Indonesia Finance Today, 28 Februari 2012
JAKARTA (IFT) – Sejumlah kalangan meminta pemerintah memprioritaskan salah satu dari rencana kenaikan harga apakah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi atau menaikkan tarif dasar listrik tahun ini, sehingga dua kebijakan tersebut tidak diterapkan bersamaan dalam satu tahun. Bila pemerintah langsung menerapkan dua kebijakantersebut sekaligus tahun ini, inflasi diperkirakan lebih besar dibandingkan hanya salah satu kebijakan yang diterapkan, yakni berada di kisaran 1,5% sampai lebih dari 2%.
Pri Agung Rakhmanto, Direktur Reforminer Institute, mengatakan bila pemerintah hanya menerapkan kenaikan harga BBM bersubsidi, inflasi diperkirakan hanya sekitar 1%-1,6% dengan asumsi kenaikan harga sebesar Rp 1.000-Rp 1.500 per liter dari saat ini Rp 4.500 per liter. Menurut Pri, kenaikan harga BBM bersubsidi sebaiknya menjadi lebih diprioritaskan untuk diterapkan ketimbang kenaikan tarif dasar listrik.
Subsidi BBM saat ini cenderung tidak tepat sasaran, ketimbang subsidi listrik yang sudah jelas golongan penggunanya dan lebih tepat sasaran. Kenaikan harga BBM akan memberikan dampak penghematan lebih besar dan signifikan dibandingkan kenaikan tarif dasar listrik, ujar Pri, Senin.
Berdasarkan kajian ReforMiner, dengan kenaikan harga BBM Rp 1.000 per liter, potensi penghematan anggaran sebesar Rp 38,3 triliun. Bila kenaikan harga sebesar Rp 1.500 per liter, potensi penghematan Rp 57 triliun.
Sementara dampak kenaikan tarif dasar listrik menurut Pri tidak terlalu signifikan, yakni hanya hemat Rp 5,7 triliun bila kenaikan tarif listrik sebesar 5%. Bila tarif dasar listrik naik 10% hanya hemat Rp 11,4 triliun, dan bila naik 15%, penghematan sebesar Rp 17,1 triliun.
Efisiensi di sektor kelistrikan ini bisa dioptimalkan melalui pembenahan di sektor mikro kelistrikan, seperti bauran energi primer untuk pembangkit. Kalau bauran energi ini ditingkatkan, penghematan bisa mencapai Rp 37,42 triliun, sehingga biaya pokok produksi listrik juga lebih rendah daripada sekarang, ujar dia.
Tulus Abadi, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), meminta pemerintah tidak menerapkan dua kebijakan itu secara bersamaan, kecuali pemerintah mampu menentukan besarannya secara proporsional. Kami setuju bila harga BBM terlebih dahulu naik dibandingkan tarif dasar listrik. Kalau tarif dasar listrik naik tahun depan ya tidak masalah. Namun kebijakan ini harus melewati proses komunikasi dan partisipasi publik dan pemerintah pun harus bisa mengendalikan efek dominonya, ujar dia.
Salah satu efek domino yang akan memberatkan masyarakat menurut Tulus adalah biaya transportasi, karena biaya transportasi menurutnya mencapai 12%-14% dari pendapatan. Kalau harga BBM naik, Organisasi Angkutan Darat (Organda) akan menaikkan tarif minimal sekitar 35%, sehingga beban transportasi masyarakat akan semakin meningkat.
Butuh Waktu
Raja Sapta Oktohari, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, menyatakan pengusaha meminta waktu kepada pemerintah bila kenaikan harga BBM bersubsidi diberlakukan. Oengusaha perlu mengkaji dan menghitung dampak kenaikan harga BBM ini terhadap biaya produksi dan harga produk.
Kami sejak awal dukung penyesuaian harga BBM, tapi butuh waktu untuk penyesuaian, tidak bisa serta merta langsung naik. Harus ada variabel-variabel yang berubah, kalau ada penyesuaian harga ini, tuturnya.
Himpunan Pengusaha Mudah juga menurut Raja meminta agar pemerintah memberikan kepastian cetak biru dan jaminan kebijakan energi jangka panjang, sehingga industri yakin pemerintah akan konsisten dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Dia beralasan, harga BBM maupun tarif dasar listrik termasuk komponen yang akan memengaruhi daya saing industri nasional, apalagi saat ini masuk ke dalam era perdagangan bebas, sehingga dikhawatirkan daya saing industri nasional akan melemah. Kami meminta agar pemerintah memprioritaskan kenaikan BBM ketimbang tarif dasar listrik, ujarnya.