(Media Indonesia: Senin 2 Februari 2016)
Upaya pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan energi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) terus didengungkan. Realitas menipisnya potensi energi fosil di Tanah Air dan orientasi pelestarian lingkungan hingga niat untuk berhemat yang mendasari pengembangan EBT belum banyak tecermin dalam kebijakan negara.
Pengembangan energi panas bumi, misalnya, masih relatif stagnan, kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Kamis (28/1).
Hal itu merujuk pada data kapasitas terpasang listrik panas bumi sampai saat ini berkisar 1.343 megawatt (MW). Peningkatannya hanya 154 MW dari kapasitas di 2009 yang mencapai 1.189 MW. Ironisnya, produktivitas listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hanya 573 MW. Artinya, sebagian besar kapasi tas tidak berjalan.
Kapasitas terpasang panas bumi nasional baru 4,65% dari total potensi 28.910 MW, imbuhnya.
Lebih jauh dia mengungkapkan penyebab lambannya pengembangan energi panas bumi ialah kebijakan harga jual listrik panas bumi yang kerap kali tidak memperoleh titik temu. Khususnya antara pengembang, baik swasta (IPP) maupun BUMN, dan pembeli, yakni PT PLN (persero). Padahal, dari beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah, harga listrik panas bumi terbilang kompetitif.
Setidaknya jika dibandingkan dengan listrik dari energi fosil. Sebagai perbandingan, biaya bahan bakar penyediaan listrik setiap jenis energi pada 2015, yakni jenis BBM sekitar Rp1.912 per Kwh, gas alam Rp920/Kwh, batu bara Rp367/Kwh, dan panas bumi Rp696/Kwh.
Dari produksi listrik 2015 yang mencapai 239.504,98 gigawatt hour (GWh), komposisi produksi masih didominasi BBM (26.345,55 GWh), gas alam (64.666,34 GWh), dan batu bara (117.357,44 GWh). Sementara itu, produksi dari PLTP menduduki urutan terbawah, 11.975 GWh.
Jika produksi listrik dari BBM dikonversi ke listrik panas bumi, ada penghematan Rp32 triliun. Kalau dari gas dikonversi ke panas bumi, penghematannya bisa Rp 14 triliun, tandas Komaidi. Di sisi lain, pemerintah menambah wacana membentuk badan usaha khusus yang menangani listrik EBT.
Nantinya PLN khusus EBT itu bertugas membeli listrik EBT dan mendistribusikan ke masyarakat.
Targetnya, Februari sudah ada kejelasan dengan menjadi anak usaha PLN agar cepat jalan. Yang pasti harus ada kesepakatan yang dituangkan dalam peraturan, terang anggota Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) Kementerian ESDM Agung Wicaksono, Minggu (31/1).
Namun, pihaknya masih mengkaji level regulasi itu dalam bentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah atau cukup dengan peraturan menteri.
PLN khusus itu ditujukan untuk menyokong bauran energi nasional dari EBT dalam megaproyek ketenagalistrikan 35 ribu MW. Dalam megaproyek itu, porsi EBT 8.750 MW yang berasal dari energi panas bumi, tenaga surya, biomassa, dan air. Beleid baru itu menjadi amunisi dan mempercepat eksekusi di daerah, pungkasnya.