Kompas; 27 Januari 2024
JAKARTA, KOMPAS — Sektor minyak dan gas bumi, sebagai bagian dari sumber daya energi, luput dari perbincangan dan gagasan para pasangan calon dalam Pemilhan Presiden 2024, termasuk dalam sesi debat. Isu transisi energi dinilai memang lebih seksi secara politik. Namun, pendalaman isu tentang ketersediaan energi terjangkau dan proses peralihan dari energi fosil masihlah minim.
Energi menjadi salah satu tema dalam debat keempat Pilpres 2024 yang diikuti para calon wakil presiden dari ketiga paslon, Minggu (21/1/2024). Energi hijau atau energi terbarukan lebih banyak mencuat dalam debat tersebut. Namun, itu tak menyentuh substansi permasalahan dan solusinya. Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, sempat menyebutkan akan melanjutkan subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi tak mengulas persoalan yang ada di dalamnya.
Sebelumnya, pada debat ketiga Pilpres 2024 yang diikuti para calon presiden, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, sempat menyebut perlunya eksploitasi wilayah kerja migas Natuna D Alpha di Laut China Selatan. Itu dalam konteks penguasaan sejumlah aspek baik dari sisi geopolitik maupun pertahanan, sumber daya, sekaligus serapan tenaga kerja. Namun, belum terbahas bagaimana strategi mewujudkan itu.
Praktisi sekaligus pemerhati migas Hadi Ismoyo, dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/1/2024), mengatakan, secara politik, transisi energi memang menarik atau seksi dalam debat atau adu gagasan pilpres. Namun, kondisi atau kenyataan di lapangan pun perlu dilihat. Perlu ada peralihan secara terencana, terstruktur, dan bertahap agar transisi energi berjalan mulus.
”Pengembangan transisi energi mesti berdasarkan kearifan lokal kita. Jadi, tak hanya karena internasional mengatakan go green lalu kita copy paste tanpa melihat kemampuan kita. Indonesia banyak memproduksi gas bumi (lebih rendah emisi dari jenis energi fosil lainnya). Maka, hingga 2060, kita manfaatkan sebesar-besarnya gas untuk membangun perekonomian kita,” ujar Hadi.
Gas bumi juga menunjukkan catatan positif pada 2023, termasuk ditemukannya dua sumber gas besar, yakni Geng North di laut lepas Kalimantan Timur dan sumur Layaran di South Andaman, di lepas pantai Sumatera bagian utara. Untuk itu, kata Hadi, yang diperlukan kini ialah pembangunan infrastruktur yang masif agar gas bumi termanfaatkan, terutama untuk kebutuhan domestik.
Lebih jauh, Hadi berharap gagasan-gagasan terkait energi bisa lebih muncul dalam Pilpres 2024. ”Seperti dalam neraca APBN kita, subsidi energi masih besar, ratusan triliun rupiah. Bagaimana solusinya? Sementara produksi (minyak bumi) turun terus dan eksplorasi belum bisa seperti dulu. Kalau tidak dalam debat, maka di lain kesempatan perlu dijabarkan seperti apa ide dalam mencari solusi terintegrasi terkait ketahanan energi di Indonesia,” jelasnya.
Tetap berperan
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, sulit untuk berharap para paslon di Pilpres 2024 memberikan perhatian lebih pada isu-isu energi, khususnya sektor migas. Dari yang sejauh ini berjalan ada kecenderungan ketiga paslon sama-sama normatif. Kalaupun ada, isu energi terbarukan dipandang lebih menarik secara politis.
Menurut Pri Agung, mayoritas publik, termasuk para paslon di Pilpres 2024, kurang utuh dalam memahami tema transisi energi. ”Sehingga mengganggap seolah-olah nanti migas tidak lagi penting. Padahal, di tingkat global dan negara-negara maju, migas tetap akan terus berperan dalam 20-40 persen porsi bauran energi mereka ke depan, tahun 2050-an,” kata Pri Agung.
Baca juga: Debat Cawapres Belum Tawarkan Banyak Gagasan Transisi Energi
Energi terbarukan dan energi rendah karbon lain akan terus meningkat dan berperan penting ke depan. Namun, menurut Pri Agung, migas tetap merupakan komponen pnting sekaligus jembatan dalam transisi energi. Apabila itu terabaikan, migas bisa mengarah pada sunset. Padahal, di tingkat global, di tengah kampanye dan tren transisi energi, industri dan investasi migas tetap tumbuh positif.
Sementara khusus terkait adu gagasan seperti debat capres/cawapres, Pri Agung sebenarnya mafhum jika level presiden atau wakil presiden tak masuk jauh ke subsektornya. Namun, aspek-aspek fundamentalnya mesti diperhatikan lebih, yaitu ketahanan energi, ketersediaan dan keterjangkauan akses, serta keberlanjutan atau ramah lingkungan.
Apabila aspek-aspek itu sudah tersentuh, barulah masuk ke subsektor dengan mendasarkan pada pengelolaan sumber daya energi yang dimiliki Indonesia. ”Bukan semata mengikuti tren tema yang mengemuka di global saja. Sebab, dalam praktiknya, setiap negara mengedepankan kepentingan dan obyektif nasionalnya masing-masing,” jelas Pri Agung.
Khusus sektor migas, gas bumi diharapkan berkembang, terlebih dengan adanya dua temuan sumber gas besar pada 2023. Pri Agung menuturkan, cadangan gas bumi Indonesia termasuk yang terbesar di Asia Pacifik. Monetisasi pun mesti dipastikan. Belajar dari yang pernah terjadi, jangan sampai blok dengan cadangan terbukti telah dipastikan, tetapi belum beroperasi karena persoalan bisnis investasinya tak berjalan.