rp 20 triliun untuk subsidi elpiji 3 kilogram pada 2017.
Komaidi pun mendesak pemerintah untuk segera memverifikasi jumlah penerima elpiji bersubsidi.
Sementara anggota DPR Dito Ganinduto mengaku mekanisme distribusi tertutup tidak mudah dilakukan.
“Siapa yang berhak menerima, ini yang sekarang menjadi persoalan. Ini yang sekarang dalam proses, karena paramater yang dipakai berbeda-beda,” kata dia.
Politisi Golkar itu pun mengusulkan pemerintah melakukan pendataan ulang untuk memastikan jumlah penerima, karena anggaran subsidinya sudah disepakati Rp 20 triliun.
“Kalau pemerintah masih ragu data siapa yang dipakai, tunjuk saja perusahaan independen, bisa juga BUMN yang melakukan survei,” ujar Dito.
Adapun Ketua Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi menyebutkan, sambil menunggu verifikasi jumlah penerima, mekanisme distribusi tertutup ini bisa diujicoba di DKI Jakarta. Sebab, DKI Jakarta sudah memiliki sistem penyaluran bantuan sosial yang cukup baik seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).