Kompas,23 Agustus 2013
Jakarta, Kompas Ketergantungan impor bahan bakar minyak terus meningkat, Pemerintah harus segera menambah kapasitas atau membangun kilang minyak yang baru dan melakukan diversifikasi bahan bakar minyak ke gas dan pengembangan bahan bakar nabati secara masif.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto menyampaikan hal itu saat dihubungi kamis (22/8), di Jakarta.
Impor BBM (bahan bakar minyak) hanya bisa dikurangi dengan tiga cara, ujarnya. Pertama, menambah kapasitas atau membangun kilang BBM baru. Kedua, diversifikasi BBM ke gas dan bahan bakar nabati secara masif. Ketiga, menaikan harga BBM ketingkat keekonomian sehingga mengurangi konsumsi BBM oleh masyarakat dan mengurangi praktik-praktik penyalahgunaan dan penyeludupan BBM.
Sebelumnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo menyatakan, volume impor BBM terus meningkat seiring pertumbuhan konsumsi energi yang mencapai 8 persen per tahun. saat ini total kebutuhan BBM mencapai 1,4 juta barrel per hari, sedangkan produksi minyak nasional hanya 840.000 barrel per hari.
Adapun hasil produksi minyak mentah yang bisa diolah di kilang di dalam negeri hanya 650.000 barrel per hari. total kapasitas kilang Pertamina 1 juta barrel per hari. Untuk memenuhi kebutuhan BBM, Pemerintah melalui Pertamina mengimpor minyak mentah 350.000 barrel per hari dan produk BBM 400.000 barrel per hari. Untuk mengurangi impor BBM, sumber energi baru terbarukan dikembangkan, ujarnya.
Pembatasan BBM
Pri Agung menilai, pembatasan BBM tidak akan dapat mengurangi impor BBM. Kabijakan itu hanya akan mengalihkan konsumsi dari BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Namun, langkah ini bisa mengurangi anggaran atau beban subsidi BBM, tapi relatif tidak berdampak terhadap pengurangan impor BBM, ujarnya.
Pengurangan impor BBM juga diserukan juga oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Franky Sibarani. Dia mendesak Pemerintah menekan konsumsi BBM impor dengan mendorong penggunaan gas. Langkah ini diyakini akan cepat memberi dampak menekan defisit migas.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat berpendapat, Pemerintah perlu melakukan terobosan radikal dalam pengelolaan energi. Energi harus diutamakan untuk kepentingan nasional.
Sekitar 20 persen saja yang diekspor, selebihnya harus untuk kepentingan dalam negeri. Stasiun pengisian bahan bakar jangan lagi BBM, tetapi gas. Malaysia dan Thailand melakukan hal tersebut 20 tahun lalu, kata Ade.
Sebelumnya Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina (Persero) Hanung Budya Menyatakan, pemasangan alat kendali BBM dengan memakai teknologi di 276 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di wilayah DKI Jakarta ditargetkan tuntas pada Agustus 2013. Hal ini sebagai bagian dari program pengendalian BBM bersubsidi untuk menekan angka penyalahgunaan BBM bersubsidi.
Alat identifikasi dengan gelombang radio (radio frequency identification/RFID) ditargetkan terpasang di 150 SPBU di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek) pada akhir juli nanti. Setelah lebaran, pemasangan RFID di semua SPBU di jabodetabek ditargetkan tuntas dan berfungsi pada Agustus nanti, kata Hanung.
Sejauh ini pemasangan tanda RFID baru sebatas pada mobil dinas Pertamina serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dua pekan setelah lebaran, pemasangan tanda RFID dimaksimalkan. tahap awal, implementasi dilakukan di wilayah jawa bagian barat, Kalimantan, dan Sumatera bagian selatan.
Kami memprioritaskan penerapannya di Kalimantan karena rawan penyelewengan solar bersubsidi ke industri pertambangan. jadi, ada potensi penghematan riil, katanya. Penerapan sistem pengendalian BBM di Jawa bagian barat dinilai belum efektif karena masih ada kendaraan antar provinsi yang masuk ke Jakarta.