Kompas.id; 18 Januari 2024
Penulis:
Komaidi Notonegoro,
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute; Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Pemilihan presiden mendatang punya hubungan istimewa dengan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan.
Ini terkait posisi Indonesia yang belum lama ini memegang presidensi G20 dan pelaksana KTT G20 dengan fokus pada pembahasan transisi energi dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan (EBET).
Terkait kebijakan transisi energi, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Pencapaian target NZE itu melibatkan sejumlah sektor, termasuk sektor energi.
Pemerintah telah menetapkan peta jalan pencapaian NZE pada sektor energi. Target pada peta jalan itu, antara lain, menurunkan emisi sebesar 231,2 juta ton CO2e pada 2025, 388 juta ton CO2e pada 2035, dan 1.043,80 juta ton CO2e pada 2050.
Panas bumi memiliki peran penting dan merupakan EBET potensial untuk membantu merealisasikan target NZE sektor energi. Hal itu karena, pertama, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sangat besar (sekitar 24 GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Kedua, panas bumi merupakan satu-satunya EBET yang tidak tergantung cuaca dan satu-satunya yang dapat menjadi base load dalam sistem kelistrikan.
Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sangat besar (sekitar 24 GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil perhitungan, jika seluruh potensi panas bumi di Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e atau setara dengan 78,85 persen target penurunan GRK sektor energi pada 2025.
Jika dibandingkan jenis EBET lainnya, energi panas bumi tercatat memiliki sejumlah keunggulan. Di antaranya, tidak tergantung pada kondisi cuaca; menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama; tidak memerlukan lahan yang luas dalam proses produksinya.
Selain itu, panas bumi juga memiliki capacity factor yang lebih besar; menjadi prioritas untuk kepentingan domestik karena tidak dapat diekspor; bebas dari risiko kenaikan harga energi primer terutama energi fosil. Biaya operasi pembangkitan energi panas bumi pun relatif paling murah.
Kendala keekonomian
Meski punya sejumlah keunggulan, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terkendala masalah keekonomian proyek.
Saat ini, harga jual tenaga listrik dari energi panas bumi dilaporkan lebih tinggi dibandingkan harga jual tenaga listrik dari jenis EBET lain. Harga jual tenaga listrik panas bumi juga lebih tinggi dibandingkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik nasional.
Berdasarkan reviu, tingkat keekonomian proyek panas bumi di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata proyek panas bumi global. Rata-rata keekonomian proyek panas bumi global sudah di bawah 10 sen dollar AS/kWh. Sementara rata-rata nilai keekonomian (harga jual) listrik panas bumi di Indonesia untuk kontrak baru dilaporkan pada kisaran 10 sen dollar AS sampai dengan 13 sen dollar AS/kWh.
Beberapa studi juga menyebutkan, saat ini tingkat keekonomian proyek listrik panas bumi global telah kompetitif jika dibandingkan pembangkit listrik berbasis fosil. Itu terlihat dari indikator levelized cost of electricity (LCOE) pembangkit listrik panas bumi global yang telah berada di kisaran 0,071 dollar AS/kWh. Sementara rata-rata nilai LCOE pembangkit berbasis listrik fosil di kisaran 0,15 dollar AS/kWh.
“Perbaikan keekonomian proyek panas bumi global di antaranya karena optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi.”
Perbaikan keekonomian proyek panas bumi global di antaranya karena optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi. Ini seperti dilakukan di Selandia Baru melalui proyek Halcyon, proyek Meager Creek Development Corporation (British Columbia), dan proyek Oguni-Machi di Jepang yang mengembangkan hidrogen hijau sebagai secondary product dari industri panas bumi.
Sejumlah studi melaporkan optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi global dilakukan melalui sejumlah instrumen. Instrumen ini antara lain pemanfaatan teknologi mutakhir (drilling, well enhancement, power plant, operations), perbaikan rantai suplai, dan komersialisasi secondary product (pemanfaatan langsung, produksi hidrogen hijau, produksi metanol hijau, dan ekstraksi silika).
Secondary product dari industri panas bumi disebut memiliki nilai ekonomi dan dapat dikomersialkan seperti metanol hijau yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku kimia. Ekstraksi silika dimanfaatkan untuk industri baja dan industri kimia. Adapun hidrogen hijau dapat dimanfaatkan untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik.
Khusus untuk hidrogen, misalnya, kebutuhan Indonesia saat ini berada di kisaran 1,75 juta ton per tahun, dengan alokasi 88 persen untuk urea, 4 persen untuk amonia, dan 2 persen untuk kilang minyak.
Pengusahaan panas bumi di Indonesia sampai saat ini relatif belum kompetitif. Ini disebabkan oleh kendala pada pengembangan. Padahal, dalam jangka panjang, biaya operasi listrik panas bumi tercatat sebagai salah satu yang termurah.
Data menunjukkan, rata-rata beban usaha pembangkitan listrik panas bumi pada 2022 sebesar Rp 118,74/kWh atau hanya 8,12 persen dari rata-rata beban usaha pembangkitan semua jenis pembangkit yang dilaporkan Rp 1.460,59/kWh.
Berdasarkan reviu, keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, antara lain karena, pertama, sulitnya terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dan PLN sebagai pembeli tunggal. Kedua, kebijakan existing mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil.
Ketiga, jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas. Keempat, izin sering bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi. Kelima, risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap belum jelas. Keenam, masih ada izin-izin yang harus dipenuhi meskipun izin usaha pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi telah terbit.
Mencermati potensi yang sangat besar dan peran pentingnya dalam pencapaian target NZE, signifikansi energi panas bumi tidak terbantahkan lagi.
Oleh karena itu, ide dan gagasan terobosan kebijakan untuk pengembangan, pengusahaan, dan pemanfaatan energi panas bumi nasional dapat menjadi indikator keberpihakan calon presiden dan calon wakil presiden terhadap pengembangan EBET dan transisi energi di Indonesia.