Liputan6.com; 15 November 2023
Liputan6.com, Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, pemanfaatan panas bumi sangat berpotensi merealisasikan target bebas emisi atau net zero emission (NZE) Indonesia. Pasalnya, jika seluruh potensi panas bumi di tanah air dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan has rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e, atau setara 58 persen target penurunan GRK sektor energi 2030 sebesar 314 juta ton CO2e.
Komaidi memaparkan, dibandingkan dengan energi baru dan energi terbarukan (EBET) lain panas bumi punya sejumlah keunggulan. Antara lain, tak tergantung cuaca, menghasilkan energi lebih besar untuk periode produksi yang sama, tak perlu lahan luas untuk proses produksi.
Kemudian, punya capacity factor yang lebih besar, prioritas untuk kepentingan domestik karena tak bisa diekspor, bebas dari risiko kenaikan harga energi fosil, dan biaya operasi pembangkitnya relatif paling murah.
“Capacity factor atau perbandingan produksi listrik dengan kemampuan produksi maksimum dari pembangkit panas bumi merupakan salah satu yang terbaik dibandingkan pembangkit berbasis EBET lainnya maupun pembangkit listrik berbasis fosil,” ujar Komaidi dikutip dari pernyataan tertulis, Rabu (15/11/2023).
“Hal tersebut terlihat dari meskipun kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) milik PLN pada tahun 2022 hanya sekitar 0,84 persen terhadap total kapasitas terpasang, produksi listrik PLTP PLN pada tahun yang sama mencapai sekitar 2,25 persen terhadap total produksi listrik PLN,” terangnya.
Meski punya banyak keunggulan, Komaidi menambahkan, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terkendala masalah keekonomian harga. Khususnya karena harga jual tenaga listrik dari panas bumi yang masih lebih tinggi dari jenis EBET lainnya.
“Untuk saat ini, harga jual tenaga listrik panas bumi juga dilaporkan lebih tinggi dibandingkan BPP (biaya pokok penyediaan) tenaga listrik nasional,” imbuh dia.
Proyek Panas Bumi Belum Kompetitif
Menurut dia, sejumlah kendala yang menyebabkan keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, antara lain, sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN sebagai pembeli tinggal, kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil, jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas.
Lalu, izin sering bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas, dan masih terdapat sejumlah izin yang harus dipenuhi meskipun izin usaha pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi telah terbit.
“Dalam jangka pendek dan menengah, BPP tenaga listrik panas bumi akan relatif sulit bersaing dengan pembangkit berbasis fosil. Sekitar 70 persen komponen biaya pembangkitan listrik panas bumi adalah biaya modal (capital cost). Sementara porsi capital cost dalam struktur biaya pembangkitan berbasis batubara, gas, dan BBM hanya 15-30 persen,” terangnya.
Harga Listrik Panas Bumi
Mengacu studi IRENA, harga listrik panas bumi di Tanah Air masih tinggi lantaran risiko pada tahap eksplorasi masih besar. Itu menyumbang sekitar 50 persen dari total risiko bisnis dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi, yang dipengaruhi informasi soal lokasi, cadangan panas bumi terbukti, dan ketersediaan data.
Dikatakan Komaidi, dalam jangka panjang seiring tren harga energi primer meningkat, BPP tenaga listrik panas bumi berpotensi lebih kompetitif atau bahkan lebih murah dibandingkan BPP tenaga listrik berbasis fosil.
Sebab, porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan berbasis batubara, gas dan BBM antara 40-74 persen. Sementara porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak sampai mencapai 1 persen.
“Data rata-rata beban usaha pembangkitan pada 2022 menegaskan, bahwa dalam jangka panjang BPP tenaga listrik panas bumi akan lebih kompetitif. Data statistik PLN menunjukan, rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit di 2022 adalah Rp 1.460,59 per kWh. Sementara beban usaha pembangkitan listrik panas bumi pada tahun yang sama dilaporkan Rp 118,74 per kWh, atau hanya 8,12 persen dari rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit,” urainya.