Neraca.co.id, 01 Agustus 2013
Jakarta Pengamat minyak dan gas bumi (migas) Pri Agung Rakhmanto menegaskan, keputusan pemerintah terkait kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam pasca berakhir kontraknya dengan Total E&P Indonesie, harus dikeluarkan tahun ini juga. Hal ini untuk mencegah semakin banyaknya muatan politik, jika finalisasi nasib blok itu sampai menyeberang ke 2014.
Harus diakui, kata Pri Agung, memanasnya suhu politik menjelang berakhirnya kontrak Blok Mahakam pada 2017, diakibatkan oleh kondisi pengelolaan migas Indonesia yang tidak ideal. Menurutnya, kontrak Blok Mahakam menjadi isu besar, karena mencuatnya dikotomi nasional vs asing dan label nasionalis vs tidak nasionalis, terkait pengelolaan blok tersebut.
Pri Agung menambahkan, Blok Mahakam menjadi rebutan, karena negara tidak secara konsisten menjalankan politik kemandirian dan kedaulatan migas, dan itu sudah berlangsung sejak lama. Yakni sejak era Undang-Undang (UU) Migas Nomor 8/1971 menyebabkan kecenderungan Pertamina untuk selalu memperpanjang kontrak. Juga era UU Migas Nomor 22/2001 yang mengkondisikan terjadinya persaingan atau perebutan oleh Pertamina vs Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) asing.
Buktinya dulu Pertamina juga yang memperpanjang beberapa kali kontrak Blok Mahakam. Mestinya sejak dulu blok itu diambil oleh Pertamina untuk dikelola sendiri, namun itu tidak dilakukan. Jadi kondisi yang kita hadapi memang tidak ideal,tutur Pri Agung di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2013.
Kondisi itu diperparah, lanjut Pri Agung, dengan kenyataan bahwa negara cenderung tidak berani mengambil risiko secara progresif dalam mengambil keputusan atas Blok Mahakam, karena sekitar 25-30% produksi gas dan 8% produksi minyak nasional berasal dari sana. Menjadi sulit bagi negara untuk dapat mengambil alih dengan risiko rendah, karena di dalam PSC atau kontrak kerjasama migas, tidak ada ketentuan mengenai masa transisi sebelum kontrak berakhir, tambahnya.
Terkait dengan hal itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini pun mengungkapkan beberapa usulan, tekait pengelolaan Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak Total pada 2017. Prinsipnya, pasca 2012 itu harus ada kontrak baru, Blok Mahakam harus kembali dulu ke negara, tandasnya.
Dengan kontrak baru itu, kata Pri Agung, Total tetap mendapatkan kesempatan mengelola di sana, dengan status kontrak baru, bukan perpanjangan. Berikanlah kontrak baru ke Total sampai 2022, dan Pertamina bisa masuk sebagai operator di Blok Mahakam pasca 2022. Selama lima tahun itu, adalah masa transisi, persiapan operator baru untuk mengelola Blok Mahakam. Dan yang lebih penting, putuskan tahun ini juga, jangan dibawa ke 2014, tegas Pri Agung.
Dalam kesempatan yang sama, Vice President Human Resources, Communications and General Services Total E&P Indonesie, Arividya Noviyanto menuturkan, segera lahirnya keputusan pemerintah terkait kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam, sangatlah penting bagi Total. Mengingat investasi migas sifatnya long term (jangka panjang). Ia menyesalkan pihak-pihak yang menuding Total mengancam atau menekan pemerintah, ketika menanyakan kepastian keputusan kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam.