Pri Agung Rakhmanto
Pendiri & Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, Senin, 26 Maret 2012
Penolakan terhadap rencana penaikan harga BBM ber subsidi, baik yang berkem bang melalui opini dan persepsi yang terbentuk di media maupun yang termanifestasikan melalui kegiatan aksi di lapangan, menjelang 1 April 2012 ini terasa semakin meningkat.
Padahal, publik semula cenderung lebih memilih penaikan harga BBM ketika dihadapkan pada pilihan kebijakan lainnya, pembatasan BBM. Publik menilai penaikan harga BBM lebih rasional dibandingkan dengan pembatasan BBM yang kompleks dalam penyediaan infrastruktur dan memerlukan pengawasan ketat dalam implementasinya.
Namun, di dalam konteks opini dan persepsi yang terbentuk di masyarakat, dukungan publik untuk lebih memilih penaikan harga BBM tersebut tampaknya gagal dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah sehingga gelombang penolakan terasa semakin bereskalasi. Setidaknya ada dua faktor utama yang menyebabkannya.
Pertama, rentang waktu yang terlalu lama antara pernyataan untuk menaikkkan harga BBM dan eksekusi dari pernyataan itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa mau tidak mau harga BBM harus naik pada 20 Februari 2012.
Sementara, karena keharusan untuk menempuh prosedur politik mengubah UU APBN 2012 menjadi UU APBN Perubahan (APBN-P) 2012 yang memerlukan persetujuan DPR membuat pelaksanaan penaikan harga BBM itu sendiri baru dapat dilakukan paling cepat pada 1 April 2012.
Durasi waktu yang terlalu lama (lebih dari 1 bulan) ini membawa implikasi negatif yang sangat serius terhadap rencana penaikan harga BBM baik secara ekonomi maupun politik.
Secara ekonomi, harga-harga barang dan jasa sudah mulai beranjak naik, mendahului penaikan harga BBM. Sejalan dengan itu, penimbunan BBM oleh spekulan juga kian marak terjadi yang menyebabkan lonjakan konsumsi BBM melebihi normal, dan menyisakan kelangkaan dan antrean BBM di sejumlah daerah.
Secara politik, gerakan dan sikap penolakan dari partai politik dengan motif dan tujuan tertentu (termasuk pencitraan), mendapat ruang yang sangat luas.
Maka tak heran, jika partai yang tergabung di dalam koalisi pun turut menolak rencana penaikan harga BBM ini, paling tidak di depan publik.
Kombinasi dampak negatif yang muncul sebelum harga BBM benar-benar naik, sedikit banyak membentuk persepsi publik bahwa ongkos ekonomi maupun politiknya sangat besar (sehingga wajar untuk ditolak).
Kedua, pemerintah tidak memiliki kemampuan yang baik dalam mengomunikasikan argumentasi dan rasionalitas penaikan harga BBM kepada publik. Pemerintah tak mampu menutup argumentasi dan opini yang berkembang sedemikian rupa sehingga membentuk persepsi publik bahwa sebenarnya ada banyak cara untuk menutup defisit APBN.
Dalam berbagai kesempatan pemerintah gagal menjelaskan kepada publik bahwa esensi yang sesungguhnya dari kebijakan menaikkan harga BBM ini bukanlah sematamata untuk menutup defisit APBN melainkan realokasi anggaran untuk hal-hal yang lebih produktif. Ketimbang mengatakan secara terbuka bahwa penaikan harga BBM ini merupakan bagian dari upaya mengelola besaran subsidi energi yang sesungguhnya sudah merupakan politik anggaran antara pemerintah dan DPR sendiri, pemerintah justru lebih sering menggunakan argumen bahwa penaikan harga BBM ini dilakukan agar APBN tidak jebol.
Realokasi anggaran
Di samping ketiadaan juru bicara yang dapat secara tangkas menangkis serangan argumentasi yang menolak penaikan harga BBM, ketidaksiapan dan pada tingkat tertentu, `ketidaktulusan’ pemerintah dalam melakukan realokasi anggaran yang dapat dihemat dari kenaikan harga BBM ini, agaknya menjadi satu faktor utama yang membuat pemerintah sulit meyakinkan publik bahwa kenaikan harga BBM adalah sebuah kebijakan yang membawa manfaat bagi (perekonomian) negara ini.
Dalam proses pembahasan APBN-P 2012 yang tengah berkembang, diketahui bahwa dari sekitar Rp41 triliun alokasi anggaran subsidi BBM yang dapat dihemat, sekitar Rp25,6 triliun di antaranya akan dialokasikan untuk bantuan langsung tunai selama 9 bulan (kini berganti nama menjadi bantuan langsung sementara masyarakat/BLSM).
Selain itu, sekitar Rp6,25 triliun digunakan untuk tambahan subsidi beras untuk rakyat miskin (raskin) sebanyak 3,5 juta keluarga selama 14 bulan, dan sekitar Rp2,1 triliun untuk pengembangan infrastruktur pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi.
Dari angka tersebut, sebanyak Rp31,85 triliun atau sekitar 77% dari penghematan anggaran yang dapat diperoleh dari kenaikan harga BBM akan habis terserap untuk pemberian subsidi langsung kepada masyarakat. Subsidi langsung ini memang diperlukan untuk menopang sebagian daya beli masyarakat miskin yang tergerus dampak kenaikan harga BBM, tetapi semestinya tidak dalam bentuk tunai (uang dan barang), sebab, dengan durasi pemberian subsidi langsung yang begitu panjang, kondisi tersebut sangat rawan penyelewengan dan berpotensi menjadi instrumen politik pencitraan.
Jika dikalkulasi lebih lanjut, ternyata hanya terdapat sekitar 5,1% saja penghematan anggaran yang akan dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur.
Mengacu pada konsidi di atas, esensi terpenting dari kebijakan menaikkan harga BBM untuk realokasi anggaran ke pos-pos yang lebih produktif memang (kembali) tidak akan terwujud. Ini sangat ironis dan mencederai rasa keadilan masyarakat jika dibiarkan terjadi.
`Restu’ dari sebagian publik yang secara rasional melihat bahwa penaikan harga BBM sebagai instrumen untuk menciptakan perbaikanperbaikan fundamental pada perekonomian, baik dalam wujud penyehatan APBN maupun percepatan pembangunan infrastruktur, seolah `disalahgunakan’ oleh pemerintah dengan mengalokasikan anggaran penghematan untuk halhal yang relatif kurang produktif dan rawan kepentingan politik.
Pada pengujung waktu menjelang disahkannya UU APBN-P 2012 yang sudah sangat sempit ini, publik hanya bisa berharap agar elite politik di pemerintahan maupun DPR mengedepankan sikap kenegarawanannya.
Pemerintah semestinya segera mengubah rencana realokasi anggaran yang ada dan para elite politik, khususnya di DPR, janganlah sekadar bersuara keras menolak penaikan harga BBM hanya demi meningkatkan posisi tawar politik belaka, tetapi secara sungguh-sungguh memberikan tekanan kepada pemerintah untuk menyusun realokasi anggaran sebagaimana seharusnya.
Realokasi anggaran akan jauh lebih produktif jika penggunaannya lebih dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur energi seperti kilang BBM, jaringan pipa transmisi-distribusi gas, jaringan listrik, maupun infrastruktur dasar/umum seperti pelabuhan, jalan raya, atau fasilitas transportasi publik.
Jika hal itu tidak dilakukan, kenaikan harga BBM tidak akan benar-benar membawa manfaat nyata bagi bangsa ini selain hanya akan menjadi ritual ajang adu kepentingan politik pragmatis yang menyengsarakan rakyat.